banner Mengapa Budaya Logika Mistik Tidak Bisa Hilang di Indonesia?

Mengapa Budaya Logika Mistik Tidak Bisa Hilang di Indonesia?



Suara Numbei News - Logika mistika, sederhananya adalah cara berpikir yang berlandaskan kepercayaan pada hal-hal mistis, gaib, atau dogma-dogma kerohanian tanpa verifikasi empiris atau penalaran ilmiah.

Dalam (Madilog, 1943) karya Tan Malaka, istilah ini merujuk pada pola pikir masyarakat Indonesia yang mengaitkan fenomena alam, nasib, dan kemerdekaan atau tujuan dengan kekuatan supranatural seperti takhayul (santet, jimat), animisme-dinamisme (kepercayaan pada roh nenek moyang atau benda keramat).

Nah, dalam keseharian, tentu kita pernah bersinggungan dengan praktik tersebut, baik disengaja atau tidak disengaja. Misal bertemu teman yang seolah-olah memiliki kelebihan dalam hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal (lebih tepatnya belum dicari tahu saja sebab-akibatnya)? Atau punya pengalaman mendatangi seseorang yang dianggap memiliki kemampuan serupa untuk dimintai tolong, entah ia disebut sebagai dukun, paranormal atau seseorang dari tokoh agama?

Dalam dunia bisnis atau politik, hal semacam ini juga tak lepas pengaruhnya, contohnya kemarin menjelang pemilihan legislatif atau pilkada 2024. Banyak dukun politik yang bertebaran di mana-mana seantero Indonesia, menawarkan jasa dalam membentengi kliennya untuk mencapai tujuan melalui kekuatan gaib. Salah satunya, Ki Kusumo dilansir (BBC Indonesia) yang mengaku sudah membantu pemenangan banyak calon dalam kontestasi politik sejak 1990-an yang membuka praktik di Bekasi, Jawa Barat.

Namun, beberapa tahun terakhir, kita juga diresahkan oleh praktik serupa, mulai dari tempat-tempat klenik, kajian nonformal hingga bahkan dunia pendidikan berbasis keagamaan yang melakukan berbagai tindak kriminal atas nama kekuatan supranatural atau spiritual.

Di tengah meningkatnya ekspose media dan kasus-kasus kriminal yang melibatkan klaim kekuatan supranatural, generasi muda mulai menunjukkan resistensi atas berbagai macam problematika tersebut. Tetapi, kebanyakan masih tidak berdasar atau ragu-ragu sehingga yang sebenarnya sedang mereka tinggalkan hanyalah peristiwa-peristiwa buruk atas praktik semacam itu atau memblacklist orang-orang yang tidak mereka percayai saja. Sedangkan orang-orang yang mereka percayai, masih dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan magis.

Kekeliruan dalam memahami agama juga berpotensi menjadi penyumbang pengaruh terhadap fenomena ini. Dalam Islam misalnya, seseorang diharuskan percaya kepada hal gaib sebagai bentuk bukti keimanan atau dalam Kristen disebut gift of prophecy. Tetapi, kepercayaan kepada yang gaib pada agama-agama ini sering disalahfahami hingga berakibat pada melencengnya penafsiran atas peristiwa-peristiwa mistis semacam hal di atas.

Dilema antara ingin percaya karena agama dan menolak percaya karena tidak masuk akal tersebut akhirnya menimbulkan kesan kontradiktif yang seringkali menjebak perasaan ragu lalu menciptakan siklus berulang tentang mengapa kita tidak benar-benar meninggalkan logika mistika dengan utuh sebelum mencari tahu akarnya lebih jauh.

Cikal bakal lestarinya logika mistika, selain karena pengaruh budaya, warisan kolonial hingga agama yang disalah-persepsikan. Ia juga muncul dalam cara kita memandang manusia, khususnya fenomena 'manusia indigo' yang sering disalahpahami pada masyarakat Indonesia. Lalu, bagaimana sebenarnya fenomena manusia indigo itu?

Telisik Manusia Indigo yang Disalahpahami

Istilah 'manusia indigo' kerap dikaitkan dengan anak-anak berkemampuan luar biasa, memiliki indera keenam atau keahlian meramal masa depan dan lain sebagainya, padahal sejarahnya berawal dari konsep aura dan kebutuhan akan penghiburan bagi orang tua yang memiliki anak berkelainan.

Cerita bermula di Amerika pada era 1970-an, ketika fotografi kirlian, sebuah teknik yang diklaim mampu menangkap aura manusia digunakan untuk memotret anak-anak dengan Savant Syndrome. Savant Syndrome sendiri adalah kondisi nyata dalam dunia medis, di mana penyandang disabilitas intelektual menunjukkan bakat luar biasa di bidang tertentu. Saat difoto, terlihat semburat warna nila di sekitar tubuh mereka, yang kemudian dianggap sebagai 'aura indigo'.

Indigo, pada dasarnya, hanyalah warna nila dalam spektrum cahaya, tidak lebih dari sebuah pigmen antara biru dan ungu. Namun, ketika warna ini dihubungkan dengan aura manusia, lahirlah narasi tentang keistimewaan yang sebenarnya lebih bersifat romantisisasi daripada fakta ilmiah.

Akar konsep manusia indigo dapat ditelusuri ke gagasan esoteris tentang aura, medan energi yang konon mengelilingi setiap individu. Dalam tradisi metafisika, warna aura diyakini mencerminkan kepribadian, emosi, bahkan takdir seseorang. Indigo, sebagai warna yang jarang muncul dalam pembacaan aura, kemudian dikaitkan dengan sifat-sifat yang langka dan unik itu.

Ryu Hasan, seorang dokter spesialis bedah saraf dan pakar neurosains Indonesia, dilansir berbagai sumber saat membahas tema indigo mengatakan bahwa,

Aura yang terlihat itu sebenarnya hanya uap air dari tubuh yang tertangkap kamera, Fotografi Kirlian tidak konsisten hasilnya dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti kelembapan dan suhu. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai aura indigo hanyalah artefak teknis belaka, bukan bukti energi spiritual apalagi tanda keistimewaan."

Lansir (gaia.com, 2025) pada era tersebut, Nancy Ann Tappe memperkenalkan istilah 'anak indigo' untuk menggambarkan individu dengan aura nila yang dianggap sebagai generasi baru yang memiliki kekuatan supranatural. Klaim ini, meski tidak berdasar ilmiah, dengan cepat menyebar karena memenuhi kebutuhan psikologis manusia akan harapan dan makna hidup dalam kondisi ketidakpastian.

Tetapi, di balik narasi heroik ini, tersimpan kisah yang lebih menyayat hati, banyak anak yang disebut indigo sebenarnya adalah anak-anak yang kesulitan menyesuaikan diri dengan norma sosial atau sistem pendidikan konvensional. Mereka mungkin menunjukkan gejala seperti hiperaktivitas, sensitivitas berlebihan, atau kesulitan konsentrasi, ciri-ciri yang dalam konteks medis bisa mengarah pada Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), autisme, atau gangguan pemrosesan sensorik.

Klaim sepihak sebagai indigo atau gifted (berbakat supranatural) telah menghambat deteksi dini hingga penanganan medis bagi orang-orang yang mungkin sedang mengalami gangguan jiwa, kata sejumlah pakar dilansir dari (BBC Indonesia).

Sayangnya, di era ketika pemahaman tentang neurodiversitas dulu masih terbatas, orang tua seringkali dihadapkan oleh dua pilihan, yakni menerima label gangguan mental yang terasa menyakitkan atau memeluk konsep indigo yang terdengar lebih mulia dan terasa istimewa. Tidak mengherankan jika banyak yang memilih opsi kedua, bukan?

Romantisasi Kelainan Sebagai Indigo

Di sinilah romantisasi manusia indigo bermula. Daripada mengakui bahwa seorang anak mungkin membutuhkan terapi atau pendekatan pendidikan khusus, para orang tua ini justru lebih percaya pada klaim bahwa anak mereka memiliki keistimewaan tersembunyi. Orang tua yang awalnya cemas kemudian merasa terhibur dengan keyakinan bahwa anak mereka bukanlah anak yang bermasalah, melainkan bintang yang terlahir dengan misi istimewa. Industri media, buku, televisi dan sosial media turut memperkuat keyakinan ini dengan mengolah konten yang menggambarkan anak indigo sebagai generasi terpilih, lengkap dengan testimoni-testimoni yang lebih mirip cerita motivasi daripada laporan faktual.

Ironisnya, romantisasi ini justru merugikan anak-anak itu sendiri. Alih-alih mendapatkan bantuan yang sesuai kebutuhan mereka, banyak anak indigo hanya diberi label kosong tanpa intervensi nyata. Seorang anak yang sebenarnya memerlukan terapi okupasi untuk mengelola sensitivitas sensorik, misalnya, malah diyakinkan bahwa ia berbakat indigo yang suatu hari akan menemukan jalannya sendiri.

Tanpa dukungan yang tepat, anak-anak ini justru berisiko tumbuh dengan rasa frustasi karena tidak dapat memenuhi ekspektasi kekuatan mistis yang dibebankan padanya saat kecil atau terpaksa berbohong demi memvalidasi pandangan orang lain terhadap penilaian dirinya, lebih jauh dia berpotensi tenggelam dalam dunia khayalnya sendiri yang dalam medis disebut skizofrenia.

Dari Mitos ke Logos (Nalar Ilmiah)

Fenomena manusia indigo bukanlah bukti evolusi spiritual atau kekuatan supranatural umat manusia, melainkan hasil dari upaya manusia untuk memberi makna pada perbedaan yang tidak mudah untuk dipahami secara umum. Konsep manusia indigo juga mencerminkan kecenderungan manusia untuk mengubah keterbatasan menjadi mitos yang mulia.

Sepanjang sejarah, masyarakat kita sering memitoskan hal-hal yang tidak mereka pahami, dari buaya sungai menjadi mitos buaya leluhur hingga anak autis yang disebut sebagai orang pintar yang terasing. Manusia indigo dalam hal ini hanyalah versi modern dari fenomena ini, sebuah konstruksi yang lahir dari ketidaktahuan dan keinginan untuk menghindari realitas yang tidak menyenangkan.

Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ini? Pertama, penting untuk mengakui bahwa setiap anak unik, tetapi keunikan itu tidak perlu dilebih-lebihkan menjadi mitos yang mengaburkan realitas. Kedua, jika seorang anak menunjukkan perilaku yang menyulitkan, langkah terbaik adalah mencari pemahaman medis, bukan pelarian ke dunia spiritual sebagai penenang apalagi perdukunan. Terakhir, sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis terhadap klaim-klaim yang terdengar ajaib tetapi tidak memiliki dasar empiris.

Pada akhirnya, manusia indigo adalah produk dari keinginan kita untuk percaya bahwa ada penjelasan yang lebih indah di balik kesulitan hidup. Namun, kebenaran seringkali lebih sederhana, anak-anak yang disebut indigo adalah manusia biasa yang mungkin membutuhkan bantuan ekstra, bukan karena mereka istimewa secara spiritual, tetapi karena mereka manusia dengan kompleksitas yang wajar.

Daripada mengubur realitas di balik mitos indigo, mungkin lebih baik jika kita belajar menerima perbedaan sebagai bagian dari keragaman manusia yang alami tanpa perlu mengubahnya menjadi legenda warisan yang malah berpotensi menyakiti si anak secara tidak langsung ketika dewasa.

Lebih dari sekadar mitos, logika mistika bertahan karena telah memenuhi kebutuhan psikologis manusia, seperti rasa aman, harapan, dan penjelasan sederhana atas kompleksitas hidup. manusia indigo adalah cermin dari kegelisahan kolektif kita yang belum siap menerima kenyataan apa adanya. Tapi mungkin, saat kita mulai berhenti mengeksploitasi mereka dengan sebutan berlebihan dan berhenti mengkomersialisasi mereka demi konten-konten menyesatkan lainnya, justru saat itulah kita telah benar-benar mulai memanusiakan mereka kembali.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama