Seperti melarang memeluk agama tertentu, menganut
ideologi tertentu, dan hal sejenis lainnya yang berhubungan dengan itu. Kenapa
kita sulit untuk lega dalam menerima fakta ontologis dari setiap individu?
Padahal definisi soal apa itu Indonesia masih belum absolut.
Bahwa pilihan kita untuk memilih demokrasi bukan
bermaksud hanya untuk memenuhi hasrat satu golongan tertentu. Tetapi mau
menjamin agar setiap kehendak-pikiran individu itu dapat direspons dengan cara
argumentatif dan diimplementasikan dengan basis ontologi kemanusiaan. Bukan
dengan intimidasi ataupun represif.
Oleh karena itu, pertimbangan Indonesia memilih
demokrasi sebagai instrumen kesosialannya bukanlah hasil seminar dari 5 orang
saja, ataupun 5 golongan. Tetapi ia adalah pertimbangan yang telah dirumuskan
dengan perjuangan dan perdebatan yang sangat menguras keringat.
Begitulah, untuk mencicil tagihan demokrasi yang
membengkak memang membutuhkan waktu. Bisa sampai puluhan, ratusan tahun, atau 2
jam saja. Meskipun abstrak, tapi ini bukanlah sulap. Perlu ada komitmen dan
keseriusan untuk membayar tagihan demokrasi yang membengkak ini.
Dan dapat dimulai dengan mencicil; bagaimana di
setiap pemilu politik uang dapat diatasi; menyikapi kritik tanpa pemidanaan;
mengatasi ketimpangan sosial; pencemaran lingkungan; penegakan hukum yang
inklusif.
Jadi, setiap pemimpin itu memang selalu ingin
memberitahu aktivitas politiknya secara singkat. Sehingga itu menjadi kesan
yang perlu dioptimalkan agar mereka dapat dikenang sebagai perusak sejarah atau
perawat sejarah.
Hal-hal itu menjadi godaan yang penuh nuansa
mendebarkan. Jika tidak kuat menahan nafsu, maka rentan akan melakukan korupsi.
Dengan demikian, itu dapat membuat utang-utang ke demokrasi semakin membumbung
tinggi.
Bertrand Russell, seorang ilmuwan matematika dan
sosial dari Inggris pernah menguraikan suatu keheranannya tentang politik di
dalam bukunya Authority and the Individual (1985), bunyinya ialah: Sayangnya
teori-teori politik kita kurang tajam dibandingkan sains kita, dan kita belum
lagi belajar cara memanfaatkan pengetahuan dan keahlian kita dengan cara
menghadirkan kehidupan yang lebih bahagia dan bahkan semarak (hal. 151).
Dengan demikian, bagi saya itu adalah bentuk
refleksinya terhadap politik yang semakin tua umurnya tapi cerminan luhurnya
kok semakin justru meredup. Inovasi politik tertinggal dengan inovasi sains.
Trik berpolitik masih penuh dengan intrik, sementara sains, terus melaju dan
terdepan dalam menghadirkan aneka kecanggihan.
Oleh karena itu, uraian tersebut dapat menjadi salah
satu aspek untuk dicermati oleh para pelaku perpolitikan. Sehingga pemilu 2024
bukan hanya sekadar umbar uang dan slogan, apalagi umbar ayat-ayat suci dalam
rangka mengeksploitasi emosi massa.
Tetapi umbar komitmen agar keharmonisan warga negara
menjadi segar kembali. Misalnya berkomitmen untuk melepaskan jabatan publiknya
apabila janji-janji politiknya tidak direalisasikan tanpa harus di demo
terlebih dahulu.
Demokrasi di
Daerah
Bagi saya, persoalan politik sering terjadi karena
adanya adiksi sama kekuasaan. Sehingga ketika membahas yang realistis dan
kritis dalam politik hanya sering terhenti di pembahasan yang sentimental saja.
Lalu, hal-hal yang substansi justru tereliminasi sama hal yang demikian.
Di daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten
hingga desa. Sinopsis berdemokrasi masih hanya bertatar di prosedural saja.
Ekspresi feodalismenya masih lekat. Para pemimpin yang terpilih hanya
dikarenakan anggar kekayaan ketimbang penalaran.
Itulah negatifnya dari demokrasi. Meritokrasi
tersingkirkan dengan oklokrasi. Sehingga demokrasi hanya dijadikan komoditi
untuk mengakumulasi kekuasaan saja ketimbang mengharmonisasikan tata publik.
Kesenjangan yang terjadi di daerah hanya sering
dimonopoli dengan kebengisan. Akibatnya, ikhtiar untuk mencicil tagihan
demokrasi yang membengkak semakin rumit. Dan ini menjadi beban otomatis bagi
generasi berikutnya.
Sikap kekeluargaan disempitkan hanya untuk meraih
kekuasaan. Yang tidak memilih di pemilu, berarti adalah penghianat. Humanisasi
kekeluargaan lantas berubah menjadi dehumanisasi.
Lantas, proyek dinastisasi kekuasaan di daerah
sering diinterpretasikan hanya ingin memastikan anaknya dapat mewariskan
penghormatan sosial meskipun anaknya minim secara akademis maupun minim etika
publiknya. Yang terpenting ia dapat duduk di kancah kekuasaan, baik
legislatifnya maupun eksekutif.
Untuk itu, implementasi politik di daerah menjadi
kunci. Momentum politik di 2024 harus dijadikan prakondisi untuk membuka
kembali ruang sosial yang semakin inklusif.
Meskipun, ini harus saya tegaskan. Bahwa demokrasi
memang bukanlah pengaturan politik yang terbaik. Namun iya bersifat
falibilisme. Karena ia adalah buatan manusia. Seperti yang diungkapkan F. Budi
Hardiman dalam bukunya Aku Klik Maka Aku Ada (2021). Demokrasi sesungguhnya
adalah sebuah permainan dan seharusnya dianggap sebagai permainan. Tetapi
permainan bukanlah main-main, melainkan untuk bermain dengan sungguh-sungguh
agar orang tidak dipermainkan mainannya. ***