Terdapat ratusan judul
karya sastra yang direkomendasikan. Mulai dari puisi, cerpen, hingga novel yang
lahir dari pergumulan kreatif para maestro sastrawan terkemuka tanah air. Sebut
saja Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Ashadi Siregar, Chairil Anwar, Seno
Gumira Ajidarma, hingga Iwan Simatupang. Okky Maddasari, sastrawan yang juga
Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum, mengatakan pemilihan karya sastra sebagai
bahan ajar dalam kurikulum menyesuaikan jenjang.
Bagaimanapun, ini
merupakan langkah yang mesti diapresiasi setinggi-tingginya. Mengenalkan karya
sastra sebagai suatu produk kultural yang digali melalui khazanah kekayaan
bangsa akan menghantarkan peserta didik dalam upaya memahami realitas secara
sublim. Entitas karya sastra menyemburatkan suatu pesona keadaban bagi
pembacanya. Pesona yang tak hanya berupa kesan estetis dari sebuah teks sastra,
melainkan juga memuat dimensi ontologis ihwal narasi hakikat hidup anak
manusia.
Dalam konteks itulah,
signifikansi karya sastra semakin relevan menjawab masalah-masalah kemanusiaan
modern. Sastra tiada lain adalah suara-suara dari kedalaman kemanusiaan kita.
Suara-suara yang dihasilkan melalui proses pergumulan panjang penulis dengan
realitas sekitarnya. Realitas yang penuh dengan ragam dimensi hidup: nestapa,
komedi, paradoks, hingga kegembiraan. "Hidup kita adalah cerita," tutur
Karlina Supelli ketika ditanya soal kelindan sains dan sastra dalam suatu
momentum.
Bagi seorang filsuf cum astronom perempuan pertama Indonesia
itu, fiksi—dalam hal ini sastra—dapat mengajak seseorang memasuki suatu
possible world, dunia yang mungkin yang tidak ada di dunia nyata, sehingga
imajinasi begitu liar mengembara memahami dunia yang begitu carut-marut.
Mengimajinasikan tiap derap karakter dan dialog yang dibangun antartokoh
memungkinkan peserta didik akan menjumpai berbagai kemungkinan yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya di dunia nyata. Sebuah modal yang cukup berarti
untuk melihat kompleksitas hidup secara jernih.
Pada gilirannya,
membaca sastra ibarat memposisikan diri berjalan di atas sepatu orang lain. Ini
akan mengantarkan peserta didik merasakan apa yang orang lain rasakan, sehingga
rasa empati kepada orang di sekitarnya akan muncul tanpa memandang identitas
primordial tertentu. Kepedulian semacam ini melecutkan keinginan untuk mengubah
keadaan. Bahwa dunia tidak harus seperti ini.
Benar jika sastra
merupakan medium untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan: berani membela
keadilan, melawan penindasan, menumbuhkan spirit "asah-asih-asuh"
antar sesama, menghargai keragaman, hingga berbagai nilai luhur lainnya. Sastra
merefleksikan kebenaran dalam kehidupan manusia. Senantiasa memberi kenikmatan
batin dan rasa indah. Bukankah nilai-nilai kemanusiaan itu pula yang
dikedepankan oleh Ki Hadjar Dewantara ketika menjalani pendidikan?
Dengan demikian,
menganjurkan bacaan sastra pada peserta didik di sekolah setidaknya memiliki
implikasi positif dalam beberapa hal. Seperti melatih kemampuan berpikir
kritis, yakni dengan menganalisis dan menafsirkan setiap pesan tersirat di
balik teks sastra, mengasah kepekaan emosional, kaya perspektif, tidak menjadi
generasi yang antikritik, senantiasa berpikir inklusif, hingga berani
membongkar tampilan dunia yang senantiasa tidak baik-baik saja.
Membaca sastra menjadi
modal penting untuk memahami bahwa masyarakat modern tidak dengan sendirinya
menjadi seperti sekarang, tetapi melalui proses kausalitas yang kompleks.
Memahami hal ini sampai tingkat paling sublim bisa membantu peserta didik
menemukan posisinya kelak di masyarakat, menemukan bidang mana ia bisa
berkontribusi dan memperoleh penghidupan.
Apalagi karya sastra
yang masuk kurikulum rata-rata termasuk jenis sastra serius (high
literature)—sebuah karya sastra yang dalam proses penciptaannya telah mengalami
pengendapan terus-menerus. Ia menampilkan lanskap yang sama sekali sublim.
Potret tentang pergumulan anak manusia yang selalu gelisah dengan zamannya.
Karakteristiknya multi-tafsir. Mengedepankan ketajaman pikiran dan kehalusan
rasa. Rene Wellek (1955) bahkan menyebutnya sebagai suatu yang tak akan pernah
lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa
lantaran sifatnya yang dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).
Tidak membiasakan
peserta didik membaca sastra disadari atau tidak akan membuat mereka terlempar
dari proses pencarian perannya di masyarakat. Karena tak menemukan peran yang
tepat, lalu berakhir menjadi kriminal. Hipotesis ini mungkin terdengar
simplistik, bias, dan kurang akurat, namun tak mampu membaca di tengah
masyarakat modern ibarat berjalan di keramaian dengan mata tertutup.
Pengalaman Neil Gaiman dalam
Mengapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun
(2022) kian meneguhkan betapa pentingnya membaca fiksi (dalam hal ini fiksi
ilmiah). Ketika menghadiri Kongres Ilmiah dan Fantasi di Cina pada 2007, genre
fiksi ilmiah mulai mendapat dukungan keras dari partai. Sebelumnya, genre ini
dianggap bacaan non-revolusioner. Sehingga pada awal 80-an, mulai ada Kampanye
Anti Polusi Spiritual di daratan Cina yang digalakkan untuk menampik masuknya
nilai-nilai Barat. Fiksi ilmiah masuk dalam jenis karya yang dilabeli
"polusi spiritual" itu.
Namun, pada kongres
yang dihadiri Gaiman kala itu, keadaannya sudah berubah. Orang Cina mulai
sadar, mereka pandai meniru, tapi tidak pandai berinovasi. Mereka mendapati,
delegasi orang-orang yang datang ke Silicon Valley --tempat inovasi dibicarakan
setiap detiknya-- orang-orang di sana membaca fiksi ilmiah sedari bocah.
Sebagai pusat kelahiran teknologi, Sillicon Valley banyak dibilang tempat
paling berpengaruh yang hendak menyetir arah masa depan dunia. Kata Gaiman,
masa depan dunia tergantung pada bagaimana kita mengimajinasikannya.
Betapa kita harus
berbangga sastra masuk kurikulum. Ada ikhtiar kuat menyiapkan generasi
Indonesia seutuhnya di masa depan. Generasi yang imajinasinya luas untuk
melahirkan inovasi yang berguna bagi pembangunan bangsa. Bukankah proyek
teknologi terbesar hari ini, metaverse, justru lahir dari novel Snow Crash
karya Neal Stephenson? Begitu pula si jenius Albert Enstein, yang menganjurkan
untuk membiasakan anak dibacakan dongeng setiap waktu. "Jika Anda ingin
anak Anda cerdas, bacakan dongeng untuk mereka. Jika Anda ingin mereka menjadi
lebih cerdas, bacakan mereka lebih banyak dongeng."
Program Sastra Masuk
Kurikulum di satu sisi mesti diiringi dengan semangat Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
(di depan memberikan contoh, di tengah-tengah membangun kemauan atau cita-cita,
dari belakang memberikan dorongan moral atau semangat). Guru harus mampu jadi
inspirasi bagi anak didiknya; membiasakan diri membaca karya sastra dengan
totalitas penuh. Kalau perlu diskusikan hasil bacaan di kelas. Bagi anak didik,
laku ini bisa memantik rasa ingin tahu. Orang yang suka membaca tahu, membaca
bukan sekadar menemukan informasi, tapi juga menikmati keingintahuan yang
tumbuh seiring narasi berjalan.