1.
Wahyu: Allah Memperkenalkan Diri
Ketika
kita berbicara tentang kemungkinan dan keterbatasan manusia untuk mengalami dan
memikirkan Allah serta berbicara tentang Allah, barangkali ada orang
berpendapat bahwa segala kesulitan yang dialami manusia berhubungan dengan
Allah, dapat diselesaikan dan diatasi dengan adanya wahyu, di mana Allah
sendiri berbicara dan memperkenalkan diri serta memberikan bahasa yang cocok,
yang sanggup mengungkapkan kebenaran tentang Allah allah secara adekuat. Tetapi
tidak demikian halnya. Kita tidak boleh mengerti wahyu sebagai suara dari
langit, dengannya Allah memberikan informasi tentang diriNya. Wahyu bisa kita
bayangkan sebagai kerelaan Allah untuk menyertai dna menopang manusia dalam
usaha mencari dan mengenalNya. Allah menyertai manusia di dalam usaha itu
sedemikian rupa sehingga manusia di satu pihak memperoleh suatu pengertian yang
benar mengenai siapa Allah bagi dirinya, tetapi di pihak lain dia (manusia)
tetap bebas untuk mengambil keputusan positif atau negative terhadap Allah.
Sebab itu, Allah tidak memberikan informasi tentang sesuatu yang atas alamiah,
tetapi membuka diriNya sendiri terhadap manusia dengan menyertainya secara
efektif. Dan Allah mendekati manusia sedemikian, sehingga kebebasan manusia
tidak dihapus melainkan manusia tetap harus dan bisa mengambil keputusan. Juga
dalam wahyu khusus, terang tentang Allah di satu pihak sekian jelas sehingga
manusia bisa mengambil keputusan positif, tetapi di pihak lain, ketidak jelasan
masih cukup besar, sehingga memungkinkan manusia mengambil keputusan negative.
Maka ketersembunyian Allah tidak dihapus dalam wahyu, sebaliknya Allah justeru
menjadi nyata sebagai Dia yang tetap tersembunyi bagi kita. Bahwa dalam wahyu
Kristen, Allah menjadi nyata sebagai Dia yang disalibkan, justeru mempertajam
misteri Allah yang tak dapat kita bongkar.
Untuk
memperoleh suatu teori tentang Wahyu yang dapat dipertanggungjawabkan, kita
gambarkan dulu ajaran dari Konsili Vatikan I dan kemudian Vatikan II mengenai
wahyu. Berdasarkan kedua ajaran resmi kita akan berusaha untuk memberikan suatu
teori yang bisa menjadi pegangan kita dewasa ini.
Wahyu Menurut Konsili Vatikan I
Kondsili
Vatikan I membicarakan problem wahyu dalam konstitusi Dei Filius dengan maksud
membela paham Katolik tentang wahyu terhadap rasionalisme yang menganggap akal
budi manusia mencukupi diri untuk mengetahui segala hal yang perlu demi
kesejahteraan dan keselamatan manusia.
Dengan
maksud yang demikian, konsili mengeaskan kemungkinan bagi akal budi manusia
untuk mengenal Allah pada satu pihak dan kerelaan bagi akal budi manusia untuk
mengenal Allah pada satu pihak dan kerelaan Allah untuk memperkenalkan diriNya
pada pihak lain.
Konsili
mengandaikan adanya dua cara berbeda untuk mengenal Allah atau untuk Allah
memperkenalkan/mewahyukan diriNya. Cara yangs atu disebut cara alamiah yang
lain cara adi-alamiah.
Wahyu
alamiah itu terjadi dalam ciptaan, lewat hal-hal tercipta Allah bisa dikenals
ebagai dasar dan tujuan segala hal. Dan wahyu Allah yang alamiah itu bisa
dibaca oleh akal budi manusia. Maka secara prinsipiil wahyu alamiah itu terbuka
bagi setiap orang.
Wahyu
atas-alamiah melampaui wahyu alamiah itu. Motivasi bagi wahyu khusus itu ialah
“kebijaksanaan dan kebaikan” Tuhan. Isi yang diperkenalkan ialah Tuhan sendiri
dan keputusan-keputusanNya sejak dari kekal. Tujuan dari wahyu khusus itu ialah
kebahagiaan manusia agar manusia bisa mengambil bagian dalam kebaikan Allah
yang melampaui akal budi manusia. Caranya Allah melaksanakan wahyu khusus itu,
tidak dinyatakan secara khusus, tetapi kutipan dari surat kepada orang Ibrani
memperlihatkan. Bahwa para Bapa Konsili rupanya berpikir tentang wahyu dalam
diri Yesus Kristus. Dalam teologi selanjutnya wahyu khusus itu seringkali
disebut wahyu lewat sabda, dan wahyu alamiah itu disebut wahyu lewat karya.
Wahyu dalam Ajaran Konsili Vatikan II
Konsili
Vatikan II berbicara tentang wahyu dalam konstitusi Dei Verbum dan memberikan
suatu pengertian tentang wahyu yang lebih personal dan menyeluruh daripada
Vatikan I.
Lain
dari Vatikan I, konstitusi Dei Verbum tidak mulai dengan pengenalan alamiah
akan Allah dan kemudian tambah wahyu adi-alamiah yang melampaui yang alamiah
itu. DV mulai dengan pewahyuan diri Allah dan berusaha untuk menggabungkan
pengenalan Allah yang alamiah ke dalam pewahyuan historis itu dengan
menngunakan gagasan “penciptaan oleh Sabda” untuk menghubungkan keduanya satu
sama lain.
Wahyu
tidak lagi digambarkan sebagai pengajaran di dalamnya Allah memberitahukan
kebenaran-kebenaran, melainkan sebagai persahabatan, dalamnya Allah membuka hatiNya
dan membuka kemungkinan, agar manusia bisa mengambil bagian dalam kekayaan dan
kebahagiaan hidup ilahi. Maka wahyu tidak menyangkut hanya akal budi manusia,
melainkan manusia seluruhnya sebagai pribadi.
Seluruh
pandangan ini bersifat teosentris dan trinitaris. Proses wahyu sungguh berpusat
pada Allah: Allah memulainya, Allah melaksanakannya dan Allah merupakan pula
isi dan tujuannya. Proses wahyu tidak memberitahukan sesuatu, melainkan
memperkenalkan Allah sendiri dan tujuannya ialah “jalan masuk kepada Bapa”.
Dalam proses wahyu itu “berdasarkan kehendak ilahi, manusia melalui Kristus,
Sabda yang menjadi daging, did alam Roh Kudus menemukan jalan kepada Bapa dan
mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (DV2).
Pandangan
ini menekankan aspek personal. Wahyu merupakan proses pertemuan personal antara
Allah dengan manusia, dalamnya Allah “menyapa manusia sebagai sahabat … dan
bergaul dengan mereka” (DV2). Artikel 21 mengatakan: “Di dalam kitab-kitab
suci, Bapa yang ada di Surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putra-putriNya
dan berbicara dengan mereka”. Konstitusi ini memilih bahasa pergaulan personal
untuk menggambarkan proses wahyu. Dengan demikian penyempitan intelektual dari
Vatikan I dan terutama teologi Neo-Skolastik jelas diatasi.
Untuk
mengatasi intelektualisme itu, ditekankan juga, bahwa wahyu itu tidak hanya
terjadi lewat kata-kata saja, melainkan “dalam perbuatan dan perkataan yang
bertalian batin satu sama lain” (DV 2). Untuk “perbuatan” teks Latin memilih
kata “gesta”, suatu kata yang lebih personal daripada “fakta”, perbuatan
sebagai pernyataan diri orang, sebagai bahasa badaniah. Perbuatan dan perkataan
itu saling mendukung dan menjelaskan dan Yesus dari Nazareth merupakan pusat,
puncak dan kepenuhan dari seluruh proses wahyu itu (DV 4).
Berdasarkan
penjelasan di atas, nampak bahwa Konsili Vatikan I fokus menjelaskan tentang
revelata (hal-hal yang diwahyukan); sedangkan Konsili Vatikan II menjelaskan
tentang revelatio (pewahyuan itu sendiri) sebagai pendekatan di dalamnya Allah
mencari manusia. Memang dalam proses wahyu itu ada isi yang disampaikan, tetapi
hal tersebut bukanlah yang pertama dan utama (Kirchberger, 2007: 62). Dalam
pengertian inilah kita dapat melihat karakter dan aspek wahyu, yaitu berakar di
dalam pengalaman manusiawi dan terjadi sebagai komunikasi simbolik antara Allah
dan manusia.
2.
Iman: Manusia mendengarkan Allah
Setelah
uraian tentang pembahasan tentang wahyu sebagai komunikasi antara Allah dan
manusia, ada satu pertanyaan reflektif
bagaimana manusia menjawab Allah yang mewahyukan diri-Nya? Jawabannya
adalah melalui ketaatan iman – penyerahan diri yang total kepada Allah dan
menerima kebenaran-Nya yang disampaikan kepada manusia.
Gereja
mengajarkan bahwa iman dipahami sebagai pemberian atau karunia yang
dianugerahkan oleh Allah kepada manusia melalui Roh Kudus. Iman merupakan
rahmat yang diberikan secara atau gratis oleh Allah kepada manusia. Katekismus
Gereja Katolik menegaskan bahwa untuk mengetahui Allah dengan akal saja manusia
akan mengalami berbagai hambatan. Jika hanya mengandalkan egonya, manusia tidak
mampu untuk masuk ke dalam keakraban dengan misteri ilahi. Oleh karena itu,
manusia perlu diterangi dengan wahyu Allah, bukan saja mengenai perkara-perkara
yang melampaui batas pemahamannya, tetapi juga perkara-perkara kebenaran
religius dan moral kristiania katolik.
Dalam
Kitab Suci Perjanjian Lama ditemukan satu kata yang sangat berperan untuk
mengerti sikap manusia terhadap Allah yaitu kata "aman" - suatu
ungkapan formal yang mengatakan bahwa sesuatu sungguh sesuai dengan apa yang
patut diharapkan darinya, sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya suatu tempat
yang cocok untuk memasang kemah, bersifat "aman" atau suatu keluarga
raja yang tetap ada keturunan untuk memegang pemerintahan bersifat
"aman" (bdk. 1 Sam. 25:28), atau 1 Sam. 3:20 mengungkapkan bahwa
Samuel dinyatakan sebagai orang yang cocok atau ideal untuk menjadi nabi.
Dalam
konteks religius, kata "aman" dapat dimengerti sebagai gambaran kan
sikap Allah dalam berbagai situasi berbeda. Sedangkan untuk manusia, "aman"
berarti manusia melihat dan mengakui sikap Allah yang setia, yang dapat
diandalkan dalam hubungan yang sudah ditetapkan-Nya dengan manusia
(Kirchberger, 2007: 35). Dengan demikian, iman dalam Perjanjian Lama merupakan
suatu sikap eksistensial yang menyangkut seluruh pribadi, bukan suatu
persetujuan akal budi (ratio) manusia pada kebenaran-kebenaran yang disampaikan
kepadanya. Kebenaran yang dijawab iman dalam pengertian kitab Perjanjian Lama
adalah Allah sendiri dalam keilahiannya sebagai dasar yang dapat diandalkan dan
manusia menjawab dengan mendasarkan diri seutuhnya di atas dasar itu, tanpa
mencari dasar yang lain (Kirchberger, 2007: 36).
Dalam
Perjanjian Baru, iman difokuskan kepada apa yang ditulis dalam Kitab Suci
Perjanjian Lama (Torah dan Kitab Para Nabi) serta apa yang dikatakan oleh
Yesus, karena Ia diutus Allah dan mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38;
3:34). Mengimani kata-kata atau tulisan Kitab Suci tidak hanya berarti
mendengar saja, tetapi mentaati dan menghidupinya secara sungguh-sungguh. Iman
adalah “hakekakt dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr. 11:1). Dengan demikian, iman dalam Kitab
Perjanjian Baru merupakan reaksi jawaban positif dari manusia atas kata-kata
Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus serta seluruh karya pewartaan yang
dikerjakan Allah dalam diri Yesus (Kirchberger, 2007: 38).
Berdasarkan
penjelasan di atas, disimpulkan bahwa iman merupakan tanggapan manusia terhadap
pernyataan atau pewahyuan diri Allah. Iman bukanlah perasaan kosong tanpa isi,
melainkan anugerah yang bermakna karena isinya adalah Allah sendiri. Iman hanya
mungkin terjadi karena Allah lebih dahulu menyapa manusia dengan sinar
kebenarannya (Ef. 1:18). Selain itu, iman juga merupakan tindakan manusia yang
bebas dan bertanggung jawab. Menurut St. Agustinus, ada 3 unsur penting dalam
perbuatan iman yaitu kesediaan budi, keterlibatan hati dan keputusan untuk
menuju Allah serta bersama Allah. Akhirnya iman adalah perjumpaan antara
manusia dengan Allah yang menghantar manusia sampai pada makna hidup seutuhnya.
3.
Dasar Iman Kristiani
Sebagai
orang Kristen kita harus memahami apa yang menjadi dasar-dasar iman dalam
kekristenan kita, yang menjadi dasar iman Kristen kita adalah Allah, karena
semuanya diawali dengan Allah, kita harus mengawalinya dengan Allah, pencipta
kita. Kita ada di dunia ini karena merupakan kehendak dan rencana Tuhan, kita
boleh hidup sampai saat ini karena kasih-Nya, dan di dalam Tuhan kita dapat
memperoleh berkat, sukacita, serta identitas, tujuan hidup, dan masa depan
kita.
Sebagai
bentuk iman kita kepada Tuhan Yesus maka kita harus hidup memuji dan menyembah
Tuhan, dan melakukan perintah Tuhan. Hidup kita harus senantiasa menjadi
kehidupan yang dibaktikan kepada Tuhan sepenuhnya, dan segala sesuatu yang kita
lakukan adalah untuk Tuhan. Kehidupan Tuhan Yesus merupakan teladan yang harus
kita ikuti, ketika melakukannya dengan benar dan bersungguh - sungguh maka kita
akan menjadi manusia yang kehidupannya berkenan kepada Allah, dan kita akan
dibuat semakin memahami kebenaran - kebenaran tentang Allah.
Keyakinan
para Rasul yang merupakan hasil dari realitas pengalaman Pentekosta, hal ini
tampak dalam khotbah Petrus yang menegaskan bahwa para murid membentuk suatu
komunitas jemaat, dikuatkan dengan Roh Allah yaitu Roh kenabian atau kesaksian,
mempunyai misi untuk mewartakan Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah dari
kematian dan menjadi Tuhan dan Kristus. Inilah iman para rasul yang dibagikan
kepada siapa saja yang tergerak untuk mengikuti apa yang mereka sebut “Jalan”
Keselamatan.
Selanjutnya
para rasul mulai terbuka untuk menerima anggota jemaat baru ke dalam komunitas
melalui proses inisiasi dan pengajaran yang disebut “katekese” dan puncaknya
pada pembaptisan. Perlu dipahami bahwa Generasi pertama umat Kristiani tidak
mempunyai Kitab Suci tertulis kecuali Kitab Suci orang Yahudi. Namun, tahap
demi tahap, keempat penginjil, Petrus, Paulus dan beberapa orang lainnya
menulis kesaksian iman mereka tentang apa yang telah dilaksanakan oleh Allah
dalam diri Yesus Kristus.
Dari
rangkuman dasar-dasar iman Kristiani ini dapat terlihat bahwa "iman para
rasul" oleh jemaat Kristiani sekarang dipandang sebagai pusat dan inti
iman mereka yang tidak dapat diubah. Iman tidak hanya mendahului Kitab Suci,
melainkan juga menghasilkan dan menentukan Kitab Suci jemaat Kristiani.
4.
Sumber Ajaran Iman Katolik
Sumber
iman Katolik terdiri atas tiga pilar kebenaran, yaitu TRADISI SUCI, KITAB SUCI
dan MAGISTERIUM GEREJA.
TRADISI SUCI
Kita
tahu selama selama hidup-Nya Yesus Kristus tidak pernah menuliskan sebuah buku.
Ia menyampaikan ajarannya dengan lisan dan perbuatan-Nya yang kemudian
diteruskan oleh para rasul. Supaya pesan Injil ini dapat diturunkan secara utuh
dan hidup di dalam Gereja, para rasul menunjuk uskup-uskup untuk menggantikan
mereka dan menyerahkan kepada mereka kedudukan untuk mengajar. Penerusan ajaran
Injil ini yang terjadi di bawah kuasa Roh Kudus, disebut sebagai Tradisi Suci.
Tradisi
Suci adalah ajaran yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka
terima dari ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi,
Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya
kepada para pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan
dan menyebarkannya dengan setia. Maka Tradisi Suci ini bukan tradisi manusia
yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan. Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa
Yesus tidak pernah mengecam seluruh adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam
adat kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Tuhan (Mrk 7:8).
Jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci tidak akan pernah bertentangan. Pengajaran
para rasul seperti Allah Tritunggal, Api penyucian, Keperawanan Maria, telah
sangat jelas diajarkan melalui Tradisi dan tidak bertentangan dengan Kitab
Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Kitab
Suci tetapi Kitab Suci sendiri mengajarkan agar kita memegang teguh Tradisi
yang disampaikan kepada kita secara tertulis ataupun lisan (2Tes 2:15, 1Kor:2).
KITAB SUCI
Allah
memberitahukan rencana keselamatanNya kepada manusia melalui Injil. Injil ini
diturunkan dengan dua cara, yaitu secara lisan dan tertulis, untuk diteruskan
kepada kita. Para rasul mewartakan secara lisan apa yang mereka terima dari
Kristus, baik itu dari perbuatan Kristus ataupun dari percakapan denganNya,
ataupun dari dorongan Roh Kudus. Dan juga, para rasul dan tokoh-tokoh rasuli
atas ilham Roh Kudus menuliskan amanat keselamatan tersebut untuk dijadikan
buku. Hasil penulisan amanat Allah tersebut dikenal sebagai Kitab Suci.
(KGK 101-141)
Allah
memberi inspirasi kepada manusia yaitu para penulis suci yang dipilih Allah
untuk menuliskan kebenaran. Allah melalui Roh KudusNya berkarya dalam dan
melalui para penulis suci tersebut, dengan menggunakan kemampuan dan kecakapan
mereka. “Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang
yang diilhami tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.” Jadi
jelaslah bahwa Kitab Suci yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru adalah tulisan
yang diilhami oleh Allah sendiri (2Tim 3:16). Kitab-kitab tersebut mengajarkan
kebenaran dengan teguh dan setia, dan tidak mungkin keliru. Karena itu, Allah
menghendaki agar kitab-kitab tersebut dicantumkan dalam Kitab Suci demi
keselamatan kita.
Mungkin ada orang Kristen yang berkata, bahwa keselamatan mereka diperoleh
melalui Kitab Suci saja. Namun, kenyataannya hal itu tidak pernah diajarkan
oleh Kitab Suci itu sendiri. Malah yang ada adalah sebaliknya, bahwa Kitab Suci
tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2Pet 1:20-21) sebab ada
kemungkinan dapat diartikan keliru (2Pet 3:15-16). Gereja pada abad-abad awal
juga tidak menerapkan teori ini. Teori ‘hanya Kitab Suci’ atau ‘Sola Scriptura’
ini adalah salah satu inti dari pengajaran pada zaman Reformasi pada tahun
1500-an, yang jika kita teliti, malah tidak berdasarkan Kitab Suci.
Pada
kenyataannya, Kitab Suci tidak dapat diinterpretasikan sendiri-sendiri, karena
dapat menghasilkan pengertian yang berbeda-beda. Sejarah membuktikan hal ini, di
mana dalam setiap tahun timbul berbagai gereja baru yang sama-sama mengklaim
“Sola Scriptura” dan mendapat ilham dari Roh Kudus. Ini adalah suatu kenyataan
yang memprihatinkan, karena menunjukkan bahwa pengertian mereka tentang Kitab
suci berbeda-beda, satu dengan yang lainnya. Jika kita percaya bahwa Roh Kudus
tidak mungkin menjadi penyebab perpecahan (lih. 1Kor14:33) dan Allah tidak
mungkin menyebabkan pertentangan dalam hal iman, maka kesimpulan kita adalah:
“Sola Scriptura” itu teori yang keliru.
MAGISTERIUM GEREJA
Para
penerus rasul yang mendapat wewenang mengajar dari para rasul ini disebut
sebagai Magisterium.(KGK 85-87, 888-892):
Dari
uraian di atas, kita mengetahui pentingnya peran Magisterium yang “bertugas
untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu
yang kewibawaannya dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus. Magisterium ini tidak
berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan
sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus,
Magisterium yang terdiri dari Bapa Paus dan para uskup pembantunya [yang dalam
kesatuan dengan Bapa Paus] menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari
penafsiran yang salah.
Kita
perlu mengingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan
kitab-kitab Perjanjian Baru. Para pengarang/penulis suci dari kitab-kitab
tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para
penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium dibimbing
oleh Roh Kudus diberi kuasa untuk meng-interpretasikan kedua Kitab Perjanjian
tersebut.
Jelaslah
bahwa Magisterium sangat diperlukan untuk memahami seluruh isi Kitab Suci.
Karunia mengajar yang ‘infallible’ (tidak mungkin sesat) itu diberikan kepada
Magisterium pada saat mereka mengajarkan secara resmi doktrin-doktrin Gereja.
Karunia ini adalah pemenuhan janji Kritus untuk mengirimkan Roh KudusNya untuk
memimpin para rasul dan para penerus mereka kepada seluruh kebenaran (Yoh
16:12-13).
Hubungan Tradisi dan Alkitab
Alkitab
adalah bagian dari Tradisi, karena itu Tradisi adalah konteks dari Alkitab,
maka untuk memahami Alkitab diperlukan terang Tradisi. Memahami Alkitab diluar
Tradisi berarti memahami Alkitab diluar konteks.
Hubungan Magisterium dengan Alkitab
Magisterium
adalah pembentuk, penyusun, dan pemelihara Alkitab. Alkitab adalah bagian dari
ajaran dari Magisterium. Misalnya, Magisterium Gerejalah yang mengajarkan bahwa
surat Yakobus adalah bagian dari Alkitab dan mengajarkan bahwa Surat Barnabas
bukanlah bagian dari Alkitab. Sementara Alkitab sendiri tidak pernah menyusun
dirinya sendiri (mana bagian dari Alkitab dan mana bukan).
Jika
tidak mempercayai Magisterium Gereja, berarti kita boleh untuk tidak percaya
pada Alkitab yang disusun oleh Magisterium. karena Alkitab yang kita gunakan
adalah susunan dari Magisterium. Sebaliknya, jika kita percaya pada
Magisterium, maka itu berarti kita pasti percaya pada Alkitab yang disusun
olehnya, dan itu artinya kita perlu memahami Alkitab dari kacamata penyusunnya.
Kesimpulan:
Gereja sebagai Tonggak Kebenaran terdiri dari tiga unsur, yaitu Tradisi Suci,
Kitab Suci dan Magisterium Gereja.
Untuk
memberitahukan rencana keselamatanNya, Allah berbicara pada GerejaNya melalui
Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiga hal ini adalah karunia Allah
yang tidak terpisahkan untuk menyampaikan kebenaran melalui GerejaNya. Perlu
kita ingat bahwa Rasul Paulus sendiri berkata bahwa Gereja adalah “jemaat dari
Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim 3:15).
Di
dalam Gereja, wahyu Allah dinyatakan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci. Karena
Kitab Suci dan Tradisi Suci berasal dari Allah, kita harus menerima dan
menghormati keduanya dengan hormat yang sama. Jika kita membaca dan mendalami
isi Kitab Suci, terutama di dalam hal iman dan moral, kita harus menempatkan
pemahaman Magisterium Gereja di atas pemahaman pribadi, karena kepada merekalah
telah diamanahkan tugas mengartikan Wahyu Allah secara otentik. Namun hal ini
janganlah sampai mengurangi semangat kita untuk membaca Kitab Suci.
Jadi sebagai Tonggak Kebenaran, Gereja memiliki tiga unsur, yaitu: Kitab Suci,
Tradisi Suci dan Magisterium. Ketiganya merupakan pemenuhan janji Allah yang
selalu mendampingi GerejaNya sampai kepada ’seluruh kebenaran yang hakiki’ (Yoh
16:12-13), dan senantiasa bertahan sampai akhir zaman.
Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul (penerapan
dalam tugas profesional sebagi guru PAK membentuk dan mewujudkan iman yang benar)
Akhirnya
Saya sebagai guru Pendidikan Agama Katolik bisa mencoba untuk merumuskan suatu
pengertian tentang wahyu yang sedikit komprehensif, yang dapat menjadi pegangan
kita. Kita tidak bisa begitu saja berbicara mengenai sabda dan pembicaraan
Allah dalam arti seakan-akan orang tertentu seperti para nabi mendengarkan
suara dari langit dan apa yang tertulis dalam Kitab Suci merupakan salinan
harfiah dari penyampaian Allah. Pada dasarnya kita mesti mengerti peristiwa
wahyu itu sebagai suatu komunikasi simbolis. Dalam sekian banyak kenyataan
dunia ini, tampak bagi kita, sifat dan sikap Allah. Maka kita bisa tentukan
beberapa ciri dan aspek wahyu sebagai berikut.
Wahyu
berakar di dalam suatu pengalaman manusiawi. Dalam setiap pengalaman, realita
di luar diri manusia menjadi nyata bagi manusia. Dalam pengalaman religious
terutama sifat hadiah dari seluruh realita dunia itu menonjol, sehingga dalam
mengalami realita dunia dan sejarah umat manusia, manusia religious turut
mengalamo dan menyadari dasar terdalam, sumber pertama dan horizon terluas yang
menopang dan merangkum segala realita dan memberi arti kepadanya.
Maka
pada dasarnya pengalaman religious membaca realita dunia sebagai symbol,
sebagai realita yang tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan menyatakan
suatu realita yang lebih besar yang melampaui dan sekaligus menunjang serta
menopang segala realita dunia ini. Dengan cara demikian Allah dapat menyatakan
diri melalui pelbagai kenyataan duniawi, bila kenyataan itu dibaca secara
simbolis.
Membaca
realita dan segala pengalaman akan realita sebagai symbol, di dalamnya Allah
menjadi nyata di dalam keilahian dan kemuliaanNya, terjadi dalam terang sebuah
tradisi iman. Untuk itu perlu diprhatikan bahwa setiap pengalaman merupakan
pengalaman yang terintepretasi. Subyek yang mengalaminya memiliki wawasan yang
berasal dari pengalaman subyektif dan kolektif masa lampau yang juga sudah
diinterpretasi dan direfleksikan dan sekarang merupakan kerangka yang turut
mewarnai pengalaman.
Maka
wahyu terjadi sebagai komunikasi simbolik antara Allah dengan manusia. Dalam
dan melalui realita yang dialami manusia, Allah menyatakan diri sebagai dasar,
penopang, tujuan realita itu. Dan kalau kita mengerti Allah sebagai pencipta
dunia dan penyelenggara transenden bagi seluruh sejarah, maka jelas juga, bahwa
wahyu itu merupakan inisiatif dan aktifitet Allah. Allah mengadakan realita
yang menyatakan diriNya sebagai Allah.
Karena
setiap pengalaman mendalam mau dan akan diceritakan, maka pengalaman religious
yang dialami sebagai wahyu, sebagai pengalaman yang membuka mata, akan
diceritakan pula. Dengan demikian terbentuk tradisi religious dengan ketiga
aspek Sabda yang bisa kita bedakan. Karena Allah itu dialami sebagai dasar dan
penjamin kehidupan maka kisah tentang pengalaman itu memperoleh bentuk janji.
Karena Allah dialami sebagai pembebas yang sungguh memenuhi janjiNya itu, maka
kisahnya memperoleh bentuk pemakluman. Dan karena Allah itu dialami sebagai
terang yang membuka mata bagi kebenaran tentang manusia, maka kisah itu
memperoleh bentuk petunjuk arah atau hukum.
Dan
kisah atau cerita itu tidak merupakan rekaan hati manusia belaka, melainkan
sungguh berakar di dalam suatu relaita yang dikerjakan Allah, sebab itu kisah
itu diinspirasi Allah merupakan penyampaian dari pihak Allah. Tapi kisah itu
sungguh diceritakan oleh manusia yang berbicara tentang pengalaman di dalamnya
Allah menjadi menjadi nyata bagi dia. Maka kita memperoleh struktur yang khas
dari Sabda Allah seturut pengertian Kristen, sebagai Sabda yang memiliki
penyebab ilahi dan manusiawi.
Realita
yang menjadi symbol atau sarana pernyataan diri Allah ialah alam, sejarah,
relasi antarpribadi dan pengalaman batin manusia. Maka pada dasarnya wahyu
terbuka bagis etiap orang dan harus diandaikan bahwa di dalam tradisi setiap
agama tersimpan pengalaman yang benar akan Allah yang menyata lewat sarana-sarana
tadi.
Kalau
kita mengklaim suatu keunggulan bagi agama Kristen yang mengatasi tradisi
religious lain, maka kita tidak bisa berargumentasi berdasarkan gagasan wahyu
secara umum, melainkan kita harus berargumentasi secara kristologis. Kita harus
kemukakan argument yang bisa memperlihatkan keistimewaan Yesus sebagai
peristiwa historis yang secara unik dan tak tertandingi menyatakan Allah bagi
kita.
Untuk
memperlihatkan keistimewaan Yesus itu, dari sudut pandangan teologi fundamental
(yang mendasari seluruh uraian teologis) atau prolegomena dogmatic, kita tidak
boleh bertolak dari pengakuan iman lengkap akan Yesus sebagai penjelmaan Putra
Allah. Melainkan kita harus bertolak dari kenyataan hidup Yesus historis dan
menunjuk kepada aspekaspek hidup Yesus itu yang menjadi dasar bagi keyakinan
para murid, bahwa di dalam diriNya Allah secara istimewa nyata bagi segala
orang.
Panenberg
(1996) misalnya mengambil wibawa istimewa yang tampak pada diri Yesus dan
konfirmasi oleh Allah dalam pembangkitan sebagai titik tolak untuk argumentasi
itu, sedangkan Schilebeeckx (1990) berkosentrasi pada pengalaman Yesus akan
Allah sebagai Abba. Setrlah keistimewaan Yesus dinyatakan secara demikian, kita
bisa melihat ambivalensi atau ketidakjelasan yang terdapat di dalam wahyu lewat
keempat sarana tersebut di atas dan bagaimana ketidakjelasan itu dapat duatasi
lewat wahyu dalam peristiwa Yesus. Pada prinsipnya kita hanya perlu
memperlihatkan bahwa ambivalensi wahyu dalam salah satu bidang pengalaman di
atasi berkat peristiwa Yesus dari Nazaret itu, maka dengan cara itu,
ambivalensi lain turut diatasi dalam ternag kenyataan yang satu itu. Peristiwa
Yesus terutama berakar dalam pengalaman melalui peristiwa sejarah dan di situ
kita sudah katakana di atas, pembangkitan Yesus dari Nazaret dan kesaksian para
murid tentang itu, merupakan antisipasi akhir sejarah dan mengatasi ambivalensi
yang ada dalam pengalaman historis pada umumnya, bahwa kita baru bisa
mengetahui arti yang sesungguhnya dari peristiwa sejarah tertentu setelah seluruh
sejarah dunia itu berakhir.
Wahyu
diri Allah baru mencapai tujuannya bila ada orang yang percaya akan wahyu, atau
lebih tepat akan Allah yang mewahyukan diri. Maka pada bagian berikut kita
perlu menguraikan arti dan inti dari tindakan iman seturut tradisi kristiani
itu dan terutama bagaimana kita mengerti dan mengartikan iman dalam seluruh
karya kita ini, karena iman dalam arti kepercayaan akan memainkan peran
fundamental dalam sejarah argumentasi kita nanti.
Saya
sebagai Guru agama Katolik menuju transformasi PAKat saat ini, perlu terus
menerus memperbarui diri, terutama dalam hal paradigma mengajar. Guru agama
Katolik diutus oleh Gereja untuk mengajar PAKat kepada peserta didik. Perutusan
guru agama Katolik dewasa ini semakin mendesak dan berat karena tuntutan
kualitas profesional yang tinggi serta kegiatan yang menanggapi perkembangan
zaman. Peran guru agama Katolik dalam tugas perutusannya adalah untuk
melaksanakan tugas-tugas dan usaha-usaha Gereja di bidang PAKat. Status
profesional guru agama Katolik sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus
pewarta harus sungguh-sungguh dihayati dengan semangat kerasulan.
Guru
agama Katolik harus berusaha semaksimal mungkin meningkatkan segi profesional
demi kualitas kinerja yang baik dan demi para peserta didik. Guru agama katolik
perlu memperhatikan kualitas kerjanya, mengingat karya-karya yang dilakukan
memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan Gereja. Karya guru agama Katolik
tidak dapat disangkal memiliki segi profesional, namun segi profesional saja
tidak cukup untuk menentukan kualitas kerja baik. Ada segi lain yang juga
melekat dan tidak terpisahkan dengan profesional guru agama Katolik yakni segi
spiritualitas.
Era
revolusi digital saat ini banyak menimbul perubahan-perubahan yang mendalam dan
pesat berangsur-angsur meluas, serta dampak pengaruhnya dalam segi dan aspek
kehidupan manusia. Masa perubahan-perubahan itu sebenarnya muncul atas dasar
keinginan dan usaha manusia untuk lebih maju, tetapi juga justru kembali
mempengaruhi tata-kehidupannya sendiri. Pengaruh yang nyata dalam
tata-kehidupan manusia adalah peradaban dan budaya digital. Akhirnya terasalah
dampak revolusi digital pada pola dan gaya hidup manusia, terutama mentalitas,
cara berpikir dan kaidah bertindak yang sering menimbulkan perbedaan pandangan
terhadap sesuatu tertentu. Kondisi ini menyadarkan bahwa pentingnya pendidikan
nilai dan karakter digali kembali pada sumber-sumber paradigma yang sesuai di
era revolusi digital.
Guru
agama Katolik sebagai pelaku utama mempunyai peran besar terhadap perubahan
dalam pengembangan PAKat. Guru agama Katolik mengambil peran dalam konteks
pelayanan Gereja, yaitu sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus sebagai
pewarta. Paradigma PAKat di era revolusi digital ini perlu diarahkan kepada
pembentukan setiap pribadi peserta didik seutuhnya (AK art. 59). Guru agama
Katolik yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan PAKat di sekolah, perlu
juga memiliki semangat yang kuat supaya mampu mengarahkan semua usaha dan tugas
yang diembankan kepadanya diarahkan kepada pembentukan pribadi peserta didik
seutuhnya.
Wujud
spiritualitas dalam pelayanan guru agama Katolik adalah semangat dan sikap
hidup yang menggerakan dan mendorongkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab yang diemban di sekolah. Akar spiritualitas guru Agama Katolik adalah
bersumber dari Yesus Kristus, dan dihayati dalam tugas perutusannya secara
nyata. Ciri-ciri khas spiritualitas Yesus adalah cinta kasih, pengorbanan, dan
semangat merasul atau pelayanan. Guru Agama Katolik yang menghayati spiritualitasnya
secara mendalam, akan nampak lebih bersemangat dan bergembira saat membimbing
peserta didik supaya mau belajar, maju, dan berkembang.