Sudah terlalu sering jika Natal dihubungkan dengan
kelahiran Juru Selamat. Namun dari semua itu, apa artinya? Dalam perkembangan
tatanan peradaban kita, sudah amat biasa jika Natal dihubungkan dalam konteks
teologi dogmatik seperti halnya yang sering didengar oleh umat Kristiani
melalui khotbah pendeta atau pastor di misa setiap malam Natal. Namun, apa
signifikansinya jika hingga saat ini Natal dimaknai hanya dalam konteks
tersebut?
Nyatanya, ilmu pengetahuan dan haluan pemikiran
telah berkembang dan memungkinkan manusia bisa melihat perspektif yang memiliki
diferensiasi, namun tidak menghilangkan esensi, termasuk juga tentang memaknai
natal dalam konteks teologi politik menjelang pemilu atau Natal sebagai
inspirasi sikap politik rakyat.
Dari sudut pemaknaan yang berbeda, makna Natal
mestinya bisa menjadi saat yang tepat bagi umat Kristiani untuk membongkar
kembali realitas atau masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Misalnya
bertanya, bagaimana makna Natal dapat menjadi spirit iman untuk memberi atensi
pada masalah masyarakat yang tengah terjadi?
Atau, pada akhir tahun 2023 ini, momentum kenegaraan
dan kebijakan pemerintah apa yang akan muncul? Atau, pada maksud yang lebih
kontekstual, akhir-akhir ini cuaca politik elit dan lapisan bawah masyarakat
sedang ramai menyambut Pemilu 2024, lantas bagaimana memaknai pesan Natal dalam
melihat situasi politik atau pemilu kita?
Saya amat percaya, keyakinan dan iman perlu
dikontekstualisasikan pada situasi sosial kemasyarakatan dengan maksud bahwa
iman menuntun pikiran, perkataan, dan perbuatan masyarakat untuk memberi
respons pada masalah kelompok marginal atau yang terpinggirkan, termasuk
memberi respons pada ancaman demokrasi kita yang saat ini dijalankan oleh sekelompok
penguasa yang merawat nepotisme, korupsi, dan menumbuhkan oligarki dengan amat
jitu.
Semangat ini mengingatkan saya pada spirit Gustavo
Gutierrez tentang Teologi Pembebasan yang ia hidupi dalam panggilan
kerasulannya sebagai Imam Dominikan. Untuk membongkar dan memantik pesan baru
tentang Natal di saat ini, khususnya pesan Natal tentang spirit yang perlu
dibangun umat Kristiani menjelang pemilu, setidaknya ada beberapa hal yang
perlu menjadi tawaran berpikir kita.
Pertama, membantah standarisasi nilai di masyarakat tentang
"kandang" tempat Yesus dilahirkan oleh ibunya, Maria. Saya pikir,
kita semua sungguh mengerti situasinya bahwa sejak dahulu kandang memang
seperti itu bentuknya, kotor, bau dan berdebu. Amat berbeda jika dibandingkan
dengan kandang pada zaman modern saat ini, atau kontemporer. Kandang tempat
kita merayakan kelahiran Yesus dibuat dengan bentuk gedung (gereja) yang megah
dan indah, ekspresi ini harus diakui sebagai sebuah penghayatan iman melalui
upaya membangun (gedung, kapel, dan lain-lain), namun bukan itu soalnya.
Masalahnya, kita (umat Kristiani dan semua orang
yang menghayati Natal) sering menyematkan kandang dengan dimensi kehinaan,
kesengsaraan, tempat para kaum marginal yang membuat kita berfikir seolah-olah
Yesus memang ditakdirkan untuk lahir di kandang sebagai tempat hina dalam
pandangan kita. Sejak saya mengenal dan membaca Kitab Suci sungguh tidak saya
temukan anggapan di dalamnya bahwa lahir di kandang bagi Yesus merupakan
penggambaran pada situasi kehinaan atau kesengsaraan. Lalu, mengapa kita
menilai kandang sebagai simbol kesengsaraan?
Kedua, akibat dari sebab pertama di atas, situasi dan
cara pandang kita tentang kepemimpinan menjelang pemilu menjadi turut berubah.
Kita lupa, demokrasi adalah upaya meramu tatanan kehidupan yang adil bagi
seluruhnya dan memungkinkan siapapun untuk berkesempatan hidup dengan rasa
aman, adil termasuk kesempatan memimpin tanpa dibatasi oleh status sosial, ras
dan kedudukan lainnya. Akibatnya, kita melupakan satu hal lagi bahwa Yesus yang
merupakan anak dari orangtua yang amat sederhana adalah seorang yang kemudian
diangkat sebagai raja dan merupakan pemimpin yang tulen dalam membawa
perubahan; memiliki pengikut (rakyat yang dipimpinnya dengan ajaran
keselamatan).
Natal tidak hanya mengajarkan kita bahwa 2000 tahun
lalu seorang anak manusia yang telah diramalkan akan lahir di kandang ternak
dan kemudian mati di kayu salib untuk menebus dosa. Selain itu, Natal menjadi
pengingat bagi kita bahwa kepemimpinan yang dipilih dalam pemilu kita
memungkinkan pilihan kita diberikan kepada calon pemimpin yang bukan lahir
(sebagai calon) karena privilese, kepemilikan kuasa, kepemilikan modal dan
akibat adanya relasi keluarga (dinasti). Yesus ingin menunjukkan bahwa orang
biasa juga bisa memiliki kesempatan untuk memimpin.
Ketiga, pemilu sebagai risiko. Pemilu bagaikan dua mata
koin yang berbeda dengan kemungkinan yang hampir sama untuk muncul. Pemilu
memungkinkan terpilihnya pemimpin yang baik, cukup baik, cukup buruk dan amat
buruk. Pilihan pemilih menentukan risiko yang akan muncul, tentang nasib bangsa
dan seluruh tatanan di dalamnya. Makna Natal dalam konteks ini mengajarkan kita
tentang keselamatan bangsa menjelang pemilu sebagai risiko kita menentukan
pilihan politik di bilik suara.
Jika kita melihat kisah kelahiran Yesus, tentu tidak
bisa dilepaskan dari Yosef yang berani mengambil risiko dan menerima
konsekuensi (penghakiman sosial) karena menerima Maria sebagai istrinya yang
mengandung entah karena siapa. Risiko ini dipilih Yosef tanpa ragu, dan ketika
kita membongkar sisi lain dari keputusan ini, amat erat kaitannya menilai Yosef
sebagai seorang yang amat memaknai iman sebagai dasar mengambil keputusan.
Keyakinan tentang Maria yang mengandung dari Roh Kudus membuat keputusan
terjadi.
Peristiwa ini mengajarkan kita tentang kritisisme
dan penghayatan yang utuh dalam menentukan keputusan memilih pemimpin. Atau,
dengan kata lain Yosef tidak terjebak pada kenyataan bahwa Maria telah
mengandung dan dia bukan ayah dari bayi yang dikandung, Yosef melihat dengan
sisi lain bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus. Artinya, pesan ini nampaknya
mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada gimmick dan trend dari politisi yang
menghalau kritisisme kita dalam menentukan pilihan dan melihat fenomena.
Pada akhirnya, secara keseluruhan, tulisan ini ingin
mengangkat alternatif baru tentang cara kita memaknai Natal sebagai upaya
menciptakan kebaikan bersama masyarakat melalui pemilu dengan harapan bahwa di
tengah kebingungan rakyat dalam memberi sikap secara politik menjelang pemilu,
Natal dimaknai kontekstual dan menjadi inspirasi sikap politik kita.
Walaupun tidak hanya terbatas pada pemilu, namun
yang lebih penting dan progresif, sebenarnya Natal sungguh tidak terbatas,
Natal memungkinkan kita membuat perubahan, memulai gerakan sosial bersama atau
solidaritas dan membawa semangat membongkar hegemoni kekuasaan yang membius
masyarakat kita dengan segala atribut kekuasaan yang dimilikinya. Natal menjadi
momentum lahirnya kepemimpinan populis, yang lahir dari rahim kesederhanaan,
kemiskinan dan berdiri serta tumbuh subur untuk memperjuangkan status sosial
dan mengupayakan kesederajatan kelas.
Natal memungkinkan orang yang bukan siapa-siapa
menjadi pemimpin, menjadi apa saja yang sungguh layak dalam negara yang
demokrasi ini. Natal juga mengajarkan kita tentang pentingnya memilih dengan
keputusan yang tepat, dengan keadaan sadar bahwa keputusan menghasilkan risiko,
dan masyarakat perlu berani menjadi rakyat pemberani, siap mengambil risiko.
Terakhir, Natal mengajarkan kita untuk membongkar
paradigma lama, tatanan nilai lama yang amat tidak relevan pada konteks kita.
Artinya, untuk membongkar itu, Natal menuntut kita untuk mengenal
pikiran-pikiran baru, membaca literatur yang progresif dan perjuangan pada
pengabdian yang selalu baru.