'Tagihan' Demokrasi Membengkak di NKRI?

'Tagihan' Demokrasi Membengkak di NKRI?


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Sangat sering, tapi mungkin ini hanya bentuk kenaifan sesaat. Karena pemahaman tentang demokrasi entah kenapa hanya sering terhenti di pelembagaan formal. Ironinya justru mengeliminasi mereka yang punya imajinasi tentang apa itu Indonesia.

Seperti melarang memeluk agama tertentu, menganut ideologi tertentu, dan hal sejenis lainnya yang berhubungan dengan itu. Kenapa kita sulit untuk lega dalam menerima fakta ontologis dari setiap individu? Padahal definisi soal apa itu Indonesia masih belum absolut.

Bahwa pilihan kita untuk memilih demokrasi bukan bermaksud hanya untuk memenuhi hasrat satu golongan tertentu. Tetapi mau menjamin agar setiap kehendak-pikiran individu itu dapat direspons dengan cara argumentatif dan diimplementasikan dengan basis ontologi kemanusiaan. Bukan dengan intimidasi ataupun represif.

Oleh karena itu, pertimbangan Indonesia memilih demokrasi sebagai instrumen kesosialannya bukanlah hasil seminar dari 5 orang saja, ataupun 5 golongan. Tetapi ia adalah pertimbangan yang telah dirumuskan dengan perjuangan dan perdebatan yang sangat menguras keringat.

Begitulah, untuk mencicil tagihan demokrasi yang membengkak memang membutuhkan waktu. Bisa sampai puluhan, ratusan tahun, atau 2 jam saja. Meskipun abstrak, tapi ini bukanlah sulap. Perlu ada komitmen dan keseriusan untuk membayar tagihan demokrasi yang membengkak ini.

Dan dapat dimulai dengan mencicil; bagaimana di setiap pemilu politik uang dapat diatasi; menyikapi kritik tanpa pemidanaan; mengatasi ketimpangan sosial; pencemaran lingkungan; penegakan hukum yang inklusif.

Jadi, setiap pemimpin itu memang selalu ingin memberitahu aktivitas politiknya secara singkat. Sehingga itu menjadi kesan yang perlu dioptimalkan agar mereka dapat dikenang sebagai perusak sejarah atau perawat sejarah.

Hal-hal itu menjadi godaan yang penuh nuansa mendebarkan. Jika tidak kuat menahan nafsu, maka rentan akan melakukan korupsi. Dengan demikian, itu dapat membuat utang-utang ke demokrasi semakin membumbung tinggi.

Bertrand Russell, seorang ilmuwan matematika dan sosial dari Inggris pernah menguraikan suatu keheranannya tentang politik di dalam bukunya Authority and the Individual (1985), bunyinya ialah: Sayangnya teori-teori politik kita kurang tajam dibandingkan sains kita, dan kita belum lagi belajar cara memanfaatkan pengetahuan dan keahlian kita dengan cara menghadirkan kehidupan yang lebih bahagia dan bahkan semarak (hal. 151).

Dengan demikian, bagi saya itu adalah bentuk refleksinya terhadap politik yang semakin tua umurnya tapi cerminan luhurnya kok semakin justru meredup. Inovasi politik tertinggal dengan inovasi sains. Trik berpolitik masih penuh dengan intrik, sementara sains, terus melaju dan terdepan dalam menghadirkan aneka kecanggihan.

Oleh karena itu, uraian tersebut dapat menjadi salah satu aspek untuk dicermati oleh para pelaku perpolitikan. Sehingga pemilu 2024 bukan hanya sekadar umbar uang dan slogan, apalagi umbar ayat-ayat suci dalam rangka mengeksploitasi emosi massa.

Tetapi umbar komitmen agar keharmonisan warga negara menjadi segar kembali. Misalnya berkomitmen untuk melepaskan jabatan publiknya apabila janji-janji politiknya tidak direalisasikan tanpa harus di demo terlebih dahulu.

Demokrasi di Daerah

Bagi saya, persoalan politik sering terjadi karena adanya adiksi sama kekuasaan. Sehingga ketika membahas yang realistis dan kritis dalam politik hanya sering terhenti di pembahasan yang sentimental saja. Lalu, hal-hal yang substansi justru tereliminasi sama hal yang demikian.

Di daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten hingga desa. Sinopsis berdemokrasi masih hanya bertatar di prosedural saja. Ekspresi feodalismenya masih lekat. Para pemimpin yang terpilih hanya dikarenakan anggar kekayaan ketimbang penalaran.

Itulah negatifnya dari demokrasi. Meritokrasi tersingkirkan dengan oklokrasi. Sehingga demokrasi hanya dijadikan komoditi untuk mengakumulasi kekuasaan saja ketimbang mengharmonisasikan tata publik.

Kesenjangan yang terjadi di daerah hanya sering dimonopoli dengan kebengisan. Akibatnya, ikhtiar untuk mencicil tagihan demokrasi yang membengkak semakin rumit. Dan ini menjadi beban otomatis bagi generasi berikutnya.

Sikap kekeluargaan disempitkan hanya untuk meraih kekuasaan. Yang tidak memilih di pemilu, berarti adalah penghianat. Humanisasi kekeluargaan lantas berubah menjadi dehumanisasi.

Lantas, proyek dinastisasi kekuasaan di daerah sering diinterpretasikan hanya ingin memastikan anaknya dapat mewariskan penghormatan sosial meskipun anaknya minim secara akademis maupun minim etika publiknya. Yang terpenting ia dapat duduk di kancah kekuasaan, baik legislatifnya maupun eksekutif.

Untuk itu, implementasi politik di daerah menjadi kunci. Momentum politik di 2024 harus dijadikan prakondisi untuk membuka kembali ruang sosial yang semakin inklusif.

Meskipun, ini harus saya tegaskan. Bahwa demokrasi memang bukanlah pengaturan politik yang terbaik. Namun iya bersifat falibilisme. Karena ia adalah buatan manusia. Seperti yang diungkapkan F. Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik Maka Aku Ada (2021). Demokrasi sesungguhnya adalah sebuah permainan dan seharusnya dianggap sebagai permainan. Tetapi permainan bukanlah main-main, melainkan untuk bermain dengan sungguh-sungguh agar orang tidak dipermainkan mainannya. *** 



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama