Kisah Mama Dinna dan Mama Yunilma Jalan Kaki 2 Jam untuk Ambil Air Bersih di Kuanfatu Timor Tengah Selatan NTT

Kisah Mama Dinna dan Mama Yunilma Jalan Kaki 2 Jam untuk Ambil Air Bersih di Kuanfatu Timor Tengah Selatan NTT

Mata air di Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT yang sudah diubah untuk dialiri menggunakan jaringan pipa ke tiap-tiap rumah warga dan keran umum. TEMPO/Ade Ridwan Yandwiputra


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Saban hari, seorang ibu rumah tangga, Dinna, harus berjalan kaki sekitar satu jam naik-turun bukit untuk mengambil air bersih di sumber mata air di dalam hutan di sekitar kampungnya, Desa Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia berangkat sekitar pukul 07.00 membawa empat jerigen lima liter bersama kayu untuk memikul.

Total perjalanan pulang pergi hanya untuk mengambil 20 liter air bersih itu Dinna habiskan sekitar empat jam. Tiap pukul 10.00, Dinna baru tiba di rumahnya sembari memikul 20 liter air bersih untuk memasak dan keperluan lainnya. “Kami mengambil air menggunakan empat jerigen 5 liter dengan cara dipikul dengan pemikul kayu," kata Dinna, 4 Oktober lalu.

Aktivitas mengambil air tidak dilakukan Dinna sekali dalam sehari, melainkan dua kali. Pukul 16.00 WITA, Dinna dan beberapa warga lain kembali menuju mata air untuk mengisi bak dan tangki air minum di rumahnya.

Kondisi itu tak jarang membuat warga lelah sehingga banyak yang mengeluh. Bahkan jika memasuki musim penghujan, warga lebih memilih air hujan untuk memenuhi kebutuhan air di rumah, meski kadang kualitasnya tidak sebagus dari mata air. "Daripada kami membeli air dengan harga yang sangat mahal,Rp 150 ribu per 40 jerigen atau 20 liter," kata Dinna.

Air memang ibarat harta karun di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Apalagi belakangan, kekeringan sedang melanda akibat dari cuaca ekstrem yang disebabkan fenomena El-Nino.

NTT memang terkenal sebagai daerah dengan curah hujan yang sedikit. Jika rata-rata curah hujan Indonesa 2.000 hingga 2.500 milimeter per tahun, di wilayah NTT khususnya Kabupaten TTS hanya 1.000 hingga 2.000 milimeter per tahun.

Masyarakat sekitar biasa memanfaatkan air hujan untuk mendapatkan air. Kontur tanah yang mayoritas adalah bebatuan karang menjadi alasan sulitnya mendapat sumber mata air di sana. Hanya daerah tertentu yang ada mata air di bawahnya dan itu pun hanya ada di dalam hutan.

Dalam kondisi kekeringan seperti ini, biasanya warga mendatangi langsung mata air. Seperti di Kecamatan Kuanfatu. Kebutuhan dasar kehidupan itu sangat sulit ditemukan disana. Kalau pun ada, perlu perjuangan untuk mendapatkannya seperti yang dilakukan Mama Dinna.

Camat Kuanfatu, Erens Benu mengatakan pernah ada warganya yang mengebor sumur sendiri. “Hingga 100 meter lebih tak ada air yang keluar, hanya batu," kata Erens Benu ditemui Tempo, Selasa 3 Oktober 2023.

Senada dengan Dinna, ibu rumah tangga lainnya Yunilma, 33 tahun, juga menceritakan hal serupa. Setiap subuh, Yunilma harus bangun lebih dulu untuk menuju mata air yang jaraknya hampir satu kilometer dari rumahnya. "Setiap subuh saya bawa dua jerigen lima liter menuju mata air," kata Yunilma.

Yunilma menuju mata air dengan berjalan kaki melewati jalan hutan berbukit. "Waktu yang ditempuh setengah jam pergi. Pulang bisa lebih dari 30 menit," kata Yunilma.

Yunilma biasa mendatangi mata air sehari dua kali. It upun jika dirinya semangat. Kalau sedang malas menuju mata air, ia dan keluarganya terpaksa hanya menggunakan stok air yang tersisa di rumahnya untuk minum tanpa mencuci dan mandi selama seharian penuh.

Belum lagi persoalan lain yang harus dihadapinya yakni bergantian dengan warga yang membutuhkan air bersih dari mata air itu. "Di saat musim kemarau harus antre, sehingga bisa kemalaman di tempat mata air," katanya.

Yunilma sebetulnya bisa saja membeli air bersih dari perusahaan air minum yang menyediakan mobil-mobil tangki khusus yang didistribusikan kepada masyarakat. Namun jika dilakukan setiap hari, maka penghasilan keluarga Yunilma hanya dihabiskan untuk membeli air. "Jika kemarau, harga 4 jerigen Rp 10 ribu, biasanya dipakai untuk dua hari," katanya.

Tempo bersama tim dari Wahana Visi Indonesia (WVI) berkesempatan mendatangi mata air di Desa Kuanfatu pada Selasa, 3 Oktober 2023. Sekitar pukul 10.44 WITA, tim bergerak dari rumah kepala desa Kuanfatu menggunakan enam unit mobil double cabin. Suhu saat itu kurang lebih 27 derajat celcius, sesuai pengukur cuaca di handphone.

Perjalanan dimulai dengan jalan bebatuan dan menanjak yang sepertinya hanya bisa dilalui mobil kabin tinggi atau high deck dengan penggerak 4x4. Bagi yang belum terbiasa melalui jalan itu, sedikit merasakan mual. Sisi kanan jalan berhias tebing berbatu karang, sementara sisi kirinya jurang.

Tempo dan tim WVI tiba di sumber mata air sekitar pukul 11.27 WITA, artinya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam menggunakan mobil. Sementara warga setempat mayoritas mengakses sumber mata air itu dengan berjalan kaki sambil membawa jerigen air. Namun kami tidak berhasil menemui kondisi itu, karena mata air sudah diubah layaknya pengelolaan perusahaan air minum.

Mata air di sana sudah diubah melalui program dari WVI berkolaborasi dengan perusahaan pompa asal Denmark, PT Grundfos. Mata air kini sepi dari aktivitas warga karena sudah ada jaringan pipa yang mengaliri tiap-tiap rumah. Namun, belum banyak mata air yang diubah, misalnya di Desa Pene Utara, Kecamatan Oenino. Warga sekitar masih mengakses air dengan cara mendatangi langsung sumbernya.

Para warga biasa mencuci hingga mandi di mata air sebelum membawa beberapa jerigen penuh untuk kebutuhan air minum di rumah. Namun, saat berkunjung kesana Tempo tidak berhasil menemukan aktifitas warga yang sedang menggunakan mata air itu.

 

Tim WVI dan Grundfos Indonesia saat melihat mata air di Desa Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, yang sudah dilengkapi pompa untuk memenuhi kebutuhan warga, Selasa, 3 Oktober 2023. TEMPO/Ade Ridwan Yandwiputra

Pemerintah Kesulitan Penuhi Kebutuhan Air Masyarakat

Camat Kuanfatu, Erens Benu, mengaku kesulitan warga mencari air bukan hanya karena tidak adanya sumur mata air pribadi di tiap-tiap rumah, melainkan juga karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tidak mampu mengaliri 13 desa di Kecamatan Kuanfatu. "PDAM susah, tidak ada di sini," kata Erens.

Erens menyebutkan kontur tanah yang berbukit menyebabkan pipa PDAM tidak mampu menjangkau wilayah tersebut. Padahal, kata Erens, air menjadi sumber kehidupan. Dengan terbatasnya air itu, disebut-sebut menjadi musabab tingginya angka stunting di wilayah tersebut. "Stunting di sini tinggi sekali, kalau tidak salah terbaru mencapai 592 jiwa," kata Erens.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten TTS, Johanis Benu mengakui keterbatasan air bersih di wilayahnya menjadi tantangan bagi pemerintah setempat. "Memang tantangan tersendiri, sampai dengan sekarang ini kan rasio untuk cakupan air bersih kami masih sangat rendah," kata Johanis.

Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten TTS tahun 2022, presentase irigasi kabupaten dalam kondisi baik sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih hanya 50,47 persen dari total irigasi sebanyak 70 unit dengan total luas areal 6.012 hektare. Begitupun dengan jumlah penduduk yang bisa mengakses sumber air minum layak di Kabupaten TTS berdasarkan data Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP), hanya berjumlah 278.860 jiwa dari total penduduk sebanyak 469.904 jiwa atau hanya 59,59 persen.

Johanis mengatakan, kondisi geografis dan minimnya pagu anggaran Kabupaten TTS menjadi musabab tidak mampunya negara memberikan pelayanan air bersih yang optimal kepada masyarakat warga TTS. "Anggaran kami terbatas, dari Rp 1,5 triliun, sekitar Rp 700 miliar itu untuk belanja pegawai dan operasi sisanya untuk kegiatan-kegiatan," kata Johanis.

Berdasarkan data dari Wahana Visi Indonesia (WVI) yang mendampingi sembilan desa di Kabupaten TTS diantaranya Desa Basmuti, Bone, Kelle, Kelle Tunan, Kuanfatu, Neke, Nobi-Nobi, Pene Utara, dan Sopo, jaringan pipa PDAM yang mengaliri desa-desa itu baru ada sebanyak 105 unit, sementara ada 959 titik mata air dan 184 jaringan irigasi yang tersebar di sembilan desa tersebut.

Dari kesembilan desa itu pun, ada terdapat desa yang sangat kering yakni Desa Kelle Tunan, Kecamatan Kuanfatu. Karena hanya tersedia empat titik mata air tanpa ada jaringan pipa PDAM maupun aliran irigasi sama sekali. *** nasional.tempo.co



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama