eserta sesi pembukaan Sidang Umum Sinode Para Uskup ke-16 tiba di Aula Paulus VI di Vatikan, Rabu, 4 Oktober 2023. (AP/Gregorio Borgia) |
Gereja Katolik telah berabad-abad didominasi oleh
kaum laki-laki, dan hanya ada sedikit harapan bagi kaum perempuan untuk
memasuki koridor kekuasaan di Vatikan, atau sekadar memimpin Misa.
Namun sejumlah perempuan Katolik berharap pertemuan
selama tiga minggu pada bulan Oktober ini akan dapat menjadi awal sebuah
perubahan.
Paus Fransiskus pada hari Rabu (4/10) membuka Sinode
Uskup yang dihadiri oleh 464 peserta, termasuk para rohaniawan dan warga awam.
Dan untuk pertama kalinya, perempuan dan warga biasa akan diizinkan untuk
memberikan suara. Sebanyak 54 perempuan akan memberikan suara dalam sinode
tersebut.
Kaum Perempuan Minta Diizinkan Bersuara dalam Sinode
Kaum perempuan telah sejak lama mengeluh bahwa
mereka diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dalam gereja, dilarang
menjadi imam dan pemegang kekuasaan tertinggi, namun bertanggung jawab atas
sebagian besar pekerjaan; antara lain mengajar di sekolah-sekolah Katolik,
mengelola rumah sakit Katolik, mewariskan iman kepada generasi berikutnya,
serta memberikan pelayanan langsung dalam bidang imigrasi, perawatan kesehatan,
dan bidang-bidang keadilan sosial lainnya.
Mereka telah sejak lama menuntut suara yang lebih
besar dalam tata kelola gereja, termasuk penahbisan sebagai imam.
Namun sebagai permulaan, mereka telah meminta hak
untuk dapat memberikan suara bersama para uskup dalam pertemuan global Vatikan
yang dikenal sebagai sinode ini.
Berbagai
Isu Sensitif Ikut Dibahas
Sinode yang akan berlangsung selama tiga minggu ini
merupakan puncak suatu acara yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam dua
tahun ini, di mana sejumlah petinggi dan umat Katolik diminta pendapatnya
mengenai harapan mereka untuk masa depan lembaga tersebut, termasuk mengenai
isu-isu yang sedang hangat dibicarakan, seperti perempuan, umat Katolik LGBTQ+,
dan selibat para imam.
Dalam sinode-sinode sebelumnya, perempuan hanya
diberi peran yang lebih marjinal yaitu sebagai pengamat atau ahli, yang secara
harfiah duduk di barisan terakhir aula. Sementara para uskup dan kardinal duduk
di barisan depan dan memberikan suara mereka.
Kali ini 54 perempuan yang ikut menghadiri sinode ini tidak hanya memiliki hak
suara yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka semua akan duduk bersama di
meja bundar yang secara hierarkis netral untuk memfasilitasi diskusi.
Gereja
Diminta Mendengar Suara 700 Juta Perempuan Katolik
Direktur Eksekutif Konferensi Penahbisan Perempuan
Kate McElwee mengatakan “ada 700 juta perempuan Katolik di seluruh dunia. Dan
sudah saatnya gereja benar-benar mendengarkan mereka.”
Meskipun McElwee bukan peserta Sinode, ia datang ke
Roma bersama dengan ratusan orang lainnya untuk ikut ambil bagian di luar
tembok Vatikan. Mereka akan melangsungkan aksi, pertemuan, dan protes yang
mendesak agar perempuan mendapat lebih banyak kekuasaan di gereja. Salah satu
isu yang diperjuangkan oleh organisasinya adalah agar gereja mengizinkan
perempuan menjadi Diakon, rohaniwan yang telah mendapat sakramen tahbisan untuk
memberikan layanan sakramen gerejawi.
Potensi bahwa sinode kali ini, dan sesi kedua tahun
depan, dapat menghasilkan perubahan nyata pada topik-topik yang selama ini
dinilai tabu telah memberikan harapan bagi banyak umat Katolik progresif.
Paus
Fransiskus Buktikan Komitmennya
Vatikan telah menyelenggarakan sinode selama
beberapa dekade untuk membahas isu-isu tertentu, seperti gereja di Afrika dan
Amazon, dengan proposal yang pada akhirnya akan dipilih oleh Paus untuk
dipertimbangkan dalam dokumen pada masa depan.
Sinode ini berbeda karena temanya sangat luas, dan
karena Paus Fransiskus mengizinkan perempuan dan warga awam lainnya untuk
memberikan suara bersama para uskup dalam agenda-agenda yang diusulkan umat
Katolik lewat proses konsultasi.
Hanya ada 54 perempuan dari 365 anggota yang
memberikan suara, dan pihak penyelenggara bersikeras bahwa tujuannya adalah
untuk mencapai konsensus, bukan untuk menghitung suara seperti di parlemen.
Namun reformasi pemungutan suara ini bukanlah hal
yang kecil. Ini merupakan bukti nyata dari visi Paus Fransiskus tentang Gereja
Katolik yang lebih mementingkan jemaat dibanding gembalanya.
Sheila Pires yang bekerja di Konferensi Waligereja
Afrika Selatan dan merupakan anggota tim komunikasi sinode, telah melakukan
perjalanan dari Johannesburg untuk berpartisipasi dalam sinode. "Mereka
ingin diberi posisi kepemimpinan yang lebih baik. Mereka ingin suara mereka
didengar, tidak hanya menjelang pengambilan keputusan, tetapi juga selama
pengambilan keputusan. Perempuan ingin menjadi bagian dari itu," ujar
Pires.
Paus
Mulai Reformasi Gereja
Paus Fransiskus mengambil langkah pertama dalam
menanggapi tuntutan itu ketika pada tahun 2021 ia menunjuk Suster Nathalie
Becquart dari Perancis sebagai wakil ketua sekretariat penyelenggara sinode,
sebuah pekerjaan yang menurut jabatannya memberi dia hak untuk memberikan
suara, tetapi sebelumnya hanya dipegang oleh seorang laki-laki. Becquart dalam
banyak hal telah menjadi wajah sinode. Selama tahap persiapan ia telah
berkeliling dunia untuk mencoba menjelaskan gagasan Paus Fransiskus tentang
gereja yang menyambut semua orang dan menemani mereka.
Dalam sebuah wawancara bulan Juni lalu, Becquart
mengatakan “jadi itulah sebabnya untuk mengubah gereja, dan sinode yang fokus
pada hal itu, kita membutuhkan perubahan budaya dan pola pikir. Ini tentang
sikap, pendidikan dan itu tidak mudah.”
Tidak ada yang lebih tahu daripada Becquart tentang
upaya yang dilakukan.
Beberapa minggu sebelum sinode Oktober ini, ketika
Paus melakukan perjalanan ke Prancis, ia mengadakan Misa di stadion kota.
Saat para uskup dan kardinal berjubah putih menunggu
di altar, sementara Paus berkeliling stadion dengan mobil kepausan, Becquart
berjalan di antara mereka dengan tenang dan mengajak mereka bercakap-cakap.
Beberapa tahun yang lalu, Paus Fransiskus mengatakan
kepada kepala organisasi perempuan Katolik utama Vatikan, untuk
"berani" mendorong perubahan bagi perempuan di Gereja Katolik.
Dorongan
Perubahan dari Dalam dan Luar Gereja
Maria Lia Zervino menindaklanjuti pernyataan Paus
itu, dan pada 2021 menulis surat kepada Paus yang kemudian mempublikasikannya,
di mana ia mengatakan dengan tegas bahwa Gereja Katolik berhutang budi pada
separuh umat manusia, dan bahwa perempuan layak berada di meja di mana
keputusan gereja dibuat, bukan hanya sebagai "ornamen" tetapi sebagai
tokoh utama.
Sementara bagi Zervino, yang pernah bekerja bersama
mantan Kardinal Jorge Mario Bergoglio saat keduanya memegang posisi di
konferensi para uskup Argentina, pertemuan dalam sinode ini merupakan momen
penting bagi gereja, dan mungkin merupakan yang paling penting yang akan
dilakukan oleh Fransiskus sebagai paus.
Dalam sebuah wawancara di kantornya di Vatikan,
Zervino menjelaskan bagaimana Paus Fransiskus telah memperluas Sinode Para
Uskup menjadi Sinode Umat Allah, yang akhirnya mengizinkan perempuan untuk
memberikan suara.
Zervino mengelola World Union of Catholic Women's
Organizations, sebuah payung organisasi berbasis di Vatikan yang mengelompokkan
100 asosiasi Katolik dan mewakili 8 juta perempuan. Organisasi itu pada awal
tahun ini melakukan survei awal pada umat Katolik yang berpartisipasi dalam
konsultasi sinode. Survei itu mendapati bahwa permintaan untuk diakonat
perempuan sangat mendesak di Amerika Utara dan Eropa.
Paus Fransiskus mendengarkan Zervino. Baru-baru ini
ia menunjuknya sebagai salah satu dari tiga perempuan yang duduk di dewan
keanggotaan Dewan Keuskupan. Ini merupakan pertama kali dalam sejarah, seorang
perempuan memiliki suara dalam pemilihan penerus para Rasul Kristus.
Sementara Zervino mendorong perubahan dari dalam
Vatikan, McElwee bekerja dari luar. Dia sangat optimis dengan apa yang akan
terjadi di dalam jika perilaku tertentu yang ditunjukkan oleh orang-orang yang
memiliki kekuasaan di Vatikan tidak muncul. "Saya berharap
percakapan-percakapan itu dapat berlangsung dengan bebas, dan bahwa
klerikalisme dan misogini serta ketakutan tidak menghalangi," katanya
sambil berdiri di tepi Lapangan Santo Petrus, sehari sebelum Konsistori (Dewan
Kardinal) memilih 21 Kardinal baru.
Saat ini ada 242 Kardinal di Gereja Katolik di
seluruh dunia. Mereka dikenal sebagai "pangeran-pangeran
gereja." *** voaindonesia.com