Badan Bahasa Kemendikbud mengategorikan status
bahasa daerah Indonesia menjadi kategori aman, rentan, mengalami kemunduran,
terancam punah, kritis dan punah. Dalam hal ini, pada tahun 2018 terpantau
terdapat 19 bahasa daerah dalam kondisi aman, 16 bahasa daerah dalam kondisi
rentan, 2 bahasa daerah mengalami kemunduran, 22 bahasa daerah terancam punah,
4 bahasa daerah dalam kondisi kritis, dan 11 bahasa daerah mengalami kepunahan.
Kepunahan Bahasa Daerah merupakan salah satu isu
nasional yang perlu disikapi dengan serius. Alasan-alasan mendasar mengapa
bahasa daerah harus dipertahankan ialah : Pertama, keberadaan bahasa daerah,
erat kaitannya dengan kehidupan dan kebudayaan daerah. Kehilangan bahasa daerah
sama saja kehilangan kebudayaan daerah. Kehilangan keduanya artinya kematian
identitas daerah.
Kedua, bahasa daerah merupakan kekayaan masyarakat
dan aset bangsa. Ketiga, bahasa daerah merupakan citra luhur masyarakat yang
mencerminkan nilai-nilai kearifan budaya masyarakat penuturnya. Bahasa daerah
merupakan sarana komunikasi untuk transfer pengetahuan. Kebudayaan suatu daerah
yang bahasa daerahnya sudah punah akan cenderung sulit untuk digali kembali.
Faktor alami yang menjadikan bahasa daerah punah
dapat berupa bencana alam (natural disaster), pengaruh bahasa mayoritas,
komunitas bahasa yang bilingual atau multilingual, pengaruh globalisasi,
migrasi (migration), perkawinan antaretnik (intermarriage). Di samping itu,
kepunahan bahasa daerah juga terjadi secara non-alamiah akibat dari kurangnya
penghargaan terhadap bahasa daerah, kurangnya intensitas pemakaian bahasa
daerah, pengaruh faktor ekonomi, dan pengaruh pemakaian bahasa Indonesia.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan di
atas, terdapat faktor lain yang sangat memengaruhi kepunahan bahasa daerah.
Faktor tersebut adalah terjadinya politik bahasa dalam skala nasional ataupun
internasional. Mari kita coba melihat sejarah bagaimana perkembangan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan implikasinya terhadap bahasa daerah.
Dalam sejarahnya, penabalan bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional nyatanya terjadi bukan atas dasar kengototan etnosentris dengan
mempertimbangkan mana suku yang lebih besar atau lebih kecil. Dahulu, bahasa
Melayu telah digunakan secara meluas sebagai medium perdagangan antar suku
bangsa, sebagai bahasa dakwah, dan banyak pula karya sastra yang ditulis dengan
bahasa ini.
Sejak dahulu bahasa Melayu telah menjadi lingua
franca masyarakat nusantara. Atas dasar itu, bahasa Melayu dipilih atas dasar
penerimaan bersama dari masing-masing jong (yang memproklamirkan sumpah pemuda)
karena sama-sama mengakui bahasa Melayu sudah cukup besar cakupannya dan mampu
mempersatukan suku bangsa yang sangat besar.
Sejak sumpah muda tersuar, bahasa Melayu eksis
sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Meski begitu, mulanya bahasa
Indonesia tetap melindungi bahasa daerah lainnya. Namun sangat disayangkan pada
periode-periode berikutnya, lambat laun bahasa Indonesia malah melahap bahasa
daerah.
Hal ini bisa dirunut dari pesatnya pembangunan masa
orde baru yang menggantikan semangat populisme masyarakat daerah dengan
semangat pembangunan nasional yang terpusat dan elitis. Sistem ekonomi nasional
pun berubah dari yang anti modal asing menjadi pro asing.
Ekonomi menjadi pusat perhatian pembangunan tanpa
melihat bagaimana efek kerusakannya terhadap nila-nilai kedaerahan yang amat
kaya. Selogan-selogan pelestarian budaya daerah kerap dilontarkan, namun pada
masa ini cara pandang masyarakat terhadap kebudayaan daerah sudah berbeda.
Kebudayaan daerah tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang hidup atau layak
hidup di masa sekarang. Kebudayaan daerah malah dipandang sebagai suatu artefak
yang sudah lama ditinggalkan dan ada baiknya kita menggali, mencari,
membingkainya dan sesekali kita kunjungi di Museum. Kebudayaan daerah bukan
lagi menyatu dalam kehidupan masyarakat, melainkan sudah benar-benar terpisah.
