Setidaknya, agar tidak
terlalu teknikal tapi bukan berarti menjadi simplistis. Hal pertama, adalah
soal rasa. Rasa merupakan tanggapan indra pengecap, yakni lidah. Lidah memiliki
reseptor yang hanya mampu mencecap rasa-rasa yang mendasar (basic taste) seperti manis, asin, asam,
pahit dan gurih (umami).
Kedua, soal aroma.
Aroma adalah tanggapan dari indra pencium, yakni hidung. Hidung mampu
mendeteksi lebih dari 10.000 aroma atau aromatik murni (pure aromatics taste) seperti aroma buah-buahan, sayuran, rempah-rempah,
bebungaan, kacang-kacangan, alkohol/fermentasi, kimiawi, dan seterusnya.
Jadi, sebagian besar
yang dianggap rasa sebenarnya adalah aroma yang dibaui. Rasa serupa lemon yang
didapat dari kopi, misalnya, pada dasarnya adalah aroma kopi. Maka wajar bila
dikatakan bahwa kopi adalah produk aromatik yang lebih mengandalkan hidung
untuk mendeteksi cita rasa.
Lalu apa itu cita rasa?
Ini hal yang ketiga. Membahas cita rasa kadangkala menyulitkan. Lantaran cita
rasa merupakan fenomena multisensoris yang dipengaruhi berbagai faktor. Tapi
yang patut digarisbawahi adalah bahwa cita rasa merupakan sensasi yang kompleks
yang dihasilkan dari interaksi antara rasa dari lidah, aroma dari hidung,
tekstur dan kesan di mulut (mouthfell).
Sensasi ini lantas
diteruskan ke otak dan diinterpretasi. Otak kemudian akan memberikan respons
sehingga seseorang mempersepsikan dan menyadari cita rasa seturut referensi
atau pengalaman rasa masing-masing. Pada titik ini, cita rasa yang bersifat
abstrak ini menjadi persoalan yang amat subjektif. Oleh saintis rasa dan
sensori (flavor and sensory scientist),
seperti Wenny Bekti Sunarharum (2019), proses interaksi dan interpretasi ini
lazim disebut sebagai persepsi cita rasa.
Selain rasa dan aroma,
parameter lain cita rasa seperti rasa sakit dan panas, tekstur, mouthfeel (kesan
di mulut), warna, penampilan dan suara, misalnya suara renyah (crispy dan crunchy) juga berpengaruh
dalam persepsi cita rasa. Menyadari bahwa manusia juga makhluk visual, maka
penampilan maupun warna menjadi sangat penting untuk kopi, khususnya. Misalnya,
biji kopi yang disangrai gelap akan memberi persepsi cita rasa pahit. Atau biji
kopi yang cenderung cacat fisiknya atau cacat bentuk (pecah, berlubang, hitam
sebagian) dapat dipersepsi sebagai cacat cita rasa.
Cita rasa pun terkait
dengan intensitas. Karena terkait, maka cita rasa bersifat temporer.
Berdasarkan waktu sangrai kopi (kesegaran kopi), misalnya, kopi yang diseduh
tak jauh dari tanggal kopi disangrai tentu memiliki intensitas cita rasa yang
kuat, ketimbang kopi apek hasil sangraian lama.
Atau berdasarkan waktu
pasca seduh, kopi yang masih panas, hangat, dan dingin memiliki cita rasa sama
tapi berbeda dalam hal intensitas. Intensitas akan berbeda dan berubah dari
awal konsumsi hingga fase akhir. Aroma awal kopi saat diminum pada suhu panas
dan tegukan pertama akan memiliki intensitas yang sangat kuat, lalu semakin
melemah atau menimbulkan sensasi lainnya pada tegukan atau waktu berikutnya.
Jadi, tiga hal tadi,
bila diringkas: cita rasa adalah perpaduan antara 1) rasa, 2) aroma, 3) tekstur
dan kesan di mulut, 4) tampilan dan suara, 5) yang bersifat subjektif dan
temporer.
Karena cita rasa lebih
bersifat subjektif dan temporer, maka pungkasnya cita rasa pada kopi adalah
persoalan persepsi dan selera. Persepsi bisa dibentuk oleh hal-hal di luar
kendali seseorang. Sementara selera juga bukan sesuatu yang alamiah dan pilihan
yang bebas merdeka. Cita rasa adalah rekayasa sosial.
Alhasil, seyogyanya
kita terbuka pada segala cita rasa yang mungkin ada pada kopi, dan jangan
paksakan perolehan cita rasa pada kopi yang Anda sesap kepada yang lain, karena
sangat bisa jadi ada perbedaan di sana.