Kita mulai dahulu
dengan dasar dari filsafat. Roger mengklaim bahwa filsafat bukanlah suatu
permenungan, tetapi aktivitas akal untuk mendalami ilmu pengetahuan dan mencari
dasar dari kedalaman. Jika berbicara dasar, maka kita berbicara tentang hakekat
dari suatu hal yang bersifat universal. Filsafat akan selalu aktif oleh
kuriositas atau rasa ingin tahu yang tidak dihidupkan menggunakan mikroskop,
survei atau doktrin, melainkan nalar.
Filsafat selalu diawali
dengan adanya masalah, yang terkadang tidak dipikirkan dengan sungguh-sungguh.
Berfilsafat menurut Roger artinya menemui masalah itu dan dipandang secara
seksama, sampai ia berbekas dalam pikiran. Bekas itu memang mampu menyiksa rasa
aman kita, tetapi dia membangkitkan rasa ingin tahu kita atau kuriositas.
Ketika hal itu terjadi, maka di situ adalah permulaan dari filsafat.
Rasa ingin tadi bisa
kita sebut juga dengan pikiran yang berbinar, yang selanjutnya diperlukan
sistematika untuk mengatur cara memikirkan masalah itu. Sistematika bersahabt
dengan kuriositas, di mana mereka tidak dapat dipisahkan dan diperlukan dalam
perburuan filsafat. Perburuan tersebut akan melahirkan refleksi dan
argumentasi. Kenapa disebut bersahabat, karena sistematika tanpa kuriositas
hanya akan menjadi barang mati, dan kuriositas tanpa sistematika akan membuat
kita stress dan frustasi.
Sistematika yang
dimaksud Roger artinya menghemat jalan pikiran, efesien dalam menerangkan
pikiran dan memilih cara yang mudah untuk memami yang sulit. Hasil dari hal ini
adalah kita akan mempersoalkan diri kita sendiri dengan risiko ‘diusir’ dari
kebenaran. Berbicara tentang filsafat, maka ada tiga hal mendasar dari
filsafat: tentang realitas (being), pengetahuan (knowledge), dan tindakan
(moral). Hal ini wajib hukumnya diketahui.
Being di sini adalah
segala soal mengenai hakekat: mengenai keberadaan kita dan dunia. Pertanyaan
yang bisa diajukan berarti, apa artinya keberadaan kita dan juga dunia? Lalu
bagaimana strukturnya? “Being” dalam filsafat masuk pada pembahasan “metafisika”
atau lebih akrab disebut dengan “ontologi” dalam cabang filsafat. Lalu ada
“knowledge: yang mengkaji soal arti dari mengetahui dan batas dari pengetahuan.
Pembahasan dari “knowledge” sendiri disebut sebagai “Epistemologi”
Lalu yang terakhir tentang
tindakan atau moral, yang dibahas dalam filsafat moral. Roger memberikan
contoh, tindakan pacarmu bernilai atau tidak, diuraikan dengan alasan bukan
dengan ayat. Tiga bidang tadi menjadi persoalan yang selalu mengalir sepanjang
25 abad. Sejarah filsafat merupakan sejarah tentang perdebatan terkait tiga hal
itu, layaknya cinta segitiga.
Filsafat dapat
dipelajari melalui pikiran filsuf. Kita bisa mulai dengan mengidolakannya, atau
berpura-pura mengidolakannya. Seperti saya yang mengidolakan sosok Bertrand
Russell dan Friedrich Nietzsche. Roger mengatakan kalian wajib memiliki kamus
“istilah filsafat” agar tidak panik dalam membaca peta filsafat jika kalian
sudah basah dan sekaligus saja nyemplung, apalagi sambil mendengarkan lagu
blues.
Berfilsafat artinya
berdiskusi dengan konsep, tidak hanya sekedar mengutip istilah dari para
filsuf, karena filsafat adalah aktivitas pikiran, bukan sekedar comot-comot
kutipan filsuf, ntah itu Plato, Karl Marx, dll. Walaupun begitu, kalian dapat
memotivasi diri kalian yang ingin menyelami filsafat dengan berbagai macam
dalil para filsuf, contonya Sokrates: Hidup yang tak diuji, tak layak untuk
dijalani” demikian pula romans.
Filsafat menurut Roger
hanya membuka percakapan tentang hal-hal mendasar kehidupan, bukan sebagai
petunjuk hidup. Kalau petunjuk hidup, kita bisa tanya om Mario. Kalian menjeadi
seorang yang kritis, determinis, nihilis, revolusiner, dll adalah soal kualitas
pertemuan kalian dengan filsafat. Filsafat juga bukan ilmu untuk membahagaiakan
orang, atau membuat kita merasa paham tentang kehidupan, layaknya motivator.
Tetapi filsafat adalah interupsi terhadap kemapanan dan kenyamanan kita, karena
bisa saja hal tersebut palsu, layaknya hasil otopsi.
Bagian terpenting
adalah, mulailah dengan memikirkan kenapa berpikir itu harus berfilsafat,
bahkan ketika kita berpikir kenapa itu tak penting, maka pikirkan pula hal itu.
Walaupun demikian, filsafat bukanlah arogansi, melainkan kritik, bahkan kritik
terhadap arogansi akal yang bisa saja digerogoti oleh bias akal. Dengan cara
macam itu filsafat menunda kepastian. Hasil dari penundaan itu kita bisa sebut
dengan “the not-yet” yang mampu mengbuka ruang kemungkinan-kemungkinan padam
manusia. Jadi filsafat adalah metode, yaitu metode berpikir lebih dari biasa.
Selanjutnya mari kita
masuk pada bidang logika. Dalam filsafat, logika disebut sebagai filsafat
praktis, karena penerapannya yang mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika beranjak dari Roger bukanlah suatu hapalan, melaikan urusan ketetapatan
prosedur penalaran. Logika bukanlah motif bernalar atau moralitas personal.
Maka dari itu kata “dungu” yang sering diucapkan Roger merupakan ungkapan khusus
bagi cara berpikir bukan orangnya. Kedunguan ini ada ketika kita sedang
bernalar dan terjadi karena prosedur bernalar kita “diintervensi” oleh “logical
fallacy” (kesesatan berpikir). Hal ini bisa terjadi karena prosedur bernalar
kita kurang ketat. Maka dari itu sesat nalar dicari di dalam prosedur, bukan
diada-adakan dari luar.
Menurut Roger, tidak
ada pikiran yang separuh logis, karena pikiran memiliki prosedur, maka salah
prosedur akan salah secara keseluruhan. Maka dari itu, Roger selalu memberikan
nilai A atau hanya E, karena salah bernalar itu fatal layaknya matematika.
Roger juga menyindir, dengan memberikan pernyataan bahwa logika itu dampak
dalam kalimat efessien. Bukan dalam banyaknya referensi atau artikel comotan.
Logika merupakan aktivitas pikiran yang otonom, dan tidak memerlukan dukungan
dari gerombolan orang untuk menjadi logis.
Logika juga tidak
dibela dengan referensi, melaikan logika menilai dirnya sendiri, apakah ia
lurus atau bengkok. Cara untuk melatih logika menurut Roger adalah dengan:
bukan pemuja kekuasaan, bukan pemaksa kebenaran dan bukan pengumpul pdf
comotan. Menurut Roger, logika yang buruk, terutama oleh seorang pemimpin, sama
saja sudah melanggar konstitusi, karena ada perintah di dalamnya yang berbunyi
“mencerdaskan kehidupan bangsa”
Kata “logis” juga bisa
kita pakai ketika tidak ada kontradiksi. Jadi logika adalah aktivitas
menghindari kontradiksi. Tetapi dalam dielaktika, justru kita memerlukan
kontradiksi untuk menghasilkan pikiran baru. Dengan cara itu pula kita dapat
menumbukan sikap kritis. Roger juga berpikir bahwa “logika” dalam pengertian
umum disebut juga sebagai “pengawas” kebohongan, dikarenakan logika merupakan
mata nalar, yang digunakan untuk menemukan kontradiksi aau “logical fallacies”.
Roger juga menegaskan
bahwa fallacies ada di dalam penalaran, bukan dalam pelataran. Maka dari itu
ketika seseorang berdebat lalu ia mengalihkan debat ke arah kebencian personal,
tidak dapat disebut sebagai fallacies. Belajar logika berarti belajar untuk menggelengkan
kepala apda tumpukan kutipan, bukan asal mengangguk dan belajar mengutip. Roger
juga menegaskan bahwa warganegara harus belajar tentang dasar-dasar logika dan
demokrasi, guna mencegah kepicikan dan menjadi hoaxer. Logika itu bukan ilmu
untuk membangun infrastruktur, tetapi membangun infrastruktur rasio yang
tanpanya pemimpin hanya mampu membangun hoax.
Jadi saya bisa katakan
bahwa logika merupakan alat berpikir dalam filsafat, dan filsafat adalah
metodenya. Layaknya senjata sebagai salah satu alat perang, namun terdapat
metode dalam menembak beragam, namun tetap diarahkan untuk tepat sasaran, atau
dalam filsafat adalah logis dan menyeluruh.
Yang saya lakukan
sekarang juga sebenarnya tidak berfilsafat atau mungkin menurut kalian berfilsafat?
Baiknya kita diskusikan di kolom komentar, karena saya hanya sekedar mengutip
tweet Roger, lalu saya berusaha kemas agar lebih mudah dipahami bagi para
pembaca, walaupun mungkin masih terdapat kebingungan di dalamnya. Nah kalau
kita kembali di awal, maka di situlah letak berfilsafat kita, ketika kita mulai
berusaha memahami yang sulit dengan sistematika, dan itu adalah ilmu logika.
Semoga artikel ini
mampu membuat pikiran kita semua berbinar dan kritis. Agar mampu terhindar dari
berbagai macam kebijaksanaan yang dikemas dengan kedunnguan yang membuat kita
patuh dan krisis nalar. Yang terpenting, cara membaca filsafat itu bukan dengan
membaca buku filsafat, melainkan membaca pikiran filosofis.