Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita uraikan
beberapa hal. Apasih pamali itu? Apakah pamali memang benar adanya? Apakah
pamali harus ditaati? Mengapa manusia meyakini pamali hingga turun temurun?
Pamali merupakan larangan yang merujuk pada
pantangan yang bersifat tabu atau dianggap tidak baik. Konsep pamali erat
dengan adat istiadat, norma-norma sosial atau kepercayaan yang ada pada suatu
kelompok tertentu. Sehingga dengan kata lain, pamali adalah pantangan dalam
suatu hal yang diaykini akan membawa dampak buruk. Tentu setiap daerah bisa
memiliki pamali yang berbeda-beda.
Pamali bersifat relatif, tergantung pada budaya dan
daerah masing-masing. Apa yang dianggap pamali di suatu tempat mungkin tidak berlaku
di tempat lain. Pamali sering kali menjadi usaha untuk menjaga keseimbangan
sosial serta menghormati tradisi yang dianggap penting dalam suatu masyarakat
tertentu.
“Awas, jangan duduk di depan pintu nanti susah dapet jodoh” mungkin beberapa dari kita sering mendengar celetukan seperti itu. Hal tersebut merupakan salah satu contoh pamali yang ada di Indonesia. Masih banyak lagi pamali-pamali yang beredar luas di masyarakat sekitar. Namun hal tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya. Belum tentu saat kita melanggar pamali maka akan langsung mendapatkan akibat buruknya, pamali terjadi secara tidak menentu.
Dalam karya terkenalnya, "Being and Nothingness", Jean-Paul Sartre mengemukakan gagasannya bahwa manusia adalah "beings-for-itself" (entitas untuk dirinya sendiri). Sartre menyatakan bahwa manusia memiliki keberadaan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sifat atau esensi apa pun. Sebagai "beings-for-itself," manusia memiliki kebebasan yang unik dan tanggung jawab untuk menciptakan makna dalam hidup mereka sendiri.
Seorang individu memiliki hak bebas untuk memilih antara menyakini atau tidak meyakini sebuah pamali tersebut. Dalam hal ini individu juga dianggap melakukan kecurangan karena menyanggah tanggung jawab dalam membuat keputusan. Saat salah dalam memilih keputusan, maka pamali bisa menjadi kambing hitam dalam pembenaran perilaku tersebut.
Sugesti, pamali dapat dikatakan menjadi sebuah
sugesti. Saat melakukan suatu hal, yang awalnya tidak terpikirkan terkait
pamali, namun tiba-tiba terjadi suatu hal yang tidak diinginkan atau berujung
tidak baik. Pamali bisa langsung diakitkan ke dalam permasalahan tersebut karena
pengaruh dari kebiasaan di dalam masyarakat, walaupun belum tentu hal tersebut
berhubungan dengan pamali itu sendiri. Seakan-akan pamali akan dijadikan sebuah
acuan untuk disslahkan karena suatu hal, dan bukannya menyadari kesalahan yang
sebenarnya terjadi.
Pamali juga dapat menjadi bagian struktur dalam
masyarakat yang membentuk cara individu atau kelompok dalam mengidentifikasi
diri mereka dalam lingkungan sekitar. Identitas dalam kebudayaan dapat diambil
dari pamali, karena pada beberapa daerah pamali yang dimiliki akan berbeda
dengan pamali daerah lainnya. Demikian hal tersebut dapat dijadikan sebuah
sensor pembeda.
Perilaku dalam pamali kemungkinan memiliki makna
tertentu, strukturalisme menekankan bahwa makna dihasilkan oleh posisi suatu elemen.
Dalam hal ini, pamali dianggap sebagai salah satu elemen tersebut. Adanya
pamali kemungkinan karena memiliki maksud lain yang ingin disampaikan.
Contohnya pamali terkait, jangan duduk di tengah pintu nanti akan sulit
mendapatkan jodoh, dikatakan demikian karena tidak menginginkan adanya orang
yang duduk di tengah pintu dan nantinya menghalangi orang yang akan keluar
masuk juga menganggu lalu lalang orang-orang tersebut. Sebenarnya maksud yang
ingin disampaikan adalah baik adanya, namun hal tersebut disampaikan dengan
cara yang berbeda.
Meskipun strukturalisme memberikan pandangan yang
kuat terkait bagaimana memahami larangan yang dipercaya oleh masyarakat, tetap
ada pandangan yang bertolak belakang dengan paham strukturalisme terkait
pamali.
Edmund Husserl, seorang filsuf fenomenologis yang
menyatakan konsep terkait reduksi transendental, konsep yang berarti memahami
pengalaman langsung tanpa mengambil asumsi apapun, memahami suatu pengalaman
dengan apa adanya tanpa membiarkan pengetahuan atau keyakinan sebelumnya
memengaruhi cara kita memandang. Dalam konsep ini, diajak untuk mengurangi
pengaruh luar yang dapat mengubah pemahaman kita terhadap suatu pengalaman yang
terjadi. Saat memercayai pamali maka kita tidak akan melihat hal dengan apa adanya
dan akan memercayai pamali sebagai penyebab utama dari suatu kejadian atau
pengalaman.
Demikian, pamali merupakan hal relatif. Individu
berhak memercayai ataupun tidak memercayai pamali. Pamali terjadi karena adanya
kebudayaan yang terbentuk sejak dahulu dan terus diturunkan kepada keluarga
yang lainnya. Beberapa orang memercayai pamali untuk mengalihkan tanggung jawab
dalam membuat keputusan yang benar, ada beberapa orang yang juga menganggap
pamali hanyalah sebagai karangan fiksi belaka yang belum dapat dipastikan
kebenarannya.
Konsep pamali memang merupakan fenomena yang belum
pasti akan kebenarannya, entah saat pamali dilanggar dan menimbulkan akibat
yang sesuai, bisa saja merupakan kebetulan belaka atau ternyata memang benar
pamali tersebut benar adanya. Hal tersebut kembali lagi kepada individu
masing-masing yang ingin memercayai atau tidak.