Hakikat Dasar Iman dan Wahyu (Refleksi Kajian Modul Ajaran Sosial Gereja 1)

Hakikat Dasar Iman dan Wahyu (Refleksi Kajian Modul Ajaran Sosial Gereja 1)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18 ; 2 Ptr 1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya. Tata perwahyuan itu terjadi melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Di samping itu melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-salamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menandai pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu. Di sini saya akan menjelaskan tentang hakikat dasar wahyu dan iman

1.      Wahyu: Allah Memperkenalkan Diri

Ketika kita berbicara tentang kemungkinan dan keterbatasan manusia untuk mengalami dan memikirkan Allah serta berbicara tentang Allah, barangkali ada orang berpendapat bahwa segala kesulitan yang dialami manusia berhubungan dengan Allah, dapat diselesaikan dan diatasi dengan adanya wahyu, di mana Allah sendiri berbicara dan memperkenalkan diri serta memberikan bahasa yang cocok, yang sanggup mengungkapkan kebenaran tentang Allah allah secara adekuat. Tetapi tidak demikian halnya. Kita tidak boleh mengerti wahyu sebagai suara dari langit, dengannya Allah memberikan informasi tentang diriNya. Wahyu bisa kita bayangkan sebagai kerelaan Allah untuk menyertai dna menopang manusia dalam usaha mencari dan mengenalNya. Allah menyertai manusia di dalam usaha itu sedemikian rupa sehingga manusia di satu pihak memperoleh suatu pengertian yang benar mengenai siapa Allah bagi dirinya, tetapi di pihak lain dia (manusia) tetap bebas untuk mengambil keputusan positif atau negative terhadap Allah. Sebab itu, Allah tidak memberikan informasi tentang sesuatu yang atas alamiah, tetapi membuka diriNya sendiri terhadap manusia dengan menyertainya secara efektif. Dan Allah mendekati manusia sedemikian, sehingga kebebasan manusia tidak dihapus melainkan manusia tetap harus dan bisa mengambil keputusan. Juga dalam wahyu khusus, terang tentang Allah di satu pihak sekian jelas sehingga manusia bisa mengambil keputusan positif, tetapi di pihak lain, ketidak jelasan masih cukup besar, sehingga memungkinkan manusia mengambil keputusan negative. Maka ketersembunyian Allah tidak dihapus dalam wahyu, sebaliknya Allah justeru menjadi nyata sebagai Dia yang tetap tersembunyi bagi kita. Bahwa dalam wahyu Kristen, Allah menjadi nyata sebagai Dia yang disalibkan, justeru mempertajam misteri Allah yang tak dapat kita bongkar.

Untuk memperoleh suatu teori tentang Wahyu yang dapat dipertanggungjawabkan, kita gambarkan dulu ajaran dari Konsili Vatikan I dan kemudian Vatikan II mengenai wahyu. Berdasarkan kedua ajaran resmi kita akan berusaha untuk memberikan suatu teori yang bisa menjadi pegangan kita dewasa ini.

Wahyu Menurut Konsili Vatikan I

Kondsili Vatikan I membicarakan problem wahyu dalam konstitusi Dei Filius dengan maksud membela paham Katolik tentang wahyu terhadap rasionalisme yang menganggap akal budi manusia mencukupi diri untuk mengetahui segala hal yang perlu demi kesejahteraan dan keselamatan manusia.

Dengan maksud yang demikian, konsili mengeaskan kemungkinan bagi akal budi manusia untuk mengenal Allah pada satu pihak dan kerelaan bagi akal budi manusia untuk mengenal Allah pada satu pihak dan kerelaan Allah untuk memperkenalkan diriNya pada pihak lain.

Konsili mengandaikan adanya dua cara berbeda untuk mengenal Allah atau untuk Allah memperkenalkan/mewahyukan diriNya. Cara yangs atu disebut cara alamiah yang lain cara adi-alamiah.

Wahyu alamiah itu terjadi dalam ciptaan, lewat hal-hal tercipta Allah bisa dikenals ebagai dasar dan tujuan segala hal. Dan wahyu Allah yang alamiah itu bisa dibaca oleh akal budi manusia. Maka secara prinsipiil wahyu alamiah itu terbuka bagi setiap orang.

Wahyu atas-alamiah melampaui wahyu alamiah itu. Motivasi bagi wahyu khusus itu ialah “kebijaksanaan dan kebaikan” Tuhan. Isi yang diperkenalkan ialah Tuhan sendiri dan keputusan-keputusanNya sejak dari kekal. Tujuan dari wahyu khusus itu ialah kebahagiaan manusia agar manusia bisa mengambil bagian dalam kebaikan Allah yang melampaui akal budi manusia. Caranya Allah melaksanakan wahyu khusus itu, tidak dinyatakan secara khusus, tetapi kutipan dari surat kepada orang Ibrani memperlihatkan. Bahwa para Bapa Konsili rupanya berpikir tentang wahyu dalam diri Yesus Kristus. Dalam teologi selanjutnya wahyu khusus itu seringkali disebut wahyu lewat sabda, dan wahyu alamiah itu disebut wahyu lewat karya.

 

Wahyu dalam Ajaran Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II berbicara tentang wahyu dalam konstitusi Dei Verbum dan memberikan suatu pengertian tentang wahyu yang lebih personal dan menyeluruh daripada Vatikan I.

Lain dari Vatikan I, konstitusi Dei Verbum tidak mulai dengan pengenalan alamiah akan Allah dan kemudian tambah wahyu adi-alamiah yang melampaui yang alamiah itu. DV mulai dengan pewahyuan diri Allah dan berusaha untuk menggabungkan pengenalan Allah yang alamiah ke dalam pewahyuan historis itu dengan menngunakan gagasan “penciptaan oleh Sabda” untuk menghubungkan keduanya satu sama lain.

Wahyu tidak lagi digambarkan sebagai pengajaran di dalamnya Allah memberitahukan kebenaran-kebenaran, melainkan sebagai persahabatan, dalamnya Allah membuka hatiNya dan membuka kemungkinan, agar manusia bisa mengambil bagian dalam kekayaan dan kebahagiaan hidup ilahi. Maka wahyu tidak menyangkut hanya akal budi manusia, melainkan manusia seluruhnya sebagai pribadi.

Seluruh pandangan ini bersifat teosentris dan trinitaris. Proses wahyu sungguh berpusat pada Allah: Allah memulainya, Allah melaksanakannya dan Allah merupakan pula isi dan tujuannya. Proses wahyu tidak memberitahukan sesuatu, melainkan memperkenalkan Allah sendiri dan tujuannya ialah “jalan masuk kepada Bapa”. Dalam proses wahyu itu “berdasarkan kehendak ilahi, manusia melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, did alam Roh Kudus menemukan jalan kepada Bapa dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (DV2).

Pandangan ini menekankan aspek personal. Wahyu merupakan proses pertemuan personal antara Allah dengan manusia, dalamnya Allah “menyapa manusia sebagai sahabat … dan bergaul dengan mereka” (DV2). Artikel 21 mengatakan: “Di dalam kitab-kitab suci, Bapa yang ada di Surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putra-putriNya dan berbicara dengan mereka”. Konstitusi ini memilih bahasa pergaulan personal untuk menggambarkan proses wahyu. Dengan demikian penyempitan intelektual dari Vatikan I dan terutama teologi Neo-Skolastik jelas diatasi.

Untuk mengatasi intelektualisme itu, ditekankan juga, bahwa wahyu itu tidak hanya terjadi lewat kata-kata saja, melainkan “dalam perbuatan dan perkataan yang bertalian batin satu sama lain” (DV 2). Untuk “perbuatan” teks Latin memilih kata “gesta”, suatu kata yang lebih personal daripada “fakta”, perbuatan sebagai pernyataan diri orang, sebagai bahasa badaniah. Perbuatan dan perkataan itu saling mendukung dan menjelaskan dan Yesus dari Nazareth merupakan pusat, puncak dan kepenuhan dari seluruh proses wahyu itu (DV 4).

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa Konsili Vatikan I fokus menjelaskan tentang revelata (hal-hal yang diwahyukan); sedangkan Konsili Vatikan II menjelaskan tentang revelatio (pewahyuan itu sendiri) sebagai pendekatan di dalamnya Allah mencari manusia. Memang dalam proses wahyu itu ada isi yang disampaikan, tetapi hal tersebut bukanlah yang pertama dan utama (Kirchberger, 2007: 62). Dalam pengertian inilah kita dapat melihat karakter dan aspek wahyu, yaitu berakar di dalam pengalaman manusiawi dan terjadi sebagai komunikasi simbolik antara Allah dan manusia.

 

2.      Iman: Manusia mendengarkan Allah

Setelah uraian tentang pembahasan tentang wahyu sebagai komunikasi antara Allah dan manusia, ada satu pertanyaan reflektif  bagaimana manusia menjawab Allah yang mewahyukan diri-Nya? Jawabannya adalah melalui ketaatan iman – penyerahan diri yang total kepada Allah dan menerima kebenaran-Nya yang disampaikan kepada manusia.

Gereja mengajarkan bahwa iman dipahami sebagai pemberian atau karunia yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia melalui Roh Kudus. Iman merupakan rahmat yang diberikan secara atau gratis oleh Allah kepada manusia. Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa untuk mengetahui Allah dengan akal saja manusia akan mengalami berbagai hambatan. Jika hanya mengandalkan egonya, manusia tidak mampu untuk masuk ke dalam keakraban dengan misteri ilahi. Oleh karena itu, manusia perlu diterangi dengan wahyu Allah, bukan saja mengenai perkara-perkara yang melampaui batas pemahamannya, tetapi juga perkara-perkara kebenaran religius dan moral kristiania katolik.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama ditemukan satu kata yang sangat berperan untuk mengerti sikap manusia terhadap Allah yaitu kata "aman" - suatu ungkapan formal yang mengatakan bahwa sesuatu sungguh sesuai dengan apa yang patut diharapkan darinya, sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya suatu tempat yang cocok untuk memasang kemah, bersifat "aman" atau suatu keluarga raja yang tetap ada keturunan untuk memegang pemerintahan bersifat "aman" (bdk. 1 Sam. 25:28), atau 1 Sam. 3:20 mengungkapkan bahwa Samuel dinyatakan sebagai orang yang cocok atau ideal untuk menjadi nabi.

Dalam konteks religius, kata "aman" dapat dimengerti sebagai gambaran kan sikap Allah dalam berbagai situasi berbeda. Sedangkan untuk manusia, "aman" berarti manusia melihat dan mengakui sikap Allah yang setia, yang dapat diandalkan dalam hubungan yang sudah ditetapkan-Nya dengan manusia (Kirchberger, 2007: 35). Dengan demikian, iman dalam Perjanjian Lama merupakan suatu sikap eksistensial yang menyangkut seluruh pribadi, bukan suatu persetujuan akal budi (ratio) manusia pada kebenaran-kebenaran yang disampaikan kepadanya. Kebenaran yang dijawab iman dalam pengertian kitab Perjanjian Lama adalah Allah sendiri dalam keilahiannya sebagai dasar yang dapat diandalkan dan manusia menjawab dengan mendasarkan diri seutuhnya di atas dasar itu, tanpa mencari dasar yang lain (Kirchberger, 2007: 36).

Dalam Perjanjian Baru, iman difokuskan kepada apa yang ditulis dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (Torah dan Kitab Para Nabi) serta apa yang dikatakan oleh Yesus, karena Ia diutus Allah dan mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38; 3:34). Mengimani kata-kata atau tulisan Kitab Suci tidak hanya berarti mendengar saja, tetapi mentaati dan menghidupinya secara sungguh-sungguh. Iman adalah “hakekakt dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr. 11:1). Dengan demikian, iman dalam Kitab Perjanjian Baru merupakan reaksi jawaban positif dari manusia atas kata-kata Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus serta seluruh karya pewartaan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus (Kirchberger, 2007: 38).

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa iman merupakan tanggapan manusia terhadap pernyataan atau pewahyuan diri Allah. Iman bukanlah perasaan kosong tanpa isi, melainkan anugerah yang bermakna karena isinya adalah Allah sendiri. Iman hanya mungkin terjadi karena Allah lebih dahulu menyapa manusia dengan sinar kebenarannya (Ef. 1:18). Selain itu, iman juga merupakan tindakan manusia yang bebas dan bertanggung jawab. Menurut St. Agustinus, ada 3 unsur penting dalam perbuatan iman yaitu kesediaan budi, keterlibatan hati dan keputusan untuk menuju Allah serta bersama Allah. Akhirnya iman adalah perjumpaan antara manusia dengan Allah yang menghantar manusia sampai pada makna hidup seutuhnya.

3.      Dasar Iman Kristiani

Sebagai orang Kristen kita harus memahami apa yang menjadi dasar-dasar iman dalam kekristenan kita, yang menjadi dasar iman Kristen kita adalah Allah, karena semuanya diawali dengan Allah, kita harus mengawalinya dengan Allah, pencipta kita. Kita ada di dunia ini karena merupakan kehendak dan rencana Tuhan, kita boleh hidup sampai saat ini karena kasih-Nya, dan di dalam Tuhan kita dapat memperoleh berkat, sukacita, serta identitas, tujuan hidup, dan masa depan kita.

Sebagai bentuk iman kita kepada Tuhan Yesus maka kita harus hidup memuji dan menyembah Tuhan, dan melakukan perintah Tuhan. Hidup kita harus senantiasa menjadi kehidupan yang dibaktikan kepada Tuhan sepenuhnya, dan segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk Tuhan. Kehidupan Tuhan Yesus merupakan teladan yang harus kita ikuti, ketika melakukannya dengan benar dan bersungguh - sungguh maka kita akan menjadi manusia yang kehidupannya berkenan kepada Allah, dan kita akan dibuat semakin memahami kebenaran - kebenaran tentang Allah.

Keyakinan para Rasul yang merupakan hasil dari realitas pengalaman Pentekosta, hal ini tampak dalam khotbah Petrus yang menegaskan bahwa para murid membentuk suatu komunitas jemaat, dikuatkan dengan Roh Allah yaitu Roh kenabian atau kesaksian, mempunyai misi untuk mewartakan Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah dari kematian dan menjadi Tuhan dan Kristus. Inilah iman para rasul yang dibagikan kepada siapa saja yang tergerak untuk mengikuti apa yang mereka sebut “Jalan” Keselamatan.

Selanjutnya para rasul mulai terbuka untuk menerima anggota jemaat baru ke dalam komunitas melalui proses inisiasi dan pengajaran yang disebut “katekese” dan puncaknya pada pembaptisan. Perlu dipahami bahwa Generasi pertama umat Kristiani tidak mempunyai Kitab Suci tertulis kecuali Kitab Suci orang Yahudi. Namun, tahap demi tahap, keempat penginjil, Petrus, Paulus dan beberapa orang lainnya menulis kesaksian iman mereka tentang apa yang telah dilaksanakan oleh Allah dalam diri Yesus Kristus.

Dari rangkuman dasar-dasar iman Kristiani ini dapat terlihat bahwa "iman para rasul" oleh jemaat Kristiani sekarang dipandang sebagai pusat dan inti iman mereka yang tidak dapat diubah. Iman tidak hanya mendahului Kitab Suci, melainkan juga menghasilkan dan menentukan Kitab Suci jemaat Kristiani.

 

4.      Sumber Ajaran Iman Katolik

Sumber iman Katolik terdiri atas tiga pilar kebenaran, yaitu TRADISI SUCI, KITAB SUCI dan MAGISTERIUM GEREJA.

TRADISI SUCI

Kita tahu selama selama hidup-Nya Yesus Kristus tidak pernah menuliskan sebuah buku. Ia menyampaikan ajarannya dengan lisan dan perbuatan-Nya yang kemudian diteruskan oleh para rasul. Supaya pesan Injil ini dapat diturunkan secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para rasul menunjuk uskup-uskup untuk menggantikan mereka dan menyerahkan kepada mereka kedudukan untuk mengajar. Penerusan ajaran Injil ini yang terjadi di bawah kuasa Roh Kudus, disebut sebagai Tradisi Suci.

Tradisi Suci adalah ajaran yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi, Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Maka Tradisi Suci ini bukan tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan. Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Tuhan (Mrk 7:8).
Jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci tidak akan pernah bertentangan. Pengajaran para rasul seperti Allah Tritunggal, Api penyucian, Keperawanan Maria, telah sangat jelas diajarkan melalui Tradisi dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Kitab Suci tetapi Kitab Suci sendiri mengajarkan agar kita memegang teguh Tradisi yang disampaikan kepada kita secara tertulis ataupun lisan (2Tes 2:15, 1Kor:2).

KITAB SUCI

Allah memberitahukan rencana keselamatanNya kepada manusia melalui Injil. Injil ini diturunkan dengan dua cara, yaitu secara lisan dan tertulis, untuk diteruskan kepada kita. Para rasul mewartakan secara lisan apa yang mereka terima dari Kristus, baik itu dari perbuatan Kristus ataupun dari percakapan denganNya, ataupun dari dorongan Roh Kudus. Dan juga, para rasul dan tokoh-tokoh rasuli atas ilham Roh Kudus menuliskan amanat keselamatan tersebut untuk dijadikan buku. Hasil penulisan amanat Allah tersebut dikenal sebagai Kitab Suci.
(KGK 101-141)

Allah memberi inspirasi kepada manusia yaitu para penulis suci yang dipilih Allah untuk menuliskan kebenaran. Allah melalui Roh KudusNya berkarya dalam dan melalui para penulis suci tersebut, dengan menggunakan kemampuan dan kecakapan mereka. “Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.” Jadi jelaslah bahwa Kitab Suci yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru adalah tulisan yang diilhami oleh Allah sendiri (2Tim 3:16). Kitab-kitab tersebut mengajarkan kebenaran dengan teguh dan setia, dan tidak mungkin keliru. Karena itu, Allah menghendaki agar kitab-kitab tersebut dicantumkan dalam Kitab Suci demi keselamatan kita.
Mungkin ada orang Kristen yang berkata, bahwa keselamatan mereka diperoleh melalui Kitab Suci saja. Namun, kenyataannya hal itu tidak pernah diajarkan oleh Kitab Suci itu sendiri. Malah yang ada adalah sebaliknya, bahwa Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2Pet 1:20-21) sebab ada kemungkinan dapat diartikan keliru (2Pet 3:15-16). Gereja pada abad-abad awal juga tidak menerapkan teori ini. Teori ‘hanya Kitab Suci’ atau ‘Sola Scriptura’ ini adalah salah satu inti dari pengajaran pada zaman Reformasi pada tahun 1500-an, yang jika kita teliti, malah tidak berdasarkan Kitab Suci.

Pada kenyataannya, Kitab Suci tidak dapat diinterpretasikan sendiri-sendiri, karena dapat menghasilkan pengertian yang berbeda-beda. Sejarah membuktikan hal ini, di mana dalam setiap tahun timbul berbagai gereja baru yang sama-sama mengklaim “Sola Scriptura” dan mendapat ilham dari Roh Kudus. Ini adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, karena menunjukkan bahwa pengertian mereka tentang Kitab suci berbeda-beda, satu dengan yang lainnya. Jika kita percaya bahwa Roh Kudus tidak mungkin menjadi penyebab perpecahan (lih. 1Kor14:33) dan Allah tidak mungkin menyebabkan pertentangan dalam hal iman, maka kesimpulan kita adalah: “Sola Scriptura” itu teori yang keliru.

MAGISTERIUM GEREJA

Para penerus rasul yang mendapat wewenang mengajar dari para rasul ini disebut sebagai Magisterium.(KGK 85-87, 888-892):

Dari uraian di atas, kita mengetahui pentingnya peran Magisterium yang “bertugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus. Magisterium ini tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri dari Bapa Paus dan para uskup pembantunya [yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus] menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari penafsiran yang salah.

Kita perlu mengingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Para pengarang/penulis suci dari kitab-kitab tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium dibimbing oleh Roh Kudus diberi kuasa untuk meng-interpretasikan kedua Kitab Perjanjian tersebut.

Jelaslah bahwa Magisterium sangat diperlukan untuk memahami seluruh isi Kitab Suci. Karunia mengajar yang ‘infallible’ (tidak mungkin sesat) itu diberikan kepada Magisterium pada saat mereka mengajarkan secara resmi doktrin-doktrin Gereja. Karunia ini adalah pemenuhan janji Kritus untuk mengirimkan Roh KudusNya untuk memimpin para rasul dan para penerus mereka kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:12-13).

Hubungan Tradisi dan Alkitab

Alkitab adalah bagian dari Tradisi, karena itu Tradisi adalah konteks dari Alkitab, maka untuk memahami Alkitab diperlukan terang Tradisi. Memahami Alkitab diluar Tradisi berarti memahami Alkitab diluar konteks.

Hubungan Magisterium dengan Alkitab

Magisterium adalah pembentuk, penyusun, dan pemelihara Alkitab. Alkitab adalah bagian dari ajaran dari Magisterium. Misalnya, Magisterium Gerejalah yang mengajarkan bahwa surat Yakobus adalah bagian dari Alkitab dan mengajarkan bahwa Surat Barnabas bukanlah bagian dari Alkitab. Sementara Alkitab sendiri tidak pernah menyusun dirinya sendiri (mana bagian dari Alkitab dan mana bukan).

Jika tidak mempercayai Magisterium Gereja, berarti kita boleh untuk tidak percaya pada Alkitab yang disusun oleh Magisterium. karena Alkitab yang kita gunakan adalah susunan dari Magisterium. Sebaliknya, jika kita percaya pada Magisterium, maka itu berarti kita pasti percaya pada Alkitab yang disusun olehnya, dan itu artinya kita perlu memahami Alkitab dari kacamata penyusunnya.

Kesimpulan: Gereja sebagai Tonggak Kebenaran terdiri dari tiga unsur, yaitu Tradisi Suci, Kitab Suci dan Magisterium Gereja.

Untuk memberitahukan rencana keselamatanNya, Allah berbicara pada GerejaNya melalui Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiga hal ini adalah karunia Allah yang tidak terpisahkan untuk menyampaikan kebenaran melalui GerejaNya. Perlu kita ingat bahwa Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Gereja adalah “jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim 3:15).

Di dalam Gereja, wahyu Allah dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Karena Kitab Suci dan Tradisi Suci berasal dari Allah, kita harus menerima dan menghormati keduanya dengan hormat yang sama. Jika kita membaca dan mendalami isi Kitab Suci, terutama di dalam hal iman dan moral, kita harus menempatkan pemahaman Magisterium Gereja di atas pemahaman pribadi, karena kepada merekalah telah diamanahkan tugas mengartikan Wahyu Allah secara otentik. Namun hal ini janganlah sampai mengurangi semangat kita untuk membaca Kitab Suci.


Jadi sebagai Tonggak Kebenaran, Gereja memiliki tiga unsur, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiganya merupakan pemenuhan janji Allah yang selalu mendampingi GerejaNya sampai kepada ’seluruh kebenaran yang hakiki’ (Yoh 16:12-13), dan senantiasa bertahan sampai akhir zaman.


Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul (penerapan dalam tugas profesional sebagi guru PAK membentuk dan mewujudkan  iman yang benar) 

Akhirnya Saya sebagai guru Pendidikan Agama Katolik bisa mencoba untuk merumuskan suatu pengertian tentang wahyu yang sedikit komprehensif, yang dapat menjadi pegangan kita. Kita tidak bisa begitu saja berbicara mengenai sabda dan pembicaraan Allah dalam arti seakan-akan orang tertentu seperti para nabi mendengarkan suara dari langit dan apa yang tertulis dalam Kitab Suci merupakan salinan harfiah dari penyampaian Allah. Pada dasarnya kita mesti mengerti peristiwa wahyu itu sebagai suatu komunikasi simbolis. Dalam sekian banyak kenyataan dunia ini, tampak bagi kita, sifat dan sikap Allah. Maka kita bisa tentukan beberapa ciri dan aspek wahyu sebagai berikut.

Wahyu berakar di dalam suatu pengalaman manusiawi. Dalam setiap pengalaman, realita di luar diri manusia menjadi nyata bagi manusia. Dalam pengalaman religious terutama sifat hadiah dari seluruh realita dunia itu menonjol, sehingga dalam mengalami realita dunia dan sejarah umat manusia, manusia religious turut mengalamo dan menyadari dasar terdalam, sumber pertama dan horizon terluas yang menopang dan merangkum segala realita dan memberi arti kepadanya.

Maka pada dasarnya pengalaman religious membaca realita dunia sebagai symbol, sebagai realita yang tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan menyatakan suatu realita yang lebih besar yang melampaui dan sekaligus menunjang serta menopang segala realita dunia ini. Dengan cara demikian Allah dapat menyatakan diri melalui pelbagai kenyataan duniawi, bila kenyataan itu dibaca secara simbolis.

Membaca realita dan segala pengalaman akan realita sebagai symbol, di dalamnya Allah menjadi nyata di dalam keilahian dan kemuliaanNya, terjadi dalam terang sebuah tradisi iman. Untuk itu perlu diprhatikan bahwa setiap pengalaman merupakan pengalaman yang terintepretasi. Subyek yang mengalaminya memiliki wawasan yang berasal dari pengalaman subyektif dan kolektif masa lampau yang juga sudah diinterpretasi dan direfleksikan dan sekarang merupakan kerangka yang turut mewarnai pengalaman.

Maka wahyu terjadi sebagai komunikasi simbolik antara Allah dengan manusia. Dalam dan melalui realita yang dialami manusia, Allah menyatakan diri sebagai dasar, penopang, tujuan realita itu. Dan kalau kita mengerti Allah sebagai pencipta dunia dan penyelenggara transenden bagi seluruh sejarah, maka jelas juga, bahwa wahyu itu merupakan inisiatif dan aktifitet Allah. Allah mengadakan realita yang menyatakan diriNya sebagai Allah.

Karena setiap pengalaman mendalam mau dan akan diceritakan, maka pengalaman religious yang dialami sebagai wahyu, sebagai pengalaman yang membuka mata, akan diceritakan pula. Dengan demikian terbentuk tradisi religious dengan ketiga aspek Sabda yang bisa kita bedakan. Karena Allah itu dialami sebagai dasar dan penjamin kehidupan maka kisah tentang pengalaman itu memperoleh bentuk janji. Karena Allah dialami sebagai pembebas yang sungguh memenuhi janjiNya itu, maka kisahnya memperoleh bentuk pemakluman. Dan karena Allah itu dialami sebagai terang yang membuka mata bagi kebenaran tentang manusia, maka kisah itu memperoleh bentuk petunjuk arah atau hukum.

Dan kisah atau cerita itu tidak merupakan rekaan hati manusia belaka, melainkan sungguh berakar di dalam suatu relaita yang dikerjakan Allah, sebab itu kisah itu diinspirasi Allah merupakan penyampaian dari pihak Allah. Tapi kisah itu sungguh diceritakan oleh manusia yang berbicara tentang pengalaman di dalamnya Allah menjadi menjadi nyata bagi dia. Maka kita memperoleh struktur yang khas dari Sabda Allah seturut pengertian Kristen, sebagai Sabda yang memiliki penyebab ilahi dan manusiawi.

Realita yang menjadi symbol atau sarana pernyataan diri Allah ialah alam, sejarah, relasi antarpribadi dan pengalaman batin manusia. Maka pada dasarnya wahyu terbuka bagis etiap orang dan harus diandaikan bahwa di dalam tradisi setiap agama tersimpan pengalaman yang benar akan Allah yang menyata lewat sarana-sarana tadi.

Kalau kita mengklaim suatu keunggulan bagi agama Kristen yang mengatasi tradisi religious lain, maka kita tidak bisa berargumentasi berdasarkan gagasan wahyu secara umum, melainkan kita harus berargumentasi secara kristologis. Kita harus kemukakan argument yang bisa memperlihatkan keistimewaan Yesus sebagai peristiwa historis yang secara unik dan tak tertandingi menyatakan Allah bagi kita.

Untuk memperlihatkan keistimewaan Yesus itu, dari sudut pandangan teologi fundamental (yang mendasari seluruh uraian teologis) atau prolegomena dogmatic, kita tidak boleh bertolak dari pengakuan iman lengkap akan Yesus sebagai penjelmaan Putra Allah. Melainkan kita harus bertolak dari kenyataan hidup Yesus historis dan menunjuk kepada aspekaspek hidup Yesus itu yang menjadi dasar bagi keyakinan para murid, bahwa di dalam diriNya Allah secara istimewa nyata bagi segala orang.

Panenberg (1996) misalnya mengambil wibawa istimewa yang tampak pada diri Yesus dan konfirmasi oleh Allah dalam pembangkitan sebagai titik tolak untuk argumentasi itu, sedangkan Schilebeeckx (1990) berkosentrasi pada pengalaman Yesus akan Allah sebagai Abba. Setrlah keistimewaan Yesus dinyatakan secara demikian, kita bisa melihat ambivalensi atau ketidakjelasan yang terdapat di dalam wahyu lewat keempat sarana tersebut di atas dan bagaimana ketidakjelasan itu dapat duatasi lewat wahyu dalam peristiwa Yesus. Pada prinsipnya kita hanya perlu memperlihatkan bahwa ambivalensi wahyu dalam salah satu bidang pengalaman di atasi berkat peristiwa Yesus dari Nazaret itu, maka dengan cara itu, ambivalensi lain turut diatasi dalam ternag kenyataan yang satu itu. Peristiwa Yesus terutama berakar dalam pengalaman melalui peristiwa sejarah dan di situ kita sudah katakana di atas, pembangkitan Yesus dari Nazaret dan kesaksian para murid tentang itu, merupakan antisipasi akhir sejarah dan mengatasi ambivalensi yang ada dalam pengalaman historis pada umumnya, bahwa kita baru bisa mengetahui arti yang sesungguhnya dari peristiwa sejarah tertentu setelah seluruh sejarah dunia itu berakhir.

Wahyu diri Allah baru mencapai tujuannya bila ada orang yang percaya akan wahyu, atau lebih tepat akan Allah yang mewahyukan diri. Maka pada bagian berikut kita perlu menguraikan arti dan inti dari tindakan iman seturut tradisi kristiani itu dan terutama bagaimana kita mengerti dan mengartikan iman dalam seluruh karya kita ini, karena iman dalam arti kepercayaan akan memainkan peran fundamental dalam sejarah argumentasi kita nanti.

Saya sebagai Guru agama Katolik menuju transformasi PAKat saat ini, perlu terus menerus memperbarui diri, terutama dalam hal paradigma mengajar. Guru agama Katolik diutus oleh Gereja untuk mengajar PAKat kepada peserta didik. Perutusan guru agama Katolik dewasa ini semakin mendesak dan berat karena tuntutan kualitas profesional yang tinggi serta kegiatan yang menanggapi perkembangan zaman. Peran guru agama Katolik dalam tugas perutusannya adalah untuk melaksanakan tugas-tugas dan usaha-usaha Gereja di bidang PAKat. Status profesional guru agama Katolik sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus pewarta harus sungguh-sungguh dihayati dengan semangat kerasulan.

Guru agama Katolik harus berusaha semaksimal mungkin meningkatkan segi profesional demi kualitas kinerja yang baik dan demi para peserta didik. Guru agama katolik perlu memperhatikan kualitas kerjanya, mengingat karya-karya yang dilakukan memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan Gereja. Karya guru agama Katolik tidak dapat disangkal memiliki segi profesional, namun segi profesional saja tidak cukup untuk menentukan kualitas kerja baik. Ada segi lain yang juga melekat dan tidak terpisahkan dengan profesional guru agama Katolik yakni segi spiritualitas.

Era revolusi digital saat ini banyak menimbul perubahan-perubahan yang mendalam dan pesat berangsur-angsur meluas, serta dampak pengaruhnya dalam segi dan aspek kehidupan manusia. Masa perubahan-perubahan itu sebenarnya muncul atas dasar keinginan dan usaha manusia untuk lebih maju, tetapi juga justru kembali mempengaruhi tata-kehidupannya sendiri. Pengaruh yang nyata dalam tata-kehidupan manusia adalah peradaban dan budaya digital. Akhirnya terasalah dampak revolusi digital pada pola dan gaya hidup manusia, terutama mentalitas, cara berpikir dan kaidah bertindak yang sering menimbulkan perbedaan pandangan terhadap sesuatu tertentu. Kondisi ini menyadarkan bahwa pentingnya pendidikan nilai dan karakter digali kembali pada sumber-sumber paradigma yang sesuai di era revolusi digital.

Guru agama Katolik sebagai pelaku utama mempunyai peran besar terhadap perubahan dalam pengembangan PAKat. Guru agama Katolik mengambil peran dalam konteks pelayanan Gereja, yaitu sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus sebagai pewarta. Paradigma PAKat di era revolusi digital ini perlu diarahkan kepada pembentukan setiap pribadi peserta didik seutuhnya (AK art. 59). Guru agama Katolik yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan PAKat di sekolah, perlu juga memiliki semangat yang kuat supaya mampu mengarahkan semua usaha dan tugas yang diembankan kepadanya diarahkan kepada pembentukan pribadi peserta didik seutuhnya.

Wujud spiritualitas dalam pelayanan guru agama Katolik adalah semangat dan sikap hidup yang menggerakan dan mendorongkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diemban di sekolah. Akar spiritualitas guru Agama Katolik adalah bersumber dari Yesus Kristus, dan dihayati dalam tugas perutusannya secara nyata. Ciri-ciri khas spiritualitas Yesus adalah cinta kasih, pengorbanan, dan semangat merasul atau pelayanan. Guru Agama Katolik yang menghayati spiritualitasnya secara mendalam, akan nampak lebih bersemangat dan bergembira saat membimbing peserta didik supaya mau belajar, maju, dan berkembang.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama