Ensiklik Laudato Si merupakan sebuah master piece Paus Fransiskus bagi keselamatan alam dan segala isinya. Penulis menyebutnya, master piece sebab, tulisan ini memberi perhatian besar kepada upaya-upaya kita merawat bumi secara universal dan peduli terhadap perubahan iklim yang terus menerus terjadi. Manusia perlu memperlakukan bumi secara manusiawi, arif lagi bijaksana dan bukan sebaliknya. Bumi bukan sekedar planet yang menghiasi system tata surya, tetapi dari bumi lahir segala kehidupan, harapan, impian dan sukacita. Manusia perlu belajar dari Allah dan dari sifat-sifat-Nya, namun manusia patut mengetahui tabiat buruknya, sikap yang serba eksploratif dan destruktifnya. Melihat alam sebagai anugerah dan rahmat Tuhan merupakan sebuah keharusan bagi manusia. Juga merawat dan memberdayakan bumi merupakan amanat suci ensiklik Laudato Si, sebagai maha karya Paus berkebangsaan Argentina tersebut. Selain itu, penulis menggunakan metode studi kepustakaan, dengan maksud memberikan rujukan kepada pembaca bahwa usaha menjaga sesungguhnya merupakan ajakan Allah secak penciptaan dan usaha gereja terus menerus. Sebab itu, manusia tidak bisa melupakan begitu saja panggilannya untuk menjawa planet bumi ini.
Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Tujuh tahun atau (lebih dari Lustrum I) umur ensiklik Laudato Si sejak dipublikasikan pada 24 Mei 2015. Hadirnya ensiklik ini, sedikit banyak memberi manfaat dan kontribusi bagi banyak pihak. Akan tetapi, ensiklik ini memberi semacam teguran, terutama pribadi atau kelompok tertentu yang giat merusak alam. Banyak tindakan melukai alam dilakukan di manamana sehingga udara menjadi tidak segar, sampah berserahkan di sana-sini, pemanasan global, ilegal logging, ilegal fishing terus dilakukan bahkan eksplorasi sumber daya alam terjadi secara massifsistemik di seantero dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Ibu bumi terus dilukai, namun perusaknya seakan tidak sadar. Mereka menghalalkan segala cara; hukum dan aturan di langgar; bahkan dengan berdalih dan mengatasnamakan rakyat demi terwujudnya bonum commune namun sejatinya demi mengejar kesejahteraan diri dan kelompok. Krisis kesadaran, krisis ekologi (Paus Fransiskus, 2016) telah merebak lagi membesar; merasuk hingga ke seluruh sendi kehidupan. Inilah kenyataan menyalahi hukum adat (moyang) dan hukum sipil bahkan menyimpang dan melanggar titah Sang khalik, Allah pencipta, penyelamat dan menyelenggara planet ini. Selain itu, iklim adalah salah satu sisi kesejahteraan umum, milik semua dan untuk semua. Secara global, iklim adalah suatu sistem yang kompleks, terkait dengan banyak syarat mutlak untuk kehidupan manusia (Paus Fransiskus, 2016).
Berkaitan gambaran dunia saat ini yang semakin
memperlihatkan krisis ekologi, maka Bapa Paus Fransiskus mengajak umat beriman
di dunia ini untuk memiliki kesadaran kolektif untuk merawat bumi rumah kita
agar rumah yang dihuni ini dapat menjadi berkah kelak bagi anak cucu yang akan
datang. Seruhan Bapa Suci tersebut tentu saja melihat aneka fenomena yang
terjadi seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Bapak suci mengajak
kaum beriman agar memperhatikan, merawat dan menjaga dengan baik bumi ini sebab
akhir-akhir ini manusia yang berakal budi sudah tidak memperhatikan alam dengan
baik. Hal ini berarti kurangnya penghormatan terhadap alam, eksploitasi yang
tidak tertib, terhadap sumbersumbernya, dan makin rusaknya kualitas hidup
manusia. Merawat rumah bumi bersama merupakan ajakan gembala bagi keberlanjutan
tata ciptaan dunia. Dalam ensikliknya, Paus menegaskan, “Untuk menghapus
sebab-sebab struktural dari salah-langkah ekonomi dunia dan mengoreksi model
pertumbuhan yang ternyata tidak mampu menjamin penghormatan terhadap
lingkungan. . Oleh karena itu, “kerusakan alam sangat terkait dengan budaya
yang membentuk koeksistensi manusia (Paus Fransiskus, 2015).
Metode
Penelitian
Dalam tulisan ini, metodologi yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif. Penulis melakukan studi kepustakaan atas refleksi
tulisan ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan oleh Bapa Suci Fransiskus kemudian
melakukan analis atas fenomena yang terjadi di dunia ini. Tulisan ini mengikuti
alur atau skema antara lain: Pertama, memaparkan Allah dan sifat-Nya. Kedua,
Manusia dengan sifatnya. Ketiga, keutuhan ciptaan sebagai anugerah Allah.
Keempat, merusak ciptaan, merusak Anugerah Allah. Kelima, Ensiklik Laudato Si,
Ajakan Profetis Sang Pucuk Pimpinan Gereja Katolik Sejagat. Pada akhirnya, di
bagian penutup tulisan ini, penulis menyertakan semacam kesimpulan “kecil”
berdasarkan rangkain uraian sebelumnya. Sumber data dalam studi ini yakni
menggunakan data primer dan sekunder yang mendukung tulisan ini.
Hasil Dan
Pembahasan
Tahun 1989, St. Yohanes Paulus II mengirimkan pesan
natal berjudul, “Peace with The God The Creator, Peace With All of Creation. Di
dalamnya, ia menulis, “Perdamaian dunia terancam bukan hanya oleh
konflik-konflik regional, dan ketidakadilan bangsa-bangsa tetapi juga oleh
kurangnya penghormatan terhadap alam, oleh eksploitasi yang tidak tertib,
terhadap sumber-sumbernya, dan makin rusaknya kualitas hidup. Krisis ekologis
untuk sebagian merupakan tanggungjawab setiap orang (Shabecoff, 2000) arah
dasar kesadaran ekologi sesungguhnya adalah melihat kenyataan dunia ini secara
integralholistik kesatuan dalam kemajemukan (Buntaran, 1996).
Allah dan Sifatnya
Allah pada
hakikatnya adalah baik. Ia menciptakan semua baik adanya. Semua dapat kita
lihat dan baca dalam bagian awal Kitab Kejadian mengenai rentetan penciptaan.
Di sana dikatakan, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum
berbentuk dan kosong (Lih. Kej 1:1-2a). Bumi yang kosong diberdayakan oleh
Allah dengan aneka mahakarya. Tuhan memberi air (Lih. Kej 1:9-10), tanah untuk
menumbuhkan tunastunas muda, tumbuh-tumbuhan berbiji, segala jenis pohon
buah-buahan (Lih. Kej 1:11-12), menciptakan segala jenis burung (Lih. Kej
1:22), mengeluarkan segala jenis makhluk hidup, ternak dan binatang melata, dan
segala jenis binatang liar (Lih Kej 1:24- 25), dan setelah semua itu, Allah
mencipkan manusia seturut rupa-Nya (Lih. Kej. 26).
Karya penciptaan mengungkapkan pula sifat Allah
sebagai pemelihara, pelindung, penjaga, pencipta, pemerhati, pemberi dan lain
sebagainya. Sebab itu, dunia perlu dipelihara, dijaga, dirawat dunia adalah
rumah kita semua. Dunia dan segala isinya diciptakan oleh Allah dan manusia
diberi rahmat khusus oleh Allah untuk menjaga kelestariannya. Manusia diberi kuasa,
utamanya untuk memastikan semua tatanan ciptaan terus lestari. Akan tetapi
manusia dan segala macam kecendurungan ragawi-insaninya menyebabkan alam
menjadi rentan terhadap segala hal. Manusia adalah ciptaan khas, unik, otentik
dan original namun menjadi menyimpang. Pokok berikut hendak menjawab persoalan
menjawab siapa manusia, sifat-sifatnya yang membuat ibu bumi terluka.
Manusia dan
Sifatnya
Dalam rencana penyelamatan Allah, yang ditandai
dengan rentetan penciptaan (Kej 1:1-31), manusia mendapat keistimewaan khusus
(Buntaran, 1996). Kata “khusus” tidak sekedar merujuk kepada eksistensinya
sebagai ciptaan yang “secitra dengan Tuhan” melainkan juga diberi kuasa untuk
menguasai, menaklukan, memberdayakan, merawat, menjaga, bahkan menciptakan dunia
yang baik dan harmoni. Melaui beberapa upaya ini, manusia lalu menjadi rekan
kerja Allah (Co-Creator Dei). Dua perangkat diberi oleh Allah sekaligus, yakni
akal budi dan pengetahuan. Keduanya merupakan rahmat fundamental, hakiki dan
substansial pada manusia. Keduanya, tidak sebatas membantu manusia untuk
menyadari eksistensi dan esensinya sebagai ciptaan paripurna Allah, seturut
rupa Yesus Kristus “citra paripurna” Allah, melainkan terutama untuk menuntun
dan menolong manusia bagaimana halnya memelihara dan menjaga keutuhan ciptaan
sebagai anugerah Allah. Manusia mendapat otonomi dari Allah, yaitu otonomi
partisipatif, bukan otonomi yang diperoleh dari dirinya sendiri. Di hadapan
Allah, ia adalah ciptaan, sama seperti ciptaan lainnya (Buntaran: 1996)
Sebagai gambar dan rupa Allah, berarti manusia
menjadi wakil Allah, perlu mengejawantakan kuasa Allah yang
menggembalakan/mengurus. Perintah untuk menaklukan bumi, pun mesti dipahami
bukan sebagai eksplorasi alam, tetapi mengolah dan memelihara tanah untuk
memenuhi kebutuhan hidup (Surip, 2020). Pertanyaannya, mengapa bumi perlu
dijaga? Inilah pertanyaan yang penting untuk dijawab oleh setiap orang. Bumi
adalah rumah bersama, yang diciptakan indah dan baik oleh Allah. Diadakan dari
ketiadaan (creatio ex nihilo) tetapi tidak untuk dihancurkan melainkan untuk
dilestarikan dan tidak untuk dirusak oleh apapun dan oleh siapapun, atas dasar
apapun maupun atas nama siapapun. Akan tetapi, nyatanya dunia/alam pun
tercemar, manusia menyerbu segala relung rahasianya dan melakukan perbuatan
yang jahat dan terkutuk (Farb, 1980). Manusia terus merusak tanpa berpikir,
tanpa mempertimbangkan nasib generasi esok. Jutaan manusia di bumi pertiwi
secara bertahap mulai menderita dalam ketidakberdayaan, kemiskinan, kelaparan,
dan kehancuran (Purnomo, 2005) Inilah krisis kesadaran.
sis kesadaran. Tidak sadar bahwa kita hidup dunia
ini dari orang tua kita dan memberikan kepada anak-anak kita. Bila kita adalah
pemilik dunia ini, apa yang patut kita lakukan dengannya? Would you cut down the forests, plow up the land, dam the rivers, and
burn all the coal and oil? Would you plunder your own earth? Would you then let
your children worry about any problems the future might brings?
Conservasionists believe you must not squander your inheritance. They say: Yes,
use what the earth has offer, but use it wisely. Use it in a way that thinks as
much of tomorrow as it does of today (Lankin, 1986). Kita perlu
memperlakukan dunia secara layak dan pantas juga secara manusiawi. Namun
demikian, tindakan manusia yang acuh tak acuh cenderung destructif dan non-etis
telah mengubah dunia. Lingkungan berubah, lebih ironisnya iklim pun berubah.
Inilah awal dari petaka, akibat manusia mengabaikan alam dan kelestariannya.
Iklim memainkan suatu peranan yang sangat penting
dalam kehidupan. Setiap spesies hewan dan spesies tumbuhtumbuhan dapat tumbuh
terbaik dalam keadaan sinar matahari, kelembababan dan suhu yang tepat (Nevin,
1986). Akan tetapi, manusia yang serakah lagi egois, memberi dampak buruk yang
signifikan pada perubahan iklim. Perubahan iklim kini merupakan masalah global
dengan dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan dan
politik (Paus Fransiskus, 2016) Dengan demikian, kerusakan dan perubahan iklim
jelas merusak dan merubah segala dimensi kehidupan. inilah kenyataan tak
terelakkan di tengah dunia yang sarat komtetitif ini.
Keutuhan ciptaan melingkupi segala aspek, termasuk
Manusia. Dengan kata lain, semua dimensi di bawah kolong langit ini terintegral
dank arena itu manusia perlu menjaga sebagai anugerah Allah. Akan tetapi,
manusia cenderung menguasai, merasa superior, Allah diabaikan, alam dirusak,
bumi diporak-porandakan. Untuk itu, pokok berikut, penulis bermaksud memaparkan
alam yang harus dilestarikan sesuai anjuran ensiklik Laudato Si.
Keutuhan
Ciptaan, Anugerah Allah
Kitab Kejadian merumuskan, “pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi (Lih. Kej 1:1). Bumi penuh dengan makhluk hidup,
tumbuhan, binatang, dan manusia. Memiliki segala yang diperlukan, untuk membantu
kehidupan, kecuali terang yang bergantung dari matahari (Meinard, 1979).
Singkat kata, semua komponen jagat raya, ruang dan waktu, unsur biotik-abiotik,
hayati-non hayati, organik-anorganik mengungkapkan anugerah Allah, yang patut
dilestarikan dan dijamin keberlanjutannya oleh kita semua.
Dengan mengakui, Allah sebagai pencipta segala
sesuatu, berarti kita mengakui-Nya sebagai “penyelenggara dan penyelamat.”
Allah bukan sekedar pencipta, melainkan Ia melingkupi universum secara
holistik. Untuk itu, Boff memakai istilah Panentheisme (Greek: pan=all; en=in; Theos=God); that is God in all and all in God.
Ungkapan ini untuk pertama kali dipakai oleh Karl Christian Frederick Krause
1781-1831 (Boff, 1997). Berbeda dengan, konsep panentheisme di atas, konsep
Pantheisme (Greek: Pan=all; Theos=God)
claims that all is God, and God is all). It holds that God and the world is
identical; that the world is not God creature, but the necessary mode of God’s
existing. Everrything is identical, all is God. The heaven is God, Earth is God
(Boff, 1997). Untuk itu, manusia perlu memahami dan menyadari mengapa,
dunia yang diciptakan Tuhan, tidak dibiarkan hancur, musnah dan selesai
melainkan terus dituntun dan dijaga oleh Allah.
Dunia yang terdiri dari aneka komponen tetap
menunjukkan keberagamannya. Untuk itu, bumi yang kita huni merupakan anugerah
yang layak disyukuri oleh manusia, sebab bumi ini tidak “ada/datang” dengan
sendirinya sebagaimana dipahami oleh kaum pengikut Epicuros. Dalam menghadapi
bahaya seperti ini, salah satu wakil Gereja yang patut diapresiasi atas
kontribusinya adalah St. Athanasius dari Alexandria (296-373). Ia kembali
menggarisbawahi demikian, “Some say that
the universe came into being of its own accord and by chance, such. As the
Epicureans who pretend that there is no providence in the world (Athanasius,
1971) Menanggapi kaum Epikurean, St. Athanasius berpendapat, “Bila dunia
dimaknai atau dimengerti seperti pendapat kaum epikurean, maka segala sesuatu
akan tampak identik, seragam dan tidak terdiferensiasi (Athanasius, 1971) Namun
nyatanya tidak demikian. Dunia yang satu ini ternyata mengandung banyak
keanekaragaman. Akan tetapi, Allah harus ditempatkan bukan saja sebagai
pencipta, melainkan penyelenggara dunia yang demikian variatif ini. Untuk itu
dengan mengutip Injil Yohanes (1: 3) ia menambahkan lagi, all things were made
by him and without him was nothing made Jhon 1:3 (Athanasius, 1971), lalu
lanjutnya:
“For if, as they claim, the universe came into being by chance without providence, then everything would have had to be uniform and identical and undifferentiated. Everything would have been as in a single mass sun or moon, and among men the whole would have been a hand or eye or foot. Now this is not case. We see here the sun, there the moon or earth; and again as for human bodies, here a foot, there a hand or head. And such order indicates that they did not come into being of their own accord, but shows that cause preceded their creation, from which cause one can apprehend the God who ordered and made the universe
Dengan ini, manusia perlu menjaga bumi sebagai rumah
bersama. “Laudato Si” mi’ Signore”, “Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam
nyanyian yang indah ini, Santo Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa
rumah kita bersama, bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan
seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah
Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh
kami, dan menumbuhkan berbagai buahbuahan, beserta bunga warna-warni dan
rerumputan (Paus Fransiskus, 2015). Merusak alam, bukan hanya berarti merusak
ciptaan Allah, melainkan merusak anugerah-Nya pula, atau dengan kata lain
merusak Allah sendiri, sebab God is present in the cosmos, and the cosmos is
present in God (Boff, 1997). Seyogianya tendensi manusia yang serba
destruktivitas inilah yang hendak ditekankan pada pokok di bawah ini.
Merusak Ciptaan,
Merusak Anugerah Allah
Thomas Deddos, seorang penyair Inggris abad 19
menyatakan, “alam pun terus tercemar, manusia menyerbu segala relung
rahasianya, dan melakukan perbuatan yang jahat dan terkutuk. Sejak itu manusia-yang
selalu cenderung mengacaukan dunia, menyebarkan zat kimia sintetik serta
menciptakan alat barutelah mencemari dunia dengan laju semakin cepat. Banyak
sungai tidak lebih daripada saluran got terbuka, dan air yang kita minum telah
mengalir naik melalui “saluran pencernaan” kota. Laut kita adalah bak sampah
raksasa.
Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami orang
setiap hari. Terkena polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan,
terutama bagi orang kecil dan menyebabkan jutaan orang kematian dini. Ada pula
polusi yang mempengaruhi semua orang, disebabkan oleh transportasi, asap
industri, zat yang memberi kontribusi pada pengasaman tanah dan air, pupuk,
insektisida, fungisida, herbisida, dan agrotoksin pada umumnya (Paus
Fransiskus, 2015). Kecuali itu, Thor Heyerdahl, yang telah melintasi Atlantik
dengan perahu bambu (1960) dan (1970), telah menemukan hamparan rongsokan
pusat-pusat peradaban yang hanyut di tengah samudera. Bagian-bagian benua yang
hijau di koyak oleh tambang terbuka hingga tulang-tulang bumi pun ditelanjangi.
Kemajuan teknologi telah menjadi bencana, pesawat pancar-gas terbang dengan
suara gemuruh, truk raksasa menderu-deru, dan asap mobil membuat mata perih,
asap cerobong pabrik mencekik pernafasan (Farb, 1980).
Analisa udara dari kota New York menunjukkan bahwa
bagi manusia, menghirup udara di kota itu sama dengan menghirup bahan beracun,
yang setara dengan mengisap rokok 38 batang sehari. Kita beranak bagaikan
marmot dan memaksakan kemampuan planet kita untuk memberi makan keturunan kita.
Penuh semangat manusia telah memenuhi dan melaksanakan takdir yang tertulis
dalam Kitab Kejadian, “beranak cuculah dan bertambah banyak…berkuasalah
atas…segala makluk yang bergerak di bumi” tetapi di dalam prosesnya ia melanggar
kebanyakan hukum ekologi yang mengendalikan kehidupan dan yang merupakan pokok
kitab tersebut (Paus Fransiskus, 2015). Kecuali itu, yang paling mengkhawatirkan
dari semua serangan manusia terhadap lingkungan adalah kontaminasi udara, bumi,
sungai dan laut dengan bahan-bahan yang mematikan dan bahkan mematikan. Polusi
ini sebagian besar tidak dapat dipulihkan dalam pencemaran (Paus Fransiskus,
2015), lingkungan yang sekarang universal ini (Primavesi, 2009). Selain itu,
penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, tidak hanya
karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi hidup manusia itu
sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai kemerosotan
(Paus Fransiskus, 2015). Setiap usaha untuk melindungi dan memperbaiki dunia,
kita memerlukan perubahan besar dalam “gaya hidup, dalam pola-pola produksi dan
konsumsi, begitu juga dalam system dan struktur-struktur pemerintahan yang
sudah membaku, yang saat ini, kini dan di sini menguasai masyarakat. Atas
kenyataan inilah ensiklik Laudato Si, hendak menawarkan langkah/jalan profetis
halnya membangun dunia yang lebih baik, berdasarkan terang Kitab Suci dan Wahyu
Allah di satu sisi, maupun berdasarkan kebajikan dan teladan hidup bersahaja
sebagaimana dihidupi oleh St. Fransiskus dari Asisi. Pembahasan berikut,
sekiranya untuk memberi insight baru berkenaan dengan perihal ini.
Ensiklik Laudato
Si, Ajakan Profetis Sang Pucuk Pimpinan Gereja Katolik Sejagat
Lahirnya ensiklik ini tentu berakar pada inspirasi
hidup St.Fransiskus dari Asisi. Paus Fransiskus menulis, “saya percaya bahwa
Santo Fransiskus adalah contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam
suatu ekologi integral, yang dihayati dengan gembira dan autentik. Dia adalah
santo pelindung semua orang yang mempelajari dan bekerja di bidang ekologi,
juga dicintai orang non-Kristiani. Dia telah menunjukkan kepeduliaan khusus
kepada ciptaan Allah, dan kaum miskin, serta mereka yang tersisihkan. Dia mengasihi
dan sangat dikasihi oleh kegembiraan, pemberian dirinya yang murah hati, dan
keterbukaan hatinya. Dia adalah seorang mistikus dan peziarah, yang hidup dalam
kesederhanaan dan keselarasan yang indah dengan Allah, dengan orang lain,
dengan alam, dan dengan dirinya sendiri. St. Fransiskus menunjukkan kepada
kita, betapa tak terpisahkan ikatan antara kepeduliaan akan alam, keadilan bagi
kaum miskin, komitmen kepada masyarakat dan kedamaian batin (Paus Fransiskus,
2015). Sesungguhnya, dengan hidup dan teladan St. Fransiskus Asisi sebagaimana
diuraikan oleh Paus Fransiskus yang adalah seorang Paus Serikat Yesus (SJ)
pertama yang memilih dan memakai nama pelindung “Fransiskus” hendak
memperlihatkan kualitas hidup St. Fransiskus Asisi di satu sisi, namun di lain
sisi menggarisbawahi kedosaan manusia yang merusak hubungan empat rangkap yakni
dosa terhadap diri sendiri, dengan alam, dengan sesama dan dengan Allah.
Selain itu ensiklik Laudato Si adalah sebuah seruan
dan ajakan kenabian bagi umat Katolik pada khususnya dan umat manusia pada
umumya. Utamanya untuk mengupayakan dunia yang lebih bersahabat. Salah satu
ajakan profetis Paus Fransiskus misalnya dia mengetengahkan kenyataan dunia
saat ini. Menurutnya, “kini dihadapkan dengan kerusakan lingkungan global, saya
ingin menyapa setiap orang yang hidup di planet ini. Dalam ensiklik ini, saya
ingin berdialog dengan semua orang tentang Bumi rumah kita bersama (Paus
Fransiskus, 2015). Indikator lain dari besarnya perubahan iklim adalah
pemanasan global, juga menipisnya sumber daya alam. Ketersediaan air menjadi
persoalan serius, permintaan melampaui pasokan. Selain itu kualitas air
berkurang, namun praktek privatisasi sumber daya alam yang terbatas ini semakin
besar. Akses ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang mendasar
dan universal, karena sangat menentukan untuk kelangsungan hidup manusia dan
dengan demikian merupakan syarat untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya
(Paus Fransiskus, 2015). Namun, hal inipun tidak diindahkan para perusak alam,
para kapitalis, para konglomerat, para borjuis
Merawat rumah bumi bersama merupakan ajakan gembala
bagi keberlanjutan tata ciptaan dunia. Dalam ensikliknya, Paus menegaskan,
“Untuk menghapus sebab-sebab struktural dari salah-langkah ekonomi dunia dan mengoreksi
model pertumbuhan yang ternyata tidak mampu menjamin penghormatan terhadap
lingkungan.” Ia mengingatkan kita bahwa dunia tidak dapat dianalisis dengan
mengisolasi hanya satu aspek, karena “kitab alam adalah satu dan tak
terpecahkan”, dan mencakup lingkungan, hidup, seksualitas, keluarga, hubungan
sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, “kerusakan alam sangat terkait dengan
budaya yang membentuk koeksistensi manusia (Paus Fransiskus, 2015). Semua
mahkluk adalah saudari, demikian Paus Fransiskus menggambarkan keluhuran hati
St. Fransiskus Asisi. Dia berkomunikasi dengan semua ciptaan, bahkan berkotbah
kepada bunga-bunga, mengajak mereka untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka
dikaruniai akal budi (Paus Fransiskus, 2015). Bentuk komunikasi yang tetap mengatasi
adalah membangun dialog baru. Melibatkan banyak orang, masing-masing dengan
budaya, kemampuannya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri.
Kesimpulan Dan
Saran
kehidupan dan keteraturan (kosmos). Kedua, alam
semesta beserta isinya diciptakan Allah dengan baik; bahwa manusia adalah
puncak karya ciptaan-Nya karena ia diciptakan seturut gambar dan rupa-Nya dan
dihidupkan dengan embusan (napas) Roh-Nya (Lih 1:26.27; 2:7). Ketiga, manusia
mendapat kepercayaan dari Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di bumi, menjadi
penjaga, pemelihara, dan pengelolah dunia ciptaan, supaya semua eksis dalam
keadaan baik, berkembang ke arah kebaikan sebagaimana sudah direncanakan-Nya,
sejak semula. Untuk itu, manusia perlu menyadari kenyataan bahwa kita adalah
ciptaan yang mendiami dua dunia. Pertama, dunia alamiah yang di dalamnya
terkandung hewan, tumbuhan, tanah dan udara serta air yang telah beribu-ribu
tahun mendahului adanya manusia yang merupakan bagian dari padanya. Kedua,
dunia pranata sosial dan artefak, yang diciptakannya untuknya sendiri, dengan
mempergunakan alat dan mesin, ilmu pengetahuan dan impiannya demi membentuk
suatu lingkungan hidup yang tunduk setia pada tujuan dan arah yang
ditetapkannya. Semua unsur ini perlu dimanfaatkan demi kemaslahatan dunia
secara universal. Dunia perlu dibangun dengan mengindahkan segala yang ada di
sekitar manusia, hewan, tumbuhan, air dan udara. Tak dapat dipungkiri bahwa,
dunia ini terus terancam. Hilangnya visi mendasar, rasa dan komitmen untuk
memperjuangkan kesejahteraan umum mulai berkurang bahkan hilang. Juga yang tak
terelakkan bagi kita dewasa ini, dunia dipengaruhi oleh kapitisme global
berlandasarkan ketamakan, konsumerisme, aspirasi politik yang lapar dan haus
kekuasaan, loyalitas sempit berasaskan status sosial, fanatisme agama yang
terkotak-kotak. Akibatnya proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik
kurang dilandasi oleh kepekaan, sense of crisis, apalagi aspek iman dan
keagamaan St. Fransiskus dari Asisi adalah suri teladan. Ia membantu kita,
melihat betapa bernilai dan berharga manusia dan keutuhan alam ciptaan. Dunia
atau ibu bumi bukan “harta karun” untuk habisi isinya, melainkan saudara yang
perlu dijaga, dirawat, dipelihara dan diselamatkan dari segala macam praktek
melukai bumi. Melalui Ensiklik ini Paus menyatakan sikap Gereja yang harus pro
life, peduli lingkungan.
Dengan demikian tulisan ini hendaknya dapat menjadi
masukan agar umat manusia dapat belajar bersama serta meneladan kharima St.
Fransiskus Asisi dalam mengupayakan segala sesuatu di bumi menjadi lebih baik,
agar planet ini menjadi rumah yang nyaman bagi kita saat ini maupun bagi anak
cucu kita di masa mendatang. Berpikir dan bertindak selaras dengan pikiran dan
tindakan Allah, yang menghendaki agar dunia ini terus lanjut, terus maju, terus
nyaman, terus hidup serta terus menyenangkan, terus menyejukkan, dan terus
menyelamatkan manusia juga seluruh komponen biota dan abiota di bumi, bawah
bumi, dan di atas bumi. Kecuali itu, kita pun dapat melakukan hal kecil dengan
kasih yang besar sebagaimana ditandaskan Mother Theresa dari Kalkuta. Misalnya,
membuang sampah sesuai tempatnya, memilih dan memilah jenisjenis limpah dan
menempatkan sesuai tempat. Dengan langkah-langka konkritkasat mata ini, manusia
pada akhirnya menghidupi, membina, memelihara dan melestarikan kehendak serta
kemauan Allah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Athanasius, 1971. Contra Gentes-De Incarnatione in
Robert W. Thomson, Ed. & Tr, Oxford: Oxford Early Christian Texts.
Buntaran, Freddy.1996. Saudari Bumi, Saudara
Manusia; Sikap Iman dan Kelestarian Lingkungan Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Boff, Leonardo, 1997. Cry of The Earth, Cry of The
Poor, New York: Orbis Books Marryknool.
Farb, Peter dan Para Editor Pustaka, timelife, 1980.
Ekologi. Edisi 2, Jakarta: Tira Pustaka Jakarta.
Fransiskus, 2015. Ensiklik Laudato Si; Tentang
Perawatan Rumah Kita Bersama.
Larkin, Peter, 1982. Conservation in The New Book Of
Popular Science Jilid 2, USA: Crolier Incorporated.
Maynard, Christopher, 1979. Planet Bumi, Pustaka
Pengetahuan Modern, USA: Grolier Internasional INC.
Nevin, Charles Merrick. 1986. Iklim Masa Lalu Dalam
Ilmu Pengetahuan Populer, Jilid 3, USA: Grolier Incorporated.
Peterson, Anna L. 2001. Being Human; Ethics,
Environment, and Our Place in the World, USA: University of California Press.
Purnomo, Aloys Budi, 2005. Iman dan Agama Yang
Membumi Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara
Primavesi, Anne, 2009. Gaia and Climate Change; A
Theology of Gift Events, London: Routledge.
Shabecoff, Philip, 2000. Sebuah Nama Baru Untuk
Perdamaian; Envoromentalisme Internasional, Pembanguan Berkelanjutan Dan
Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Surip, Stanislaus, 2020. “Kelola Bumi Peduli Ekologi
Menurut Kej 1:28” dalam Studia Philosophica et Theologica Malang: STFT Widya
Sasana.