Secara sederhana sebenarnya kita bisa mengatakan
bahwa bahasa daerah mati dan punah bukan karena tak punya lagi kata-kata untuk
menginterpretasi kehidupan, melainkan karena bahasa itu jarang atau bahkan tak
lagi dituturkan. Bahasa tuturnya ada, yang tak ada adalah orang yang
menuturkannya. Hal ini karena masyarakat penutur lebih sering bertutur dalam
bahasa lain. Pendidikan adalah sektor yang juga perlu disororti dalam hal ini.
Kita bisa meminjam perspektif Pierre Bourdieu untuk
menjelaskan gejala mengapa masyarakat kita perlahan mulai meninggalkan bahasa
daerahnya. Secara mendasar Bourdieu melihat mengapa suatu bahasa bisa
terlegitimasi dan perlahan mendominasi bahasa lain karena adanya nilai
distingtif dalam praktik berbahasa masyarakat saat membangun relasi sosial.
Dalam praktik berbahasa, kita memproduksi dan meresepsi produk linguistik untuk
membangun relasi sosial.
Sadar ataupun tidak, secara tidak langsung dalam
proses tersebut produk linguistik yang digunakan terkategorisasi secara sosial.
Singkatnya, hal ini menimbulkan adanya anggapan di masyarakat bahwasanya ada
bahasa yang terlihat (secara simbolik) sebagai bahasa yang lebih gaul, keren,
mencerminkan intelektual dan lain-lain. Ini yang membuat penutur bahasa daerah
lebih senang menggunakan bahasa lain yang dirasanya lebih prestige.
Bourdieu juga menyoroti bagaimana implikasi
penggunaan bahasa resmi (nasional) dalam ranah pendidikan dan implikasinya
terhadap bahasa komun (daerah). Melihat ini Bourdieu merasa ada sekelompok
orang yang kompetensi linguistisnya terdominasi dan kepentingannya tidak lain
adalah memenangkan “pasar”.
Orang tua di rumah akan memaksa anaknya pandai
berbahasa nasional atau bahkan bahasa asing untuk menaikkan nilai mereka di
pasar sekolah. Tanpa disadari ini tidak hanya soal penguasaan bahasa, namun
juga berkaitan dengan penghancuran ekspresi linguistik dan pengubahan kesadaran
suatu kelompok masyarakat. Karena bahasa berkaitan erat dengan cara manusia
menginterpretasi dunia dan mengekspresikan diri.
Kemudian, bagaimana solusi dari permasalahan ini.
Kita berharap adanya pelestarian dan penguatan yang serius terhadap bahasa
daerah. Bukan sekadar jargon-jargon seperti yang sudah kita bicarakan
sebelumnya. Pertama, kesadaran individual maupun komunal penutur bahasa daerah
sangat diperlukan. Mereka perlu mendapat keyakinan kembali bahwa bahasa
daerahnya amat penting untuk terus dijaga kelestariannya mengingat begitu
banyak kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Kedua, secara politis pemerintah harus benar-benar
serius menanggapi kepunahan bahasa daerah dan berupaya mendukung dan mengusung
sepenuhnya potensi-potensi daerah. Lebih-lebih saat ini terdapat ancaman dari
budaya asing yang marak menimbulkan gejala xenomania bahasa (kegandrungan
berlebih terhadap bahasa asing) pada masyarakat.
Kita patut mengapresiasi inisiasi pemerintah untuk
menanggapi kepunahan bahasa daerah dengan serius dengan adanya program
revitalisasi bahasa daerah. Program revitalisasi bahasa daerah merupakan paket
kebijakan yang dikemas dalam Merdeka Belajar Episode 17, yang diluncurkan
tanggal 22 Februari 2022 yang lalu.
Tujuan dari program ini ialah untuk: Pertama,
menjadikan pemuda sebagai penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah
dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai. "Kedua, menjaga
kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah. Ketiga, menciptakan ruang
kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk
mempertahankan bahasanya, dan keempat, menemukan fungsi dan rumah baru dari
sebuah bahasa dan sastra daerah.
Sebagai sektor penting, dunia pendidikan perlu
membuat banyak inovasi untuk melestarikan bahasa daerah. Saya menyoroti saat
ini mulai dikembangkan kegiatan budaya di sekolah. Di mana, dipilih satu hari
dalam satu minggu sekolah memfasilitasi siswa berkreasi mengekspresikan
berbagai kesenian.
Sangatlah baik bila hal ini dimanfaatkan dengan
sekolah membuat kebijakan dalam hari tersebut siswa diharuskan bertutur sapa di
lingkungan sekolah menggunakan bahasa daerah. Banyak sekolah atau pondok
pesantren yang membuat kebijakan menggunakan bahasa asing dalam bersosialisasi
di lingkungan sekolah atau pondoknya. Saya rasa saat ini, perlu ada fokus juga
yang perlu dilakukan sekolah-sekolah untuk membuat program serupa untuk
pelestarian bahasa dan sastra daerah.