Dengan langkah mantap,
dia memutuskan untuk berkeliling menyusuri Jalan Sabang Jakarta, mencari sajian
makanan yang dapat memuaskan rasa laparnya. Di tengah perjalanan, mata Joni
tertarik pada aroma kopi yang menguar di udara. Tanpa pikir panjang, ia
memutuskan untuk mampir dan menikmati secangkir kopi, yang kemudian
disandingkan dengan bakwan gurih sebagai pengganjal perut.
Setelah menikmati
santapannya, Joni merasa belum puas dan memutuskan untuk membawa pulang nasi
bungkus berisi telor ceplok sebagai bekal. Dengan penuh kesabaran, dia menunggu
hingga pesanannya siap.
Begitu makanannya
tersaji dalam bungkusan, Joni pun melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan
hati gembira dan perut agak kenyang. Namun, dalam perjalanan pulang, Joni tak
bisa mengabaikan pemandangan seorang ibu yang terlihat kelelahan, mungkin baru
saja menyelesaikan pekerjaan berat.
Merasa iba, Joni
spontan memberikan bungkusan nasi telor ceplok yang baru saja dibelinya. Reaksi
kaget dan ucapan terima kasih dari ibu itu menghangatkan hati Joni. Meskipun
hanya sebungkus nasi, senyuman bahagia yang terpancar dari wajah ibu itu
membuat Joni merasa puas dan bahagia.
Bagi Joni, kegembiraan
tidak hanya datang dari perut kenyang, tetapi juga dari kebahagiaan orang lain
yang berhasil dia bagi. Makan dua bakwan mungkin sudah cukup, tetapi momen
berbagi nasi dengan ibu tersebut menjadi “kelezatan” tersendiri bagi Joni.
Keajaiban memberi
membawa suka cita mendalam, sebagaimana Anne Frank (1929-1945) mengungkapkan,
bahwa kekayaan seseorang tidak akan tergerus oleh tindakan memberi. Memberi
bukanlah tindakan menguras isi kantong, melainkan sebuah investasi emosional
dan spiritual yang akan memberikan hasil nyata.
Konsep sederhana ini
mengajarkan bahwa dengan memberi, seolah-olah membuat kantong orang menjadi
kosong, tetapi kenyataannya, kekosongan tersebut segera terisi oleh pengalaman
dan kebahagiaan memberi.
Seperti aliran air yang
mengalir menuju muara, kantong yang kosong akan diisi oleh sumber-sumber
kebaikan yang datang tanpa orang duga. Seakan ada suatu hukum alam yang
berlaku, bahwa memberi akan memicu aliran berkah yang pada akhirnya akan
kembali mengisi kantong.
Analogi bendungan yang
memenuhi tugasnya untuk mengairi sawah-sawah petani, menggambarkan bahwa
keberkahan akan terus mengalir sesuai dengan proporsi dan kebutuhan.
Pesan bijak dari abad
pertama yang menyatakan, "Berbahagialah orang yang memberi, karena mereka
akan memperoleh kemurahan," menjadi semakin jelas dalam konteks ini.
Sukacita bukanlah sekadar tentang materi atau makanan, melainkan bagaimana
orang merespons dan merayakan kegembiraan bersama orang lain.
Kebahagiaan yang muncul
dari tindakan memberi tidak hanya mengubah keadaan materi, tetapi juga
menciptakan suatu realitas di mana interaksi tulus menciptakan kegembiraan
mendalam.
Dalam konteks ini,
ikhlas dalam memberi menjadi kunci utama. Semakin manusia mengikhlaskan dirinya
saat memberi, semakin besar pula kebahagiaan yang akan dirasakannya. Kebebasan
dari ekspektasi pribadi dan kemurahan hati secara tulus menciptakan suka cita
yang tak tergantikan.
Bahkan dalam aktivitas
sosial, para aktivis yang menjalankan tugas dengan gembira akan menciptakan
atmosfer sukacita, sekalipun dalam skala yang mungkin terlihat kecil. Jadi,
kegembiraan sesungguhnya bukanlah tentang menghindari realitas, melainkan
tentang menciptakan realitas yang penuh dengan kebaikan dan kebahagiaan.
Pengalaman hidup
bersama beberapa keluarga sangat sederhana di salah satu tempat di Manila
beberapa tahun silam membuka mata saya akan kekuatan kebahagiaan dalam
keterbatasan. Meskipun kami hidup dalam keterbatasan ekonomi, saya menemukan
kebahagiaan melalui kunjungan dan interaksi dengan keluarga-keluarga yang
ditemui.
Saat berkumpul dengan
mereka, kami tidak hanya sekadar berbagi makanan dan cerita, tetapi juga
menggali kebahagiaan sederhana dalam pertukaran pengalaman.
Saya diizinkan untuk
menjadi bagian dari kehidupan mereka, berbagi cerita, dan mendengar pengalaman
hidup yang mungkin sangat berbeda. Meskipun mereka memiliki keterbatasan dalam
menyediakan makanan, tetapi kebaikan hati mereka mengajarkan saya bahwa
kebahagiaan bukanlah semata-mata tentang keberlimpahan materi. Kebahagiaan
sejati muncul dari kesederhanaan dan rasa syukur atas apa yang kita miliki.
Dalam momen-momen
tersebut, saya menyadari bahwa tindakan memberi dalam keterbatasan hidup mereka
bukanlah beban atau kehilangan, melainkan justru sebuah anugerah.
Mereka tidak hanya
membagi apa yang mereka punya, tetapi juga berbagi kebahagiaan. Memberi
bukanlah menyusutkan sumber kebahagiaan, melainkan mengembangkannya. Mereka
tidak hanya menerima keberlimpahan dalam bentuk fisik, tetapi juga menerima
kekayaan emosional dan spiritual melalui tindakan memberi.
Dengan demikian,
pengalaman saya tinggal bersama keluarga mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan
sejati dapat ditemukan bahkan dalam keterbatasan, dan memberi merupakan salah
satu kunci utama untuk merasakan kebahagiaan tersebut.
Melalui tindakan
memberi, mereka yang hidup dalam keterbatasan dapat merasakan sukacita yang
mungkin tidak dapat diukur dengan materi atau kekayaan dunia. Sebagai hasilnya,
hubungan terjalin dan kebahagiaan yang dirasakan bersama-sama menjadi pelajaran
berharga tentang makna sejati kehidupan.
Sebagai kesimpulan
akhir, kebahagiaan dalam sukacita sejati tidak hanya berkaitan dengan kepuasan
diri sendiri, melainkan dapat ditemukan dalam hubungan tulus dengan orang lain
dan melalui tindakan memberi tanpa pamrih.
Kisah Joni dalam
sebungkus nasi dan pengalaman di salah satu tempat di kota Betun Kabupaten Malaka Provinsi Nusa tenggara Timur menjadi pengingat
bahwa kebahagiaan sejati seringkali muncul dari kesederhanaan dan rasa
kebersamaan, serta bahwa memberi adalah kunci utama untuk merasakan kebahagiaan
yang mendalam.