Hakikat Dasar Sakramen dalam Gereja Katolik (Refleksi Atas Kajian Modul Ajaran Sosial Gereja 2)

Hakikat Dasar Sakramen dalam Gereja Katolik (Refleksi Atas Kajian Modul Ajaran Sosial Gereja 2)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Memaknai sakramen-sakramen Gereja bukanlah soal menerimanya sesering mungkin atau tidak; bukan soal menjalankan upacaranya setepat mungkin; juga bukan soal menghapal ajaran tentang sakramen. Memaknai sakramen dalam tulisan ini tidak lain adalah mendalami kekristenan kita, mendalami apa artinya kita menjadi warga Gereja. Dalam upaya itu, kita perlu meletakkan segala yang bersangkutan dengan kekristenan kita dalam perspektif. Perspektif itu tak lain adalah integrasi antara pengungkapan iman (ritus-ritus dan tindakan yang khas kristiani) dengan perwujudan iman (tindakan-tindakan manusiawi yang tidak khas kristiani). Ini adalah suatu perumusan teknis dari cita-cita menggereja yang kontekstual, artinya kita melahirkan wujud kekristenan kita dari dalam kancah situasi sosial, budaya, politik, keagamaan, ekonomi kita yang konkret.

Untuk memahami hakikat dasar sakramen maka akan dipaparkan antara lain pengertian sakramen, Yesus Kristus sebagai Sakramen Induk, Gereja sebagai Sakramen Dasar, ketujuh Sakramen sebagai Sakramen-Sakramen Gereja, Pelayanan Sakramen-Sakramen Gereja, dan Sakramentali.

1.      Pengertian Sakramen

Kata “Sakramen” berasal dari bahasa Latin Sacramentum yang dalam abad II dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani: Mysterion dalam Kitab Suci, kata Sacramentum sendiri bisa berarti sumpah setia prajurit dalam dunia militer dan “uang jaminan”.  Sacramentum berarti hal-hal yang berkaitan dengan yang kudus atau yang ilahi. Sakramen berarti juga tanda dan sarana keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia. Konstitusi tentang liturgi suci mengatakan bahwa sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah.  Secara etimologis, kata Sacramentum berasal dari dua kata yakni: Sacrare dan Sacrum. Sacrare (Concecrare) adalah tindakan yang sah untuk memindahkan seseorang atau suatu hal ke dalam lingkup “hukum ilahi” (yang kudus) dengan menunjuk pada tiga hal, yakni tindakan yang sah untuk menguduskan, hal yang dikuduskan, sarana pengudusan. Sedangkan Sacrum berarti tanda atau simbol suci .

 Kata sacramentum digunakan untuk menekankan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan yang disebut mysterium. Rasul Paulus mengatakan, “Aku telah menjadi pelayan jemaat… untuk meneruskan  rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad… tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1:26, lih. Rm 16:25). Rahasia/misteri keselamatan ini tak lain adalah Kristus (Kol 2:2; 4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita (Kol 1:27). Katekismus mengutip perkataan St. Leo Agung mengajarkan, “apa yang tampak pada Penebus kita, sudah dialihkan ke dalam misteri-misteri-Nya” yaitu, sakramen- sakramen-Nya. Jadi sakramen adalah tanda yang kelihatan dari misteri Kristus yang tak kelihatan, yang diadakan Kristus untuk mendatangkan rahmat keselamatan bagi kita. Selain itu, di abad-abad pertama kata sacramentum dalam dunia sekular mengacu kepada arti janji/ sumpah bagi mereka yang masuk dalam pasukan militer Romawi. Janji ini menjadi serupa dengan makna perjanjian yang dilakukan oleh bangsa Israel, sebagai tanda bangsa pilihan Allah. Demikianlah, sakramen menandai kita sebagai umat Allah, milik-Nya sendiri.

Pada zaman gereja perdana mula-mula kata "sakramen" awalnya dipakai untuk menunjukkan segala jenis doktrin dan perundangan. Sakramen adalah peraturan kudus yang ditetapkan oleh Kristus, di mana tanda-tanda yang bisa dilihat dan dirasa dari anugerah Allah di dalam Kristus, dan keuntungan dari perjanjian anugerah dilambangkan, dimeteraikan, dan diterapkan untuk orang percaya, dan pada gilirannya menyatakan iman dan kesetiaan mereka kepada Tuhan.

Baru mulai abad XII terjadilah perubahan makna sakramen. Istilah sakramen yang semula dipahami dalam konteks sejarah keselamatan itu, kini dipahamii sebagai ketujuh ritus sebagaimana biasa kita kenal dengan ketujuh sakramen itu. Pengertian sakramen dalam arti ketujuh macam sakramen itu jelas merupakan penyempitan makna. Maka sekarang dimengerti bahwa sakramen berarti suatu tanda yang sekaligus melaksanakan apa yang ditandakan itu. Atau dengan kata lain, sakramen, sebagaimana dipahami oleh Gereja Katolik saat ini, adalah tanda yang terlihat, yang dapat ditangkap oleh panca indera, yang dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai sarana yang dengannya rahmat ilahi diindikasikan oleh tanda yang diterimakan, yang membantu pribadi penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan, dan berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian.

Nah, pada paruh pertama abad 20 ini terjadi Gerakan Pembaruan yang berperanan dalam bidang sakramen dan teologi: pembaruan liturgi, kembali ke sumber, ekumenis, Teologi Misteri Odo Casel (1886-1948) yang menyumbang konsepsi asali tentang sakramen, yaitu pemahaman sakramen menurut KS dan Patristik. Intinya mengembalikan makna perayaan dan tanda pada sakramen, di mana Kristus dan tindakan penyelamatanNya hadir dan dirayakan.

Sekarang, sakramen pertama-tama menunjuk Yesus Kristus sendiri, sebagai sakramen Induk/pokok, sebab Allah Penyelamat yang tidak tampak itu hadir dan kelihatan dalam diri Yesus Kristus, “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr 1:3). Kemudian Sakramen menunjuk Gereja sebagai sakramen dasar dalam hubungan dengan Kristus: apa yang nampak dalam Gereja menjadi simbol real yaitu tanda yang efektif dan menghadirkan keselamatan Allah yang terlaksana dalam Kristus bagi dunia. Akhirnya tujuh Sakramen merupakan konkretisasi Gereja sebagai sakramen dasar dalam kehidupan konkret manusia.

 

2.      Yesus Kristus sebagai Sakramen Induk

Dalam Kitab Suci, istilah sacramentum atau mysterion lebih menunjukkan pada dua karakter pokok. Pertama, mysterion menunjuk pada tegangan dinamik antara Yang Ilahi dan yang manusiawi, yang tidak kelihatan dan yang kelihatan, rencana penyelamatan Allah yang tidak kelihatan (ilahi) dan penyingkapan atau pelaksanaannya dalam sejarah yang kelihatan (manusiawi). Kedua, mysterion menunjuk pada sejarah penyelamatan Allah yang terlaksana dan memuncak dalam diri Yesus Kristus.

Sakramen-sakramen Gereja berasal dari Yesus Kristus. Alasannya adalah bahwa sakramen-sakramen itu melambangkan dan menghadirkan misteri karya penyelamatan Allah melalui Kristus sebagai rahmat yang ditawarkan kepada dunia. Sakramen-sakramen itu mesti berhubungan dengan Yesus Kristus agar terjaminlah bagi kita bahwa sakramen-sakramen itu menghadirkan rahmat Tuhan. Kita mengetahui bahwa rahmat dan karunia penyelamatan hanya datang dari Allah saja dan bukan dari manusia. Gereja tidak mempunyai kuasa dan kemampuan untuk menciptakan apa-apa yang perlu bagi keselamatan manusia. Semua itu berasal dari Tuhan sendiri.

Dengan kata lain, sakramen-sakramen bersangkut paut dengan penghadiran penyelamatan Allah yang tentu saja berciri ilahi. Sakramen-sakramen bukan soal manusiawi, tetapi selalu berdimensi ilahi, karena memang demikian hakikat sakramentalitas. Dalam arti inilah kemestian asal usul sakramen-sakramen Gereja dari Yesus Kristus dapat dimengerti dan dipahami. Karena itu, sakramen-sakramen harus berasal dari Tuhan Yesus Kristus sendiri.

 

3.      Gereja: Sakramen Dasar

Gereja sendiri adalah “Sakramen Keselamatan” yang menjadi tanda rahmat Allah dan sarana yang mempersatukan Allah dan manusia. Sebagaimana Yesus yang mengambil rupa manusia menjadi “Sakramen” dari Allah sendiri, maka Gereja sebagai Tubuh Kristus menjadi “Sakramen” Kristus. Artinya, di dalam Gereja, kuasa ilahi yang membawa kita kepada keselamatan bekerja melalui tanda yang kelihatan.

Dalam perannya sebagai “Sakramen Keselamatan” inilah, Gereja dipercaya oleh Kristus untuk membagikan rahmat Tuhan melalui tujuh sakramen. Jadi sakramen bukanlah hanya tanda atau lambang, tapi juga sebagai pemenuhan makna dari tanda itu sendiri, yaitu menyampaikan rahmat pengudusan untuk keselamatan kita. Dengan mengambil bagian dalam sakramen, kita diselamatkan, karena melalui Kristus, kita disatukan dengan Allah sendiri.

 

4.      Ketujuh Sakramen sebagai Sakramen-Sakramen Gereja

Dalam pandangan kristiani, kerinduan manusia akan Allah terjawab dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus menampakkan dan sekaligus menghadirkan diri dan hidup Allah bagi umatNya. Maka Yesus Kristus itu adalah Sakramen Hidup Allah. Walau Yesus Kristus itu sudah tak kelihatan, Ia tetap ada dan hadir dalam kekuatan Roh Kudus. Dalam pandangan kristiani, Gerejalah yang menjadi tanda dan sarana kehadiran Yesus Kristus di dunia. Gereja menjadi sakramen Yesus Kristus. Di dalam dan melalui Gereja Yesus Kristus dalam kekuatan Roh Kudus hadir dan tetap melanjutkan karya penebusan-Nya bagi setiap orang yang terbuka untuk diselamatkan. Kehadiran Yesus Kristus dalam Roh Kudus itulah yang menjadi jaminan dan kepastian bahwa walaupun warga Gereja terdiri dari orang-orang berdosa, tetap dapat menjadi sakramen Yesus Kristus. Gereja sebagai persekutuan para kudus (communio sanctorum), merupakan sakramen Yesus Kristus, yang panggilan dan perutusannya adalah menampakkan dan menghadirkan misteri Yesus Kristus dan karya penebusan-Nya bagi umat manusia di dunia ini.

 

Ada 7 Sakramen dalam Gereja Katolik. Angka 7 sebagai simbol kesempurnaan kehadiran Allah di dunia.  Kehadiran dalam seluruh dimensi dan siklus kehidupan manusia. Ketujuh sakramen tersebut adalah: baptis, ekaristi, penguatan/krisma, pengakuan dosa/tobat, pengurapan orang sakit/minyak suci, perkawinan, dan imamat.

Sakramen-Sakramen ini dapat dikelompokan sebagai berikut:

·        Sakramen Inisiasi: Baptis, Krisma dan Ekaristi

·        Sakramen Penyembuh: Pengakuan Dosa dan Pengurapan Orang Sakit

·        Sakramen Panggilan: Perkawinan dan Imamat

 Sakramen yang hanya dapat diterimakan satu kali seumur hidup:

1.          Sakramen Baptis

2.          Sakramen Krisma

3.          Sakramen Imamat

 

5.      Pelayanan Sakramen-Sakramen Gereja

a.      Sakramen-sakramen bagi pelayanan keselamatan

Melalui sakramen-sakramen (ketujuh sakramen) misteri penyelamatan Allah dalam diri diri Yesus Kristus dihadirkan dan berdaya guna menurut situasi dan kondisi konkret. Sakramen-sakramen ada untuk pelayanan keselamatan umat manusia yang datang dari Allah sendiri melalui Kristus dan yang kini dipercayakan dalam Gereja yang kudus. Dalam konteks makna sakramen-sakramen demi pelayanan keselamatan inilah, dibicarakan mengenai jumlah tujuh, masalah penetapan sakramen-sakramen oleh Yesus Kristus dan soal daya guna sakramen.

b.      Jumlah sakramen-sakramen Gereja

Penetapan jumlah 7 sakramen merupakan hasil proses historis yang dimulai dari Gereja sejak abad-abad pertama. Gereja Perdana belum mengenal jumlah tujuh sakramen, tetapi apa yang kemudian disebut tujuh sakramen sesungguhnya sudah ada dalam praktek kehidupan Gereja Perdana. Bapa-Bapa Gereja juga belum mengenal angka tujuh sakramen. Walau demikian, baik dalam Gereja Perdana maupun dalam masa Bapa-Bapa Gereja, banyak ritus atau upacara liturgi yang dianggap sebagai sakramen. Nanti Abad XII sakramen-sakramen mulai didefinisikan, direfleksikan kausalitas atau soal daya guna sakramen dan akhirnya ditetapkanlah tujuh sakramen. Penetapan pertama-tama melalui teolog-teolog pada masa Skolastik. Jumlah tujuh diterima dan ditetapkan sejak Konsili Lyon II (1274), diulangi lagi dalam Konsili Florenz (1439) ditegaskan kembali dalam Konsili Trente (1547).

c.      Ketujuh Sakramen Berasal dari Yesus

Misteri penebusan Yesus Kristus tidak hanya dibagikan lewat sakramen-sakramen saja, tetapi juga melalui Sabda Allah yang hidup. Namun, kita pun memahami bahwa sabda dan sakramen itu sendiri tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam kesatuan dengan Sabda Allah yang hidup, sakramen-sakramen sungguh bermakna melambangkan dan menghadirkan misteri karya penebusan Yesus Kristus itu kepada kita menurut situasi hidup yang konkret. Yesus Kristus senantiasa hadir dan berkarya melalui simbol-simbol yang berdaya guna. Maka, kita dapat mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus tentu menghendaki agar penebusan-Nya sampai pada setiap manusia dan dapat dialami secara manusiawi-konkret oleh setiap orang di sepanjang zaman.

d.      Daya Guna Sakramen-sakramen

Dari segi hukum penerimaan sakramen-sakramen, bisa dibedakan antara penerimaan sakramen secara sah (valid) dan secara pantas (licet). Dalam hal ini orang sering berbicara mengenai syarat penerimaan sakramen: 1) Syarat ad validitatem (demi sahnya): syarat-syarat yang harus ada, agar penerimaan sakramen menjadi sah dan berlaku sesuai dengan kehendak Kristus dan Gereja. Dengan syarat ini, sering ditunjuk istilah “dapat“. Syarat-syarat demi sahnya ini meliputi ketiga unsur, yaitu: pelayan, penerima dan simbol-simbol sakramennya; 2) Syarat ad liceitatem (demi boleh dan pantasnya): menunjuk syarat-syarat agar penerimaan sakramen bisa berlangsung secara pantas dan layak. Dengan syarat ini, sering dipakai istilah “boleh“. Maka, syarat ad liceitatem tentu merangkum syarat ad validitatem plus beberapa syarat lain, agar sakramen itu diterima secara layak. Syarat ad liceitatem ini juga meliputi pelayan, penerima, dan simbol sakramennya.

Dayaguna sakramen ditentukan dari sumbernya, yaitu berkat jasa Kristus dalam Misteri Paska-Nya, dan tidak tergantung dari kesucian imam/pelayan yang memberikannya.

Katekismus mengajarkan, “Inilah arti dari ungkapan Gereja, bahwa Sakramen-sakramen bekerja ex opere operato [secara harafiah: “atas dasar kegiatan yang dilakukan”]. Artinya, mereka berdaya berkat karya keselamatan Kristus yang dilaksanakan satu kali untuk selamanya. Oleh karena itu: “Sakramen tidak dilaksanakan oleh kesucian manusia yang memberi atau menerima [sakramen], tetapi oleh kekuasaan Allah.” Pada saat sakramen dirayakan sesuai dengan maksud Gereja, bekerjalah di dalamnya dan olehnya kekuasaan Kristus dan Roh-Nya, tidak bergantung pada kekudusan pribadi yang menyampaikannya. Buah-buah Sakramen juga bergantung pada sikap hati orang yang menerimanya.”

6.      Sakramentali

Gereja mengenal istilah sakramen dan sakramentali. Secara singkat sakramen berarti tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Di dalam Gereja ada tujuh sakramen: pembaptisan, penguatan, Ekaristi, pengakuan, pengurapan orang sakit, pentahbisan, dan perkawinan. Seluruh kehidupan liturgi Gereja berkisar di sekeliling kurban Ekaristi dan sakramen-sakramen (SC 6).

Sedangkan sakramentali secara harafiah berarti "seperti sakramen", yaitu tanda kehadiran Allah selain ketujuh sakramen. Perbedaan mencolok antara sakramen dan sakramentali adalah pada hakikatnya. Ketujuh sakramen mengungkapkan hakikat Gereja, dalam ketujuh sakramen inilah Gereja sebagai TUbuh Mistik Kristus secara jelas dan nyata ditampakkan. Maka pemimpin liturgi untuk sakramen juga bukanlah orang sembarangan, haruslah imam tertahbis. Ini berbeda dengan sakramentali dimana bahkan seorang awam boleh memimpin liturgi sakramentali, walaupun ada pengecualian untuk beberapa sakramentali yang memerlukan berkat dari uskup seperti pentahbisan pemimpin biara.

 

Sakramentali adalah hal-hal atau tindakan yang digunakan oleh Gereja untuk menyalurkan rahmat Tuhan bagi kita, melalui doa-doa-nya.  Katekismus mengajarkan bahwa sakramentali adalah, “Tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen, dan pelbagai situasi hidup disucikan.” Berkat-berkat sakramentali atas nama Gereja diberikan melalui pelayanan para imam dan uskup. Sedangkan berkat dari kaum awam, seperti berkat orangtua kepada anak-anaknya, tidak menyampaikan berkat atas nama Gereja.

Contoh sakramentali meliputi: pemberkatan dari orang-orang, makanan, benda-benda dan tempat, seperti pada pemberkatan para ibu sebelum dan sesudah melahirkan, pemberkatan anak-anak, pernyataan kaul para biarawan/biarawati, pemberkatan rumah, kantor, pemberkatan lilin, rosario, medali, crucifix, skapulir dst.   Biasanya berkat diberikan dengan memohon kepada nama Yesus sambil membuat Tanda Salib. Tanda-tanda yang digunakan dalam sakramentali ini, misalnya: air suci, minyak suci, dst, dengan rumusan kata-kata. Melalui tanda-tanda ini, berkat Tuhan dimohonkan atas orang, tempat ataupun benda- benda.

Juga termasuk dalam sakramentali adalah eksorsisme (pengusiran setan) dari benda atau orang-orang yang kerasukan setan. Eksorsisme dilakukan oleh uskup atau imam yang diberi kuasa oleh uskup.

 

Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul (penerapan dalam tugas profesional sebagi guru PAK)

Kita tidak bisa menganggap remeh, mengingat bahwa kompleksitas masyarakat kita sedang menunjukkan berlangsungnya suatu perubahan cara pandang, cara berpikir dan pandangan tentang dunia ini. Perubahan dan  perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi informatika, kesadaran politik dan ekonomi global, kesadaran akan dimensi lingkungan hidup, kesadaran tentang hak-hak perempuan dan kaum minoritas. Kehadiran komputer, handphone, dan internet telah merubah cara orang berelasi satu dengan yang lain dan dengan macam-macam informasi, termasuk informasi religius. Semua ini menyerap kesibukan dan perhatian orang, yang pasti membuat semakin tipisnya perhatian terhadap sakramen-sakramen Gereja.

Menghargai status kita sebagai warga Gereja antara lain juga berarti tidak henti-hentinya menggali kedalaman dari hakikat sakramen-sakramen: baik yang telah kita terima sekali seumur hidup, maupun menekuni sakramen-sakramen yang menyertai perjalanan ziarah hidup kita sebagai sarana penyucian dan pengudusan diri. Mengapa harus dengan sakramen-sakramen? Karena dalam ritus-ritus upacara sakramenlah Gereja merayakan jatidirinya yang terdalam dalam pautan dengan situasi kongret orang tertentu. Secara populer, dalam ritus-ritus sakramen itu kita paling kelihatan kristiani. Namun, di lain sisi, menghargai kekristenan kita juga berarti menggali akar kedalaman hidup kita dalam ziarah hidup, bahwasanya yang penting bukannya yang tampak di permukaan saja.

Dalam pemahaman tentang Gereja tentang diri dan misinya sekarang ini, memaknai sakramen ada dalam perspektif untuk semakin menghargai hidup dan dunia ini, karena semuanya telah disusupi oleh pengaruh keselamatan ilahi. Dengan kata lain, pemaknaan sakramen meliputi ungkapan syukur atas status kita sebagai ciptaan dan syukur atas status kita sebagai yang diselamatkan oleh Allah. Pertemuan dua tahap besar karya Allah inilah yang terjadi dalam perayaan sakramen-sakramen, di mana dipertemukan pengangkatan alam ciptaan ke dalam peranan sebagai media atau alat keselamatan Allah bagi manusia. Dan pertemuan ini terjadi sebagai pengalaman manusia yang unik, aktual, tak terulang dan tidak pernah seragam. Dari mana akan muncul kesadaran semacam itu? Keselamatan Allah bagi manusia yang diwujudnyatakan dalam macam-macam situasi lewat simbol-simbol, itulah arti peristiwa sakramen.

Maka pemaknaan sakramen adalah proses panjang interpretasi hidup, pemberian arti dan makna kepada kehidupan ini, bukan pertama-tama tertuju pada ritus upacara sakramen. Kita sering menginterpretasikan hidup kita tanpa sadar bila sedang berbicara dengan rekan-rekan kita, bisa sedang menghadapi peristiwa yang penting atau gawat, bila sedang harus mengambil keputusan, bila sedang kehilangan sesuatu atau seseorang yang penting, bila sedang mengalami kegagalan, bila sedang mengalami saat yang membahagiakan. Dalam ucapan dan sikap kita tercermin bagaimana kita menafsirkan hidup ini bila bertolak dari peristiwa yang sedang dialami.

Satu gagasan yang barangkali bisa menolong kita untuk memaknai kehidupan sakramental Gereja adalah dengan menempatkan diri sebagai “katekumen abadi”. Apa maksudnya? Katekumen adalah orang yang meminta untuk masuk ke dalam persekutuan gerejani lewat penerimaan baptis. Dalam penghayatan Gereja, ini bukan hanya status, melainkan suatu proses hidup yang berkelanjutan, paling tidak sampai dengan muaranya, yaitu penerimaan sakramen baptis. Akan tetapi, isi dari proses tersebut sebetulnya berlanjut sampai seumur hidup: kita memang sudah diterima menjadi warga Gereja, namun proses mencari Tuhan, mencari pencerahan dan pemaknaan kehidupan, tidak pernah selesai. Di samping itu, katekumenat adalah suatu perjalanan yang dialogal: antara calon baptis dengan jemaat yang diwakili oleh katekis atau siapa saja yang menemani mereka. Bukankah dialog ini sepantasnya terus berlangsung pun bilamana orang sudah berstatus sebagai warga Gereja?

Ada peristiwa sakramen yang mudah dikenang: Perkawinan, Tahbisan, mungkin juga Baptisan dan Krisma. Dengan sakramen-sakramen ini kita mendapat status baru atau tahap baru dalam status sebagai warga Gereja. Mulai dengan membuka kembali album foto peristiwa-peristiwa tersebut. Acara ini bukan sekedar memuaskan nostalgia, melainkan untuk menyegarkan kita kembali sekarang ini. Sekarang ini ada praktik pembaharuan janji nikah bagi pasutri yang merayakan sepuluh tahun pernikahan atau pesta peraknya; begitu pula para imam setiap tahun memperbaharui janji imamatnya di hadapan Uskup pada misa pagi Kamis Putih.

Mengenang dan mengingat dalam Kitab Suci berarti melaksanakan: pilihlah salah satu segi dari sakramen yang dikenang itu untuk dilaksanakan secara nyata. Misalnya, salah satu yang kita janjikan pada saat saling menerimakan sakamen Pernikahan adalah untuk setia dalam untung dan malang. Ada banyak unsur malang dalam hidup nyata: alangkah baiknya bila kita berhenti sejenak dan mengingat kembali rumus pernikahan kita itu. Dalam tanya jawab baptis disebutkan macam-macam hal yang harus ditinggalkan. Kita pilih salah satu, misalnya meninggalkan takhayul atau klenik, dan kita coba hayati secara terpantau dalam suatu periode tertentu.

Untuk sakramen-sakramen penyerta perjalanan hidup seperti Ekaristi dan Tobat, sebaiknya kita jalani dengan teratur sambil mendalami unsur-unsurnya yang kaya. Demikian pula halnya dengan Sakamen yang telah diikrarkan oleh kebanyakan dari kita.

Sakramen Ekaristi, sebagai contoh yang paling akrab dengan kita, adalah simbol yang amat kaya. Di situ kita menjumpai makna “kenangan”, yaitu kenangan akan penyerahan diri Tuhan kita dalam wafat dan kebangkitan-Nya. Yang kita kenangkan di dalamnya bukan sembarangan peristiwa, melainkan sumber keselamaan kita sendiri. Kita persembahkan kenangan tersebut kepada Bapa untuk memohonkan agar Dia menuntaskan karya keselamatan yang telah dimulai itu. Kenangan sendiri dalam tradisi Kitab Suci mengandung nuansa yang dinamis, yaitu “melakukan kehendak Allah” seperti yang telah disinggung di atas. Di situ ada makna “kurban” (sehingga dulu Ekaristi sering diistilahkan dengan “kurban misa”, “bojana kurban”). Di samping itu, ada juga yang bisa digali dari simbol “santapan” dan “penyantapan” (komuni). Simbol ini mengandung nuansa kesatuan, sehidup semati antara yang menyantap dengan Dia yang disantap, dengan segala konsekuensi yang bisa ditarik dari situ. Hidup ini adalah hidup untuk dibagikan dan untuk berbagi, dari sini juga bisa ditarik banyak konsekuensi. Bagian ibadat sabda dalam perayaan Ekaristi sendiri juga menyuguhkan sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi hidup sehari-hari. Membiasakan diri menengok sebentar bacaan misa harian akan memberi isi, kedalaman dan juga kehangatan kepada kesibukan hari itu. Kemudian, masih ada lagi suatu makna yang dalam, yakni kesatuan hakiki dari mereka yang turut bersantap semeja dan sesantapan: apakah yang terungkap dalam ritus Ekaristi itu sungguh mencerminkan kenyataan dalam masyarakat atau setidaknya upaya ke arah itu? Bila masyarakat kita masih ditandai diskriminasi dan perpecahan, oleh sekat-sekat sosial, tidakkah kita harus berupaya membereskannya dahulu sebelum bersantap bersama dalam Ekaristi?

Sakramen Tobat, pada gilirannya, juga merupakan sakramen yang bisa menyertai perjalanan hidup kita secara bermakna. Tradisi Gereja sudah memperkaya Sakramen ini dengan unsur-unsur seperti: sesal atau tobat mendalam, pengakuan atas dosa-dosa, silih dan absolusi. Siapa dari antara kita yang tidak bergumul dengan masalah kesalahan, dosa, kerapuhan hidup, kemenduaan hati, ketidaksetiaan, pertumbuhan suara hati, keinginan untuk maju, keinginan untuk mati dengan damai? Ini semua membutuhkan pengolahan yang tentu saja tidak bisa ditanggung sendirian oleh Sakramen Tobat, namun sakramen ini bisa memainkan peranan penting di dalamnya. Manakah yang terpenting dari sakramen ini? Sesal mendalam yang dimahkotai dengan pemberian absolusi. Ini merupakan disposisi yang paling kondusif untuk menerima rahmat pengampunan. Pengakuan dosa-dosa dan penitensi atau silih merupakan ungkapan atas sikap dasar sesal. Ini jelas berbeda dari sekedar rasa bersalah yang biasa kita alami sehari-hari maupun rasa tidak pantas untuk menyambut komuni. Sesal adalah disposisi yang muncul bilamana orang menyadari bahwa sedang berhadapan dengan cinta ilahi yang tanpa batas, yang terluka oleh sikap dan perbuatannya. Absolusi adalah tanda rekonsiliasi dengan Gereja yang pada gilirannya melambangkan rekonsiliasi dengan Allah. Menjalani sakramen tobat mendorong orang untuk rajin memeriksa batinnya, motivasinya, kejernihan jiwanya, kedamaian hatinya. Dengan kata lain, di situ dia bisa menjumpai cinta ilahi yang tanpa syarat; dari sinilah terbentuknya sesal dan tobat mendalam.

Jika saya sebagai Guru Pendidikan Agama Katolik menghayati sakramen sebagai sungguh rahmat Allah kita perlukan untuk keselamatan kita (lih. KGK 1129), dan bahwa Kristus sendiri bekerja melalui sakramen (lih. KGK 1127) untuk memberikan rahmat-Nya kepada kita agar kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya (lih. KGK 1129), maka kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menerima sakramen- sakramen tersebut.

Persiapan yang paling nyata adalah dengan mempersiapkan hati dan pikiran kita sebelum menerima sakramen, dan menerima sakramen dengan disposisi/ sikap hati yang baik. Beberapa contoh konkretnya:

1. Sebelum menerima sakramen Pembaptisan, para katekumen diarahkan untuk bertobat dengan meninggalkan kehidupan mereka yang lama, untuk hidup baru bersama Yesus. Dianjurkan, sesuai dengan tradisi para Bapa Gereja, agar para katekumen berpuasa dan berpantang selama beberapa hari menjelang Pembaptisan, diiringi dengan doa- doa untuk mempersiapkan diri menjelang Baptisan. Doa dan puasa ini juga dilakukan oleh para pengajar katekumen dan para sponsor katekumen. Pemilihan nama baptis, harus didahului  dengan mempelajari teladan hidup tokoh Santa/ santo yang dipilih.

2. Sebelum menerima Sakramen Tobat, mengadakan pemeriksaan batin yang baik, sehingga dapat kita dapat menyebutkan dengan jelas dosa-dosa kita, dan bahkan jika memungkinkan, berapa kali frekuensinya. Untuk pemeriksaan batin yang baik,  Dan mohonlah Roh Kudus untuk menyatakan kepada kita dosa- dosa kita sebelum kita mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Jika kita sungguh ingin bertumbuh di dalam iman dan kerohanian, kita selayaknya mengaku dosa secara rutin dalam Sakramen Tobat minimal satu bulan sekali.

3. Selanjutnya, kesadaran persiapan rohani sebelum menerima sakramen- sakramen yang lain, merupakan bukti yang nyata akan penghayatan akan makna sakramen. Kita selayaknya menyadari bahwa dosa telah memisahkan kita dengan Allah, sehingga jika kita ingin mengalami rahmat pengudusan dan persatuan dengan Allah, kita harus bertobat dan mengaku dosa- dosa kita. Maka, pemeriksaan batin dan penerimaan Sakramen Tobat menjadi persiapan yang baik untuk penerimaan sakramen- sakramen yang lain seperti, Ekaristi, Penguatan, Perkawinan, Tahbisan Suci, Pengurapan Orang Sakit.

4. Jika pemberian Sakramen Pembaptisan disertai Sakramen Penguatan dan Ekaristi sekaligus (disebut sebagai sakramen Inisiasi) pada orang dewasa, maka sakramen Pengakuan Dosa/ Tobat umumnya juga diberikan, dan dengan demikian, berlaku point 2.

5. Khusus sebelum menerima Sakramen Ekaristi, kita harus mempersiapkan hati. Jika kita melakukan dosa berat, kita harus mengaku dosa dalam Sakramen Tobat. Selanjutnya tentang persiapan hati menjelang dan sepanjang perayaan Ekaristi,

6. Tentang sakramen yang menentukan panggilan hidup secara khusus dalam hidup, seperti Perkawinan (untuk yang terpanggil untuk membina hidup berkeluarga) atau Tahbisan Suci (untuk yang terpanggil untuk hidup selibat bagi Kerajaan Allah sebagai imam), maka persiapan yang dilakukan harus melibatkan proses discernment yang jujur dan bijak, dengan fokus utama untuk melakukan kehendak Tuhan di dalam hidup. Persiapan ini justru didasari oleh penghayatan kita akan makna sakramen yang akan diterima. Tidak ada salahnya bagi para mudika untuk mengikuti retret terlebih dahulu sebelum memutuskan jalan yang akan ditempuh. Silakan juga membaca tanya jawab di sini, tentang hal ini,  Kekudusan (chastity) adalah bukti yang nyata akan penghayatan sakramen (baik terhadap sakramen Perkawinan maupun Tahbisan Suci), dan inilah yang selayaknya diterapkan dalam kehidupan kaum muda, entah nantinya ia dipanggil untuk hidup menikah atau selibat bagi Kerajaan Allah. Tentang “chastity” ini menjadi topik pengajaran 2010 di link ini, 

7. Akhirnya, sikap yang menandai penghayatan akan sakramen adalah sikap hati yang selalu mensyukuri rahmat sakramen yang kita terima, dan siap sedialah untuk membagikan rahmat Allah itu melalui kesaksian hidup kita. Bagi yang membentuk keluarga, hiduplah dalam kekudusan keluarga, dan bagi yang menjadi imam, hidup sebagai imam yang kudus. Pasangan suami istri  hidup dalam kasih kesetiaan, yang selalu terbuka pada kelahiran anak-anak; para orang tua menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya terutama dalam hal iman, dan para imam menjadi teladan kekudusan bagi umat. Di dalam kehidupan kita masing- masing, menikah atau tidak menikah, kita menjalani kehidupan sakramental, karena dalam perkawinan, suami dan istri menerapkan kehidupan kasih sakramental sebagaimana Kristus dengan Gereja-Nya (lih. Ef 5: 22-33, Demikian pula kehidupan antara imam dan umat, yang dengan cara yang khusus dan mendalam memberikan penggambaran tersebut secara rohani, sebab demikianlah yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus sendiri.

Sakramen adalah kelengkapan yang membantu kita untuk berkontak secara nyata dengan keselamatan Tuhan sendiri dalam perjalanan hidup kita. Dengan berpartisipasi yang lebih terbuka bagi umat dalam perayaan sakramen, dari satu sisi kita bisa membuat upacaranya lebih hidup; dari lain pihak, dan ini tugas yang lebih berat, hidup kita perlu semakin kita format berdasarkan sabda dan tindakan Allah yang kita alami dalam peristiwa sakramen. Dengan harapan inilah peziarahan kita sebagai Gereja akan semakin dalam dan berakar pada rencana Allah sendiri.



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama