Bersiap Menyambut Sastra Masuk Kurikulum Pendidikan (Catatan Bunga Rampai Semangat Belajar)

Bersiap Menyambut Sastra Masuk Kurikulum Pendidikan (Catatan Bunga Rampai Semangat Belajar)



Suara Numbei News - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) meluncurkan "Sastra Masuk Kurikulum" (20/5) sebagai upaya memperkenalkan siswa terhadap beragam karya sastra yang merentang dari masa ke masa. Program turunan dari Episode Merdeka Belajar 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar ini rencananya akan diterapkan pada sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka pada Juli hingga Agustus mendatang.

Terdapat ratusan judul karya sastra yang direkomendasikan. Mulai dari puisi, cerpen, hingga novel yang lahir dari pergumulan kreatif para maestro sastrawan terkemuka tanah air. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Ashadi Siregar, Chairil Anwar, Seno Gumira Ajidarma, hingga Iwan Simatupang. Okky Maddasari, sastrawan yang juga Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum, mengatakan pemilihan karya sastra sebagai bahan ajar dalam kurikulum menyesuaikan jenjang.

Bagaimanapun, ini merupakan langkah yang mesti diapresiasi setinggi-tingginya. Mengenalkan karya sastra sebagai suatu produk kultural yang digali melalui khazanah kekayaan bangsa akan menghantarkan peserta didik dalam upaya memahami realitas secara sublim. Entitas karya sastra menyemburatkan suatu pesona keadaban bagi pembacanya. Pesona yang tak hanya berupa kesan estetis dari sebuah teks sastra, melainkan juga memuat dimensi ontologis ihwal narasi hakikat hidup anak manusia.

Dalam konteks itulah, signifikansi karya sastra semakin relevan menjawab masalah-masalah kemanusiaan modern. Sastra tiada lain adalah suara-suara dari kedalaman kemanusiaan kita. Suara-suara yang dihasilkan melalui proses pergumulan panjang penulis dengan realitas sekitarnya. Realitas yang penuh dengan ragam dimensi hidup: nestapa, komedi, paradoks, hingga kegembiraan. "Hidup kita adalah cerita," tutur Karlina Supelli ketika ditanya soal kelindan sains dan sastra dalam suatu momentum.

Bagi seorang filsuf cum astronom perempuan pertama Indonesia itu, fiksi—dalam hal ini sastra—dapat mengajak seseorang memasuki suatu possible world, dunia yang mungkin yang tidak ada di dunia nyata, sehingga imajinasi begitu liar mengembara memahami dunia yang begitu carut-marut. Mengimajinasikan tiap derap karakter dan dialog yang dibangun antartokoh memungkinkan peserta didik akan menjumpai berbagai kemungkinan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya di dunia nyata. Sebuah modal yang cukup berarti untuk melihat kompleksitas hidup secara jernih.

Pada gilirannya, membaca sastra ibarat memposisikan diri berjalan di atas sepatu orang lain. Ini akan mengantarkan peserta didik merasakan apa yang orang lain rasakan, sehingga rasa empati kepada orang di sekitarnya akan muncul tanpa memandang identitas primordial tertentu. Kepedulian semacam ini melecutkan keinginan untuk mengubah keadaan. Bahwa dunia tidak harus seperti ini.

Benar jika sastra merupakan medium untuk mencintai nilai-nilai kemanusiaan: berani membela keadilan, melawan penindasan, menumbuhkan spirit "asah-asih-asuh" antar sesama, menghargai keragaman, hingga berbagai nilai luhur lainnya. Sastra merefleksikan kebenaran dalam kehidupan manusia. Senantiasa memberi kenikmatan batin dan rasa indah. Bukankah nilai-nilai kemanusiaan itu pula yang dikedepankan oleh Ki Hadjar Dewantara ketika menjalani pendidikan?

Dengan demikian, menganjurkan bacaan sastra pada peserta didik di sekolah setidaknya memiliki implikasi positif dalam beberapa hal. Seperti melatih kemampuan berpikir kritis, yakni dengan menganalisis dan menafsirkan setiap pesan tersirat di balik teks sastra, mengasah kepekaan emosional, kaya perspektif, tidak menjadi generasi yang antikritik, senantiasa berpikir inklusif, hingga berani membongkar tampilan dunia yang senantiasa tidak baik-baik saja.

Membaca sastra menjadi modal penting untuk memahami bahwa masyarakat modern tidak dengan sendirinya menjadi seperti sekarang, tetapi melalui proses kausalitas yang kompleks. Memahami hal ini sampai tingkat paling sublim bisa membantu peserta didik menemukan posisinya kelak di masyarakat, menemukan bidang mana ia bisa berkontribusi dan memperoleh penghidupan.

Apalagi karya sastra yang masuk kurikulum rata-rata termasuk jenis sastra serius (high literature)—sebuah karya sastra yang dalam proses penciptaannya telah mengalami pengendapan terus-menerus. Ia menampilkan lanskap yang sama sekali sublim. Potret tentang pergumulan anak manusia yang selalu gelisah dengan zamannya. Karakteristiknya multi-tafsir. Mengedepankan ketajaman pikiran dan kehalusan rasa. Rene Wellek (1955) bahkan menyebutnya sebagai suatu yang tak akan pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifatnya yang dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).

Tidak membiasakan peserta didik membaca sastra disadari atau tidak akan membuat mereka terlempar dari proses pencarian perannya di masyarakat. Karena tak menemukan peran yang tepat, lalu berakhir menjadi kriminal. Hipotesis ini mungkin terdengar simplistik, bias, dan kurang akurat, namun tak mampu membaca di tengah masyarakat modern ibarat berjalan di keramaian dengan mata tertutup.

Pengalaman Neil Gaiman dalam Mengapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun (2022) kian meneguhkan betapa pentingnya membaca fiksi (dalam hal ini fiksi ilmiah). Ketika menghadiri Kongres