Untuk
memahami hakikat dasar sakramen maka akan dipaparkan antara lain pengertian
sakramen, Yesus Kristus sebagai Sakramen Induk, Gereja sebagai Sakramen Dasar,
ketujuh Sakramen sebagai Sakramen-Sakramen Gereja, Pelayanan Sakramen-Sakramen
Gereja, dan Sakramentali.
1.
Pengertian Sakramen
Kata
“Sakramen” berasal dari bahasa Latin Sacramentum
yang dalam abad II dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani: Mysterion dalam Kitab Suci, kata
Sacramentum sendiri bisa berarti sumpah setia prajurit dalam dunia militer dan
“uang jaminan”. Sacramentum berarti hal-hal yang berkaitan dengan yang kudus atau
yang ilahi. Sakramen berarti juga tanda dan sarana keselamatan Allah yang
diberikan kepada manusia. Konstitusi tentang liturgi suci mengatakan bahwa
sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun tubuh Kristus dan
akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah.
Secara etimologis, kata Sacramentum berasal dari dua kata yakni: Sacrare
dan Sacrum. Sacrare (Concecrare) adalah tindakan yang sah
untuk memindahkan seseorang atau suatu hal ke dalam lingkup “hukum ilahi” (yang
kudus) dengan menunjuk pada tiga hal, yakni tindakan yang sah untuk
menguduskan, hal yang dikuduskan, sarana pengudusan. Sedangkan Sacrum berarti
tanda atau simbol suci .
Kata sacramentum digunakan untuk
menekankan tanda yang kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan
yang disebut mysterium. Rasul Paulus mengatakan, “Aku telah menjadi pelayan
jemaat… untuk meneruskan rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad…
tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1:26, lih.
Rm 16:25). Rahasia/misteri keselamatan ini tak lain adalah Kristus (Kol 2:2;
4:3; Ef 3:3) yang hadir di tengah-tengah kita (Kol 1:27). Katekismus mengutip
perkataan St. Leo Agung mengajarkan, “apa yang tampak pada Penebus kita, sudah
dialihkan ke dalam misteri-misteri-Nya” yaitu, sakramen- sakramen-Nya. Jadi
sakramen adalah tanda yang kelihatan dari misteri Kristus yang tak kelihatan,
yang diadakan Kristus untuk mendatangkan rahmat keselamatan bagi
kita. Selain itu, di abad-abad pertama kata sacramentum dalam
dunia sekular mengacu kepada arti janji/ sumpah bagi mereka yang masuk dalam
pasukan militer Romawi. Janji ini menjadi serupa dengan makna perjanjian
yang dilakukan oleh bangsa Israel, sebagai tanda bangsa pilihan Allah.
Demikianlah, sakramen menandai kita sebagai umat Allah, milik-Nya sendiri.
Pada
zaman gereja perdana mula-mula kata "sakramen" awalnya dipakai untuk
menunjukkan segala jenis doktrin dan perundangan. Sakramen adalah peraturan
kudus yang ditetapkan oleh Kristus, di mana tanda-tanda yang bisa dilihat dan
dirasa dari anugerah Allah di dalam Kristus, dan keuntungan dari perjanjian
anugerah dilambangkan, dimeteraikan, dan diterapkan untuk orang percaya, dan
pada gilirannya menyatakan iman dan kesetiaan mereka kepada Tuhan.
Baru
mulai abad XII terjadilah perubahan makna sakramen. Istilah sakramen yang
semula dipahami dalam konteks sejarah keselamatan itu, kini dipahamii sebagai
ketujuh ritus sebagaimana biasa kita kenal dengan ketujuh sakramen itu.
Pengertian sakramen dalam arti ketujuh macam sakramen itu jelas merupakan
penyempitan makna. Maka sekarang dimengerti bahwa sakramen berarti suatu tanda
yang sekaligus melaksanakan apa yang ditandakan itu. Atau dengan kata lain,
sakramen, sebagaimana dipahami oleh Gereja Katolik saat ini, adalah tanda yang
terlihat, yang dapat ditangkap oleh panca indera, yang dilembagakan oleh Yesus
dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai sarana yang dengannya rahmat ilahi
diindikasikan oleh tanda yang diterimakan, yang membantu pribadi penerimanya
untuk berkembang dalam kekudusan, dan berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja
dalam amal-kasih dan kesaksian.
Nah, pada paruh
pertama abad 20 ini terjadi Gerakan
Pembaruan yang berperanan dalam bidang
sakramen dan teologi: pembaruan liturgi, kembali ke sumber, ekumenis,
Teologi Misteri Odo Casel (1886-1948) yang menyumbang konsepsi asali
tentang sakramen, yaitu pemahaman sakramen menurut KS dan Patristik.
Intinya mengembalikan makna
perayaan dan tanda pada sakramen, di mana
Kristus dan tindakan penyelamatanNya hadir dan dirayakan.
Sekarang,
sakramen pertama-tama menunjuk Yesus Kristus sendiri, sebagai sakramen
Induk/pokok, sebab Allah
Penyelamat yang tidak tampak itu hadir dan kelihatan
dalam diri Yesus Kristus, “cahaya kemuliaan
Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr 1:3). Kemudian Sakramen menunjuk
Gereja sebagai sakramen dasar dalam hubungan dengan Kristus:
apa yang nampak dalam Gereja menjadi simbol real
yaitu tanda yang efektif dan menghadirkan keselamatan
Allah yang terlaksana dalam Kristus bagi dunia. Akhirnya tujuh
Sakramen merupakan konkretisasi Gereja sebagai sakramen dasar dalam kehidupan
konkret manusia.
2.
Yesus Kristus sebagai Sakramen Induk
Dalam
Kitab Suci, istilah sacramentum atau mysterion lebih menunjukkan pada dua
karakter pokok. Pertama, mysterion menunjuk pada tegangan dinamik antara Yang
Ilahi dan yang manusiawi, yang tidak kelihatan dan yang kelihatan, rencana penyelamatan
Allah yang tidak kelihatan (ilahi) dan penyingkapan atau pelaksanaannya dalam
sejarah yang kelihatan (manusiawi). Kedua, mysterion menunjuk pada sejarah
penyelamatan Allah yang terlaksana dan memuncak dalam diri Yesus Kristus.
Sakramen-sakramen
Gereja berasal dari Yesus Kristus. Alasannya adalah bahwa sakramen-sakramen itu
melambangkan dan menghadirkan misteri karya penyelamatan Allah melalui Kristus
sebagai rahmat yang ditawarkan kepada dunia. Sakramen-sakramen itu mesti
berhubungan dengan Yesus Kristus agar terjaminlah bagi kita bahwa
sakramen-sakramen itu menghadirkan rahmat Tuhan. Kita mengetahui bahwa rahmat
dan karunia penyelamatan hanya datang dari Allah saja dan bukan dari manusia.
Gereja tidak mempunyai kuasa dan kemampuan untuk menciptakan apa-apa yang perlu
bagi keselamatan manusia. Semua itu berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan
kata lain, sakramen-sakramen bersangkut paut dengan penghadiran penyelamatan
Allah yang tentu saja berciri ilahi. Sakramen-sakramen bukan soal manusiawi,
tetapi selalu berdimensi ilahi, karena memang demikian hakikat sakramentalitas.
Dalam arti inilah kemestian asal usul sakramen-sakramen Gereja dari Yesus
Kristus dapat dimengerti dan dipahami. Karena itu, sakramen-sakramen harus
berasal dari Tuhan Yesus Kristus sendiri.
3.
Gereja: Sakramen Dasar
Gereja
sendiri adalah “Sakramen Keselamatan” yang menjadi tanda rahmat Allah dan
sarana yang mempersatukan Allah dan manusia. Sebagaimana Yesus yang
mengambil rupa manusia menjadi “Sakramen” dari Allah sendiri, maka Gereja sebagai
Tubuh Kristus menjadi “Sakramen” Kristus. Artinya, di dalam Gereja, kuasa ilahi
yang membawa kita kepada keselamatan bekerja melalui tanda yang kelihatan.
Dalam
perannya sebagai “Sakramen Keselamatan” inilah, Gereja dipercaya oleh Kristus
untuk membagikan rahmat Tuhan melalui tujuh sakramen. Jadi sakramen bukanlah
hanya tanda atau lambang, tapi juga sebagai pemenuhan makna dari tanda itu
sendiri, yaitu menyampaikan rahmat pengudusan untuk keselamatan
kita. Dengan mengambil bagian dalam sakramen, kita diselamatkan, karena
melalui Kristus, kita disatukan dengan Allah sendiri.
4.
Ketujuh Sakramen sebagai Sakramen-Sakramen Gereja
Dalam
pandangan kristiani, kerinduan manusia akan Allah terjawab dalam diri Yesus
Kristus. Yesus Kristus menampakkan dan sekaligus menghadirkan diri dan hidup
Allah bagi umatNya. Maka Yesus Kristus itu adalah Sakramen Hidup Allah. Walau
Yesus Kristus itu sudah tak kelihatan, Ia tetap ada dan hadir dalam kekuatan
Roh Kudus. Dalam pandangan kristiani, Gerejalah yang menjadi tanda dan sarana
kehadiran Yesus Kristus di dunia. Gereja menjadi sakramen Yesus Kristus. Di
dalam dan melalui Gereja Yesus Kristus dalam kekuatan Roh Kudus hadir dan tetap
melanjutkan karya penebusan-Nya bagi setiap orang yang terbuka untuk
diselamatkan. Kehadiran Yesus Kristus dalam Roh Kudus itulah yang menjadi
jaminan dan kepastian bahwa walaupun warga Gereja terdiri dari orang-orang
berdosa, tetap dapat menjadi sakramen Yesus Kristus. Gereja sebagai persekutuan
para kudus (communio sanctorum), merupakan sakramen Yesus Kristus, yang
panggilan dan perutusannya adalah menampakkan dan menghadirkan misteri Yesus
Kristus dan karya penebusan-Nya bagi umat manusia di dunia ini.
Ada
7 Sakramen dalam Gereja Katolik. Angka 7 sebagai simbol kesempurnaan kehadiran
Allah di dunia. Kehadiran dalam seluruh dimensi dan siklus kehidupan
manusia. Ketujuh sakramen tersebut adalah: baptis, ekaristi,
penguatan/krisma, pengakuan dosa/tobat, pengurapan orang sakit/minyak suci,
perkawinan, dan imamat.
Sakramen-Sakramen
ini dapat dikelompokan sebagai berikut:
·
Sakramen
Inisiasi: Baptis, Krisma dan Ekaristi
·
Sakramen
Penyembuh: Pengakuan Dosa dan Pengurapan Orang Sakit
·
Sakramen
Panggilan: Perkawinan dan Imamat
Sakramen
yang hanya dapat diterimakan satu kali seumur hidup:
1.
Sakramen Baptis
2.
Sakramen Krisma
3.
Sakramen Imamat
5.
Pelayanan Sakramen-Sakramen Gereja
a.
Sakramen-sakramen bagi pelayanan keselamatan
Melalui
sakramen-sakramen (ketujuh sakramen) misteri penyelamatan Allah dalam diri diri
Yesus Kristus dihadirkan dan berdaya guna menurut situasi dan kondisi konkret.
Sakramen-sakramen ada untuk pelayanan keselamatan umat manusia yang datang dari
Allah sendiri melalui Kristus dan yang kini dipercayakan dalam Gereja yang
kudus. Dalam konteks makna sakramen-sakramen demi pelayanan keselamatan inilah,
dibicarakan mengenai jumlah tujuh, masalah penetapan sakramen-sakramen oleh
Yesus Kristus dan soal daya guna sakramen.
b.
Jumlah sakramen-sakramen Gereja
Penetapan
jumlah 7 sakramen merupakan hasil proses historis yang dimulai dari Gereja
sejak abad-abad pertama. Gereja Perdana belum mengenal jumlah tujuh sakramen,
tetapi apa yang kemudian disebut tujuh sakramen sesungguhnya sudah ada dalam
praktek kehidupan Gereja Perdana. Bapa-Bapa Gereja juga belum mengenal angka
tujuh sakramen. Walau demikian, baik dalam Gereja Perdana maupun dalam masa
Bapa-Bapa Gereja, banyak ritus atau upacara liturgi yang dianggap sebagai
sakramen. Nanti Abad XII sakramen-sakramen mulai didefinisikan, direfleksikan
kausalitas atau soal daya guna sakramen dan akhirnya ditetapkanlah tujuh
sakramen. Penetapan pertama-tama melalui teolog-teolog pada masa Skolastik.
Jumlah tujuh diterima dan ditetapkan sejak Konsili Lyon II (1274), diulangi
lagi dalam Konsili Florenz (1439) ditegaskan kembali dalam Konsili Trente (1547).
c.
Ketujuh Sakramen Berasal dari Yesus
Misteri
penebusan Yesus Kristus tidak hanya dibagikan lewat sakramen-sakramen saja,
tetapi juga melalui Sabda Allah yang hidup. Namun, kita pun memahami bahwa
sabda dan sakramen itu sendiri tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam
kesatuan dengan Sabda Allah yang hidup, sakramen-sakramen sungguh bermakna
melambangkan dan menghadirkan misteri karya penebusan Yesus Kristus itu kepada
kita menurut situasi hidup yang konkret. Yesus Kristus senantiasa hadir dan berkarya
melalui simbol-simbol yang berdaya guna. Maka, kita dapat mengimani bahwa Tuhan
Yesus Kristus tentu menghendaki agar penebusan-Nya sampai pada setiap manusia
dan dapat dialami secara manusiawi-konkret oleh setiap orang di sepanjang
zaman.
d.
Daya Guna Sakramen-sakramen
Dari
segi hukum penerimaan sakramen-sakramen, bisa dibedakan antara penerimaan
sakramen secara sah (valid) dan secara pantas (licet). Dalam hal ini orang sering berbicara mengenai syarat
penerimaan sakramen: 1) Syarat ad
validitatem (demi sahnya): syarat-syarat yang harus ada, agar penerimaan
sakramen menjadi sah dan berlaku sesuai dengan kehendak Kristus dan Gereja.
Dengan syarat ini, sering ditunjuk istilah “dapat“. Syarat-syarat demi sahnya
ini meliputi ketiga unsur, yaitu: pelayan, penerima dan simbol-simbol
sakramennya; 2) Syarat ad liceitatem (demi
boleh dan pantasnya): menunjuk syarat-syarat agar penerimaan sakramen bisa
berlangsung secara pantas dan layak. Dengan syarat ini, sering dipakai istilah
“boleh“. Maka, syarat ad liceitatem tentu merangkum syarat ad validitatem plus
beberapa syarat lain, agar sakramen itu diterima secara layak. Syarat ad
liceitatem ini juga meliputi pelayan, penerima, dan simbol sakramennya.
Dayaguna
sakramen ditentukan dari sumbernya, yaitu berkat jasa Kristus dalam Misteri
Paska-Nya, dan tidak tergantung dari kesucian imam/pelayan yang memberikannya.
Katekismus
mengajarkan, “Inilah arti dari ungkapan Gereja, bahwa Sakramen-sakramen
bekerja ex opere operato [secara
harafiah: “atas dasar kegiatan yang dilakukan”]. Artinya, mereka berdaya berkat
karya keselamatan Kristus yang dilaksanakan satu kali untuk selamanya. Oleh
karena itu: “Sakramen tidak dilaksanakan oleh kesucian manusia yang memberi
atau menerima [sakramen], tetapi oleh kekuasaan Allah.” Pada saat sakramen
dirayakan sesuai dengan maksud Gereja, bekerjalah di dalamnya dan olehnya
kekuasaan Kristus dan Roh-Nya, tidak bergantung pada kekudusan pribadi yang
menyampaikannya. Buah-buah Sakramen juga bergantung pada sikap hati orang yang
menerimanya.”
6.
Sakramentali
Gereja
mengenal istilah sakramen dan sakramentali. Secara singkat sakramen berarti
tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Di dalam Gereja ada tujuh sakramen:
pembaptisan, penguatan, Ekaristi, pengakuan, pengurapan orang sakit, pentahbisan,
dan perkawinan. Seluruh kehidupan liturgi Gereja berkisar di sekeliling kurban
Ekaristi dan sakramen-sakramen (SC 6).
Sedangkan sakramentali secara harafiah berarti "seperti sakramen",
yaitu tanda kehadiran Allah selain ketujuh sakramen. Perbedaan mencolok antara
sakramen dan sakramentali adalah pada hakikatnya. Ketujuh sakramen
mengungkapkan hakikat Gereja, dalam ketujuh sakramen inilah Gereja sebagai
TUbuh Mistik Kristus secara jelas dan nyata ditampakkan. Maka pemimpin liturgi
untuk sakramen juga bukanlah orang sembarangan, haruslah imam tertahbis. Ini
berbeda dengan sakramentali dimana bahkan seorang awam boleh memimpin liturgi
sakramentali, walaupun ada pengecualian untuk beberapa sakramentali yang
memerlukan berkat dari uskup seperti pentahbisan pemimpin biara.
Sakramentali
adalah hal-hal atau tindakan yang digunakan oleh Gereja untuk menyalurkan
rahmat Tuhan bagi kita, melalui doa-doa-nya. Katekismus mengajarkan bahwa
sakramentali adalah, “Tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen.
Sakramentali itu menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani, dan
yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali hati manusia
disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen, dan pelbagai situasi
hidup disucikan.” Berkat-berkat sakramentali atas nama Gereja diberikan
melalui pelayanan para imam dan uskup. Sedangkan berkat dari kaum awam, seperti
berkat orangtua kepada anak-anaknya, tidak menyampaikan berkat atas nama
Gereja.
Contoh
sakramentali meliputi: pemberkatan dari orang-orang, makanan, benda-benda dan
tempat, seperti pada pemberkatan para ibu sebelum dan sesudah melahirkan,
pemberkatan anak-anak, pernyataan kaul para biarawan/biarawati, pemberkatan
rumah, kantor, pemberkatan lilin, rosario, medali, crucifix, skapulir
dst. Biasanya berkat diberikan dengan memohon kepada nama Yesus
sambil membuat Tanda Salib. Tanda-tanda yang digunakan dalam sakramentali ini,
misalnya: air suci, minyak suci, dst, dengan rumusan kata-kata. Melalui
tanda-tanda ini, berkat Tuhan dimohonkan atas orang, tempat ataupun benda-
benda.
Juga
termasuk dalam sakramentali adalah eksorsisme (pengusiran setan) dari benda
atau orang-orang yang kerasukan setan. Eksorsisme dilakukan oleh uskup atau
imam yang diberi kuasa oleh uskup.
Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul (penerapan dalam tugas profesional sebagi guru PAK)
Kita
tidak bisa menganggap remeh, mengingat bahwa kompleksitas masyarakat kita
sedang menunjukkan berlangsungnya suatu perubahan cara pandang, cara berpikir
dan pandangan tentang dunia ini. Perubahan dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan
teknologi informatika, kesadaran politik dan ekonomi global, kesadaran akan
dimensi lingkungan hidup, kesadaran tentang hak-hak perempuan dan kaum
minoritas. Kehadiran komputer, handphone, dan internet telah merubah cara orang
berelasi satu dengan yang lain dan dengan macam-macam informasi, termasuk
informasi religius. Semua ini menyerap kesibukan dan perhatian orang, yang
pasti membuat semakin tipisnya perhatian terhadap sakramen-sakramen Gereja.
Menghargai
status kita sebagai warga Gereja antara lain juga berarti tidak henti-hentinya
menggali kedalaman dari hakikat sakramen-sakramen: baik yang telah kita terima
sekali seumur hidup, maupun menekuni sakramen-sakramen yang menyertai
perjalanan ziarah hidup kita sebagai sarana penyucian dan pengudusan diri.
Mengapa harus dengan sakramen-sakramen? Karena dalam ritus-ritus upacara sakramenlah
Gereja merayakan jatidirinya yang terdalam dalam pautan dengan situasi kongret
orang tertentu. Secara populer, dalam ritus-ritus sakramen itu kita paling
kelihatan kristiani. Namun, di lain sisi, menghargai kekristenan kita juga
berarti menggali akar kedalaman hidup kita dalam ziarah hidup, bahwasanya yang
penting bukannya yang tampak di permukaan saja.
Dalam
pemahaman tentang Gereja tentang diri dan misinya sekarang ini, memaknai
sakramen ada dalam perspektif untuk semakin menghargai hidup dan dunia ini,
karena semuanya telah disusupi oleh pengaruh keselamatan ilahi. Dengan kata
lain, pemaknaan sakramen meliputi ungkapan syukur atas status kita sebagai
ciptaan dan syukur atas status kita sebagai yang diselamatkan oleh Allah.
Pertemuan dua tahap besar karya Allah inilah yang terjadi dalam perayaan
sakramen-sakramen, di mana dipertemukan pengangkatan alam ciptaan ke dalam
peranan sebagai media atau alat keselamatan Allah bagi manusia. Dan pertemuan
ini terjadi sebagai pengalaman manusia yang unik, aktual, tak terulang dan
tidak pernah seragam. Dari mana akan muncul kesadaran semacam itu? Keselamatan
Allah bagi manusia yang diwujudnyatakan dalam macam-macam situasi lewat
simbol-simbol, itulah arti peristiwa sakramen.
Maka
pemaknaan sakramen adalah proses panjang interpretasi hidup, pemberian arti dan
makna kepada kehidupan ini, bukan pertama-tama tertuju pada ritus upacara
sakramen. Kita sering menginterpretasikan hidup kita tanpa sadar bila sedang berbicara
dengan rekan-rekan kita, bisa sedang menghadapi peristiwa yang penting atau
gawat, bila sedang harus mengambil keputusan, bila sedang kehilangan sesuatu
atau seseorang yang penting, bila sedang mengalami kegagalan, bila sedang
mengalami saat yang membahagiakan. Dalam ucapan dan sikap kita tercermin
bagaimana kita menafsirkan hidup ini bila bertolak dari peristiwa yang sedang
dialami.
Satu
gagasan yang barangkali bisa menolong kita untuk memaknai kehidupan sakramental
Gereja adalah dengan menempatkan diri sebagai “katekumen abadi”. Apa maksudnya?
Katekumen adalah orang yang meminta untuk masuk ke dalam persekutuan gerejani
lewat penerimaan baptis. Dalam penghayatan Gereja, ini bukan hanya status,
melainkan suatu proses hidup yang berkelanjutan, paling tidak sampai dengan
muaranya, yaitu penerimaan sakramen baptis. Akan tetapi, isi dari proses
tersebut sebetulnya berlanjut sampai seumur hidup: kita memang sudah diterima
menjadi warga Gereja, namun proses mencari Tuhan, mencari pencerahan dan
pemaknaan kehidupan, tidak pernah selesai. Di samping itu, katekumenat adalah
suatu perjalanan yang dialogal: antara calon baptis dengan jemaat yang diwakili
oleh katekis atau siapa saja yang menemani mereka. Bukankah dialog ini
sepantasnya terus berlangsung pun bilamana orang sudah berstatus sebagai warga
Gereja?
Ada
peristiwa sakramen yang mudah dikenang: Perkawinan, Tahbisan, mungkin juga
Baptisan dan Krisma. Dengan sakramen-sakramen ini kita mendapat status baru
atau tahap baru dalam status sebagai warga Gereja. Mulai dengan membuka kembali
album foto peristiwa-peristiwa tersebut. Acara ini bukan sekedar memuaskan
nostalgia, melainkan untuk menyegarkan kita kembali sekarang ini. Sekarang ini
ada praktik pembaharuan janji nikah bagi pasutri yang merayakan sepuluh tahun
pernikahan atau pesta peraknya; begitu pula para imam setiap tahun
memperbaharui janji imamatnya di hadapan Uskup pada misa pagi Kamis Putih.
Mengenang
dan mengingat dalam Kitab Suci berarti melaksanakan: pilihlah salah satu segi
dari sakramen yang dikenang itu untuk dilaksanakan secara nyata. Misalnya,
salah satu yang kita janjikan pada saat saling menerimakan sakamen Pernikahan
adalah untuk setia dalam untung dan malang. Ada banyak unsur malang dalam hidup
nyata: alangkah baiknya bila kita berhenti sejenak dan mengingat kembali rumus
pernikahan kita itu. Dalam tanya jawab baptis disebutkan macam-macam hal yang
harus ditinggalkan. Kita pilih salah satu, misalnya meninggalkan takhayul atau
klenik, dan kita coba hayati secara terpantau dalam suatu periode tertentu.
Untuk
sakramen-sakramen penyerta perjalanan hidup seperti Ekaristi dan Tobat,
sebaiknya kita jalani dengan teratur sambil mendalami unsur-unsurnya yang kaya.
Demikian pula halnya dengan Sakamen yang telah diikrarkan oleh kebanyakan dari
kita.
Sakramen
Ekaristi, sebagai contoh yang paling akrab dengan kita, adalah simbol yang amat
kaya. Di situ kita menjumpai makna “kenangan”, yaitu kenangan akan penyerahan
diri Tuhan kita dalam wafat dan kebangkitan-Nya. Yang kita kenangkan di
dalamnya bukan sembarangan peristiwa, melainkan sumber keselamaan kita sendiri.
Kita persembahkan kenangan tersebut kepada Bapa untuk memohonkan agar Dia
menuntaskan karya keselamatan yang telah dimulai itu. Kenangan sendiri dalam
tradisi Kitab Suci mengandung nuansa yang dinamis, yaitu “melakukan kehendak
Allah” seperti yang telah disinggung di atas. Di situ ada makna “kurban”
(sehingga dulu Ekaristi sering diistilahkan dengan “kurban misa”, “bojana
kurban”). Di samping itu, ada juga yang bisa digali dari simbol “santapan” dan
“penyantapan” (komuni). Simbol ini mengandung nuansa kesatuan, sehidup semati
antara yang menyantap dengan Dia yang disantap, dengan segala konsekuensi yang
bisa ditarik dari situ. Hidup ini adalah hidup untuk dibagikan dan untuk
berbagi, dari sini juga bisa ditarik banyak konsekuensi. Bagian ibadat sabda
dalam perayaan Ekaristi sendiri juga menyuguhkan sumber inspirasi yang tak
pernah kering bagi hidup sehari-hari. Membiasakan diri menengok sebentar bacaan
misa harian akan memberi isi, kedalaman dan juga kehangatan kepada kesibukan
hari itu. Kemudian, masih ada lagi suatu makna yang dalam, yakni kesatuan
hakiki dari mereka yang turut bersantap semeja dan sesantapan: apakah yang
terungkap dalam ritus Ekaristi itu sungguh mencerminkan kenyataan dalam
masyarakat atau setidaknya upaya ke arah itu? Bila masyarakat kita masih
ditandai diskriminasi dan perpecahan, oleh sekat-sekat sosial, tidakkah kita harus
berupaya membereskannya dahulu sebelum bersantap bersama dalam Ekaristi?
Sakramen
Tobat, pada gilirannya, juga merupakan sakramen yang bisa menyertai perjalanan
hidup kita secara bermakna. Tradisi Gereja sudah memperkaya Sakramen ini dengan
unsur-unsur seperti: sesal atau tobat mendalam, pengakuan atas dosa-dosa, silih
dan absolusi. Siapa dari antara kita yang tidak bergumul dengan masalah
kesalahan, dosa, kerapuhan hidup, kemenduaan hati, ketidaksetiaan, pertumbuhan
suara hati, keinginan untuk maju, keinginan untuk mati dengan damai? Ini semua
membutuhkan pengolahan yang tentu saja tidak bisa ditanggung sendirian oleh
Sakramen Tobat, namun sakramen ini bisa memainkan peranan penting di dalamnya.
Manakah yang terpenting dari sakramen ini? Sesal mendalam yang dimahkotai
dengan pemberian absolusi. Ini merupakan disposisi yang paling kondusif untuk
menerima rahmat pengampunan. Pengakuan dosa-dosa dan penitensi atau silih
merupakan ungkapan atas sikap dasar sesal. Ini jelas berbeda dari sekedar rasa
bersalah yang biasa kita alami sehari-hari maupun rasa tidak pantas untuk
menyambut komuni. Sesal adalah disposisi yang muncul bilamana orang menyadari
bahwa sedang berhadapan dengan cinta ilahi yang tanpa batas, yang terluka oleh
sikap dan perbuatannya. Absolusi adalah tanda rekonsiliasi dengan Gereja yang
pada gilirannya melambangkan rekonsiliasi dengan Allah. Menjalani sakramen
tobat mendorong orang untuk rajin memeriksa batinnya, motivasinya, kejernihan
jiwanya, kedamaian hatinya. Dengan kata lain, di situ dia bisa menjumpai cinta
ilahi yang tanpa syarat; dari sinilah terbentuknya sesal dan tobat mendalam.
Jika
saya sebagai Guru Pendidikan Agama Katolik menghayati sakramen sebagai sungguh
rahmat Allah kita perlukan untuk keselamatan kita (lih. KGK 1129), dan bahwa
Kristus sendiri bekerja melalui sakramen (lih. KGK 1127) untuk memberikan
rahmat-Nya kepada kita agar kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan
ilahi-Nya (lih. KGK 1129), maka kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya
untuk menerima sakramen- sakramen tersebut.
Persiapan
yang paling nyata adalah dengan mempersiapkan hati dan pikiran kita sebelum
menerima sakramen, dan menerima sakramen dengan disposisi/ sikap hati yang
baik. Beberapa contoh konkretnya:
1.
Sebelum menerima sakramen Pembaptisan, para katekumen diarahkan untuk bertobat
dengan meninggalkan kehidupan mereka yang lama, untuk hidup baru bersama Yesus.
Dianjurkan, sesuai dengan tradisi para Bapa Gereja, agar para katekumen
berpuasa dan berpantang selama beberapa hari menjelang Pembaptisan, diiringi
dengan doa- doa untuk mempersiapkan diri menjelang Baptisan. Doa dan puasa ini
juga dilakukan oleh para pengajar katekumen dan para sponsor katekumen.
Pemilihan nama baptis, harus didahului dengan mempelajari teladan hidup
tokoh Santa/ santo yang dipilih.
2.
Sebelum menerima Sakramen Tobat, mengadakan pemeriksaan batin yang baik,
sehingga dapat kita dapat menyebutkan dengan jelas dosa-dosa kita, dan bahkan
jika memungkinkan, berapa kali frekuensinya. Untuk pemeriksaan batin yang
baik, Dan mohonlah Roh Kudus untuk menyatakan kepada kita dosa- dosa kita
sebelum kita mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Jika kita sungguh ingin
bertumbuh di dalam iman dan kerohanian, kita selayaknya mengaku dosa secara
rutin dalam Sakramen Tobat minimal satu bulan sekali.
3.
Selanjutnya, kesadaran persiapan rohani sebelum menerima sakramen- sakramen
yang lain, merupakan bukti yang nyata akan penghayatan akan makna sakramen.
Kita selayaknya menyadari bahwa dosa telah memisahkan kita dengan Allah,
sehingga jika kita ingin mengalami rahmat pengudusan dan persatuan dengan
Allah, kita harus bertobat dan mengaku dosa- dosa kita. Maka, pemeriksaan batin
dan penerimaan Sakramen Tobat menjadi persiapan yang baik untuk penerimaan
sakramen- sakramen yang lain seperti, Ekaristi, Penguatan, Perkawinan, Tahbisan
Suci, Pengurapan Orang Sakit.
4.
Jika pemberian Sakramen Pembaptisan disertai Sakramen Penguatan dan Ekaristi
sekaligus (disebut sebagai sakramen Inisiasi) pada orang dewasa, maka sakramen
Pengakuan Dosa/ Tobat umumnya juga diberikan, dan dengan demikian, berlaku
point 2.
5.
Khusus sebelum menerima Sakramen Ekaristi, kita harus mempersiapkan hati. Jika
kita melakukan dosa berat, kita harus mengaku dosa dalam Sakramen Tobat.
Selanjutnya tentang persiapan hati menjelang dan sepanjang perayaan Ekaristi,
6.
Tentang sakramen yang menentukan panggilan hidup secara khusus dalam hidup,
seperti Perkawinan (untuk yang terpanggil untuk membina hidup berkeluarga) atau
Tahbisan Suci (untuk yang terpanggil untuk hidup selibat bagi Kerajaan Allah
sebagai imam), maka persiapan yang dilakukan harus melibatkan
proses discernment yang jujur dan bijak, dengan fokus utama untuk
melakukan kehendak Tuhan di dalam hidup. Persiapan ini justru didasari oleh
penghayatan kita akan makna sakramen yang akan diterima. Tidak ada salahnya
bagi para mudika untuk mengikuti retret terlebih dahulu sebelum memutuskan
jalan yang akan ditempuh. Silakan juga membaca tanya jawab di sini, tentang hal
ini, Kekudusan (chastity)
adalah bukti yang nyata akan penghayatan sakramen (baik terhadap sakramen
Perkawinan maupun Tahbisan Suci), dan inilah yang selayaknya diterapkan dalam
kehidupan kaum muda, entah nantinya ia dipanggil untuk hidup menikah atau
selibat bagi Kerajaan Allah. Tentang “chastity” ini menjadi topik pengajaran
2010 di link ini,
7.
Akhirnya, sikap yang menandai penghayatan akan sakramen adalah sikap hati yang
selalu mensyukuri rahmat sakramen yang kita terima, dan siap sedialah untuk
membagikan rahmat Allah itu melalui kesaksian hidup kita. Bagi yang membentuk
keluarga, hiduplah dalam kekudusan keluarga, dan bagi yang menjadi imam, hidup
sebagai imam yang kudus. Pasangan suami istri hidup dalam kasih kesetiaan,
yang selalu terbuka pada kelahiran anak-anak; para orang tua menjadi pendidik
utama bagi anak-anaknya terutama dalam hal iman, dan para imam menjadi teladan
kekudusan bagi umat. Di dalam kehidupan kita masing- masing, menikah atau tidak
menikah, kita menjalani kehidupan sakramental, karena dalam perkawinan, suami
dan istri menerapkan kehidupan kasih sakramental sebagaimana Kristus dengan
Gereja-Nya (lih. Ef 5: 22-33, Demikian pula kehidupan antara imam dan umat,
yang dengan cara yang khusus dan mendalam memberikan penggambaran tersebut
secara rohani, sebab demikianlah yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus sendiri.
Sakramen
adalah kelengkapan yang membantu kita untuk berkontak secara nyata dengan
keselamatan Tuhan sendiri dalam perjalanan hidup kita. Dengan berpartisipasi
yang lebih terbuka bagi umat dalam perayaan sakramen, dari satu sisi kita bisa
membuat upacaranya lebih hidup; dari lain pihak, dan ini tugas yang lebih
berat, hidup kita perlu semakin kita format berdasarkan sabda dan tindakan
Allah yang kita alami dalam peristiwa sakramen. Dengan harapan inilah
peziarahan kita sebagai Gereja akan semakin dalam dan berakar pada rencana
Allah sendiri.