Jika kita adalah
seorang konsekuensialis, maka kita akan setuju dengan pendapat yang pertama,
namun jika sebaliknya maka kita adalah seorang deontologis. Inilah dua
pandangan moralitas yang tanpa kita sadari melekat erat dalam kehidupan kita dan
etika moral ini selalu kita praktikan dalam keseharian.
Ada banyak hal dalam
keseharian kita yang berkaitan erat dengan etika konsekuensialisme dan etika deontologis. Sayangnya banyak diantara kita yang tidak menyadari kedua hal
tersebut. Lalu apa itu deontologis dan konsekuensialisme?
Memahami Etika Deontologis dan Etika
Konsekuensialisme
Mengutip laman
Britannica, deontologis dalam filsafat, adalah teori etika yang memberikan
penekanan khusus pada hubungan antara tugas dan moralitas tindakan manusia. Istilah
deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti “tugas” dan logos yang
berarti “sains”.
Dalam etika deontologis
suatu tindakan dianggap baik secara moral karena beberapa karakteristik dari
tindakan itu sendiri, bukan karena hasil dari tindakan tersebut harus berujung
baik. Etika deontologis menyatakan bahwa setidaknya beberapa tindakan bersifat
wajib secara moral terlepas dari konsekuensinya terhadap kesejahteraan manusia.
Ini berarti bahwa tindakan yang baik atau buruk tidak bergantung pada hasil
akhirnya, tetapi pada apakah tindakan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
moral atau aturan tertentu.
Pernah mendengar
ungkapan-ungkapan seperti “Segala hal yang berawalan buruk akan berakhir dengan
keburukan,” atau “Apa yang kamu tanam itulah yang akan kamu tuai” serta kalimat
masyhur (Fiat justitia ruat caelum) yang berarti “Biarlah keadilan ditegakkan
meskipun langit runtuh,” itulah sederetan perkataan yang menggambarkan etika
deontologis.
Sementara Etika
konsekuensialisme masih menurut Britannica adalah, bentuk doktrin yang
menekankan bahwa suatu tindakan harus dinilai benar atau salah berdasarkan
konsekuensinya. Contoh sederhana dari etika konsekuensialisme adalah kebanyakan
orang pasti setuju bahwa berbohong itu salah. Namun jika berbohong akan
membantu menyelamatkan nyawa seseorang, maka seorang konsekuensialis akan
beranggapan bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Gerakan Filsafat yang Terpengaruh
Etika deontologi telah
banyak mempengaruhi para pemikir di era klasik dan modern, dan salah satu tokoh
sentralnya adalah Immanuel Kant. Dalam karya magnum opusnya "Groundwork
for the Metaphysics of Morals," Kant mengembangkan teori moral yang didasarkan
pada imperatif kategoris, yang menyatakan bahwa seseorang harus bertindak hanya
berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat dikehendaki orang-orang untuk menjadi
hukum universal. Kant berpendapat bahwa kebenaran suatu tindakan ditentukan
oleh prinsip yang dipilih seseorang untuk ditindaklanjuti di ranah sosial.
Melalui buku ini Kant menciptakan dasar bagi kerangka kerja moral yang berfokus
pada kewajiban, universalitas, dan kebebasan.
Etika Konsekuensialisme
juga telah banyak mempengaruhi para pemikir, dua diantaranya adalah Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill yang menjadi tokoh pengembang teori
utilitarianisme. Dalam karya-karya mereka, seperti "An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation" (Bentham) dan
"Utilitarianism" (Mill), mereka mengajukan nilai etik dari suatu
tindakan harus menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan yang terbesar bagi
sebanyak mungkin orang, dan menurut mereka hal tersebut adalah tindakan yang
paling etis.
Selain membidani
kelahiran utilitarianisme, etika konsekuensialisme juga turut membidani
kelahiran hedonisme. Jika utilitarianisme menekankan pada doktrin sesuatu
dikatakan baik jika menghasilkan kebaikan bagi sebanya-banyaknya orang, maka
hedonisme punya doktrin yang serupa namun tidak sama yaitu sesuatu dikatakan
baik jika konsekuensinya menghasilkan kesenangan atau menghindari rasa sakit.
Jika utilitarianisme bersifat komunal, maka hedonisme bersifat individu.
Kritik
Meskipun dalam praktiknya
kedua gagasan ini seolah sempurna dalam ranah kajian moral, namun gagasan ini
bukan tanpa celah. Etika Konsekuensialisme cenderung mengedepankan aspek
egosentris manusia dimana mereka yang melegalkan segala cara untuk mencapai
tujuannya akan dianggap tidak menyimpang secara moral. Sebagai contoh
katakanlah para ekonom dapat membuktikan bahwa perekonomian Indonesia akan
menjadi lebih kuat, dan karenanya sebagian besar orang akan menjadi lebih
bahagia, lebih sehat, dan lebih kaya, jika kita memperbudak 2% populasi saja.
Meskipun sebagian besar orang mendapat manfaat dari gagasan ini, namun sebagian
besar tidak akan pernah menyetujuinya bahkan menentangnya karena adanya 2%
populasi yang diperbudak. Namun, ketika menilai gagasan ini hanya berdasarkan hasil,
seperti yang dilakukan oleh konsekuensialisme klasik, maka gagasan ini dianggap
benar dan perlu dilakukan.
Deontologis juga bukan
tanpa celah. Salah satu kritik utama terhadap etika deontologis adalah bahwa ia
tidak selalu memberikan jawaban yang jelas dalam situasi dilema moral, di mana
dua atau lebih prinsip moral saling bertentangan. Misalnya, dalam kasus di mana
kewajiban moral satu sama lain saling bertentangan, deontologi tidak memberikan
pedoman yang jelas untuk menyelesaikan konflik tersebut. Beberapa kritikus juga
menganggap bahwa konsep kewajiban moral yang absolut dalam deontologi tidak
selalu sesuai dengan kompleksitas kehidupan nyata. Mereka berpendapat bahwa ada
situasi di mana kewajiban moral mungkin harus diperhitungkan dan diberikan
bobot yang berbeda, tergantung pada konteks dan konsekuensinya. Satu hal yang
paling fatal dari pendekatan etika ini ialah sulitnya menentukan aturan moral
yang benar-benar universal dan berlaku untuk semua orang di semua situasi.
Pertanyaan tentang bagaimana menentukan aturan moral yang dapat diterapkan
secara konsisten pada semua kasus sering kali menjadi subjek perdebatan yang
melahirkan kontroversi.
Deontologis dan Konsekuensialiesme Dalam Moralitas
Kontemporer
Kedua gagasan etik ini
telah memberikan landasan bagi berbagai gerakan filsafat dan telah mempengaruhi
pemikiran etika dalam berbagai bidang, termasuk politik, hukum, dan sosial
manusia hingga hari ini.
Kita tak bisa menampik
bahwa dua gagasan inilah yang telah mengubah wajah peradaban kita hingga hari
ini. Dari deontologis kita menyaksikan secara langsung kelahiran nilai-nilai
hak asasi manusia yang telah banyak memberikan perlindungan pada hak kebebasan
individu, terlepas dari kontroversi yang menyertainya. Kita juga merasakan
secara langsung dampak yang ditimbulkan dari gagasan etika konsekuensialisme.
Sejarah mencatat banyak gerakan sosial dan revolusi yang terjadi dalam sejarah
umat manusia tercipta dari pemikiran etika konsekuensialisme.
Dalam realitas
kontemporer tanpa kita sadari kedua gagasan ini melekat dalam cara hidup kita
bermasyarakat, menunujukan jika relevansi kedua gerakan ini tidak perlu
dipetanyakan di hari ini. Dalam lingkup etika profesi seperti etika medis,
deontologi sering kali diterapkan dalam bentuk kode etik yang menetapkan
kewajiban moral tertentu bagi para profesional dalam menangani pasien, seperti
prinsip-prinsip otonomi, keadilan, benefince, ataupun prinsip non-maleficence.
Di bidang hak asasi manusia, pendekatan deontologis memberikan landasan bagi
penegakan hak-hak dasar individu, di mana hak-hak tersebut dianggap sebagai hak
yang inheren dan tidak dapat dilanggar, terlepas dari hasil atau konsekuensi
tindakan.
Sementara itu,
pendekatan konsekuensialisme juga memiliki tempat penting dalam moralitas
kontemporer, terutama dalam konteks kebijakan publik, penegakan hukum, dan
pengambilan keputusan sosial. Dalam perencanaan kebijakan, konsekuensialisme
sering kali digunakan untuk mengevaluasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan
dari kebijakan tertentu. Misalnya, sebuah kebijakan lingkungan diukur
berdasarkan dampaknya terhadap keseimbangan ekologi dan kesejahteraan manusia
secara keseluruhan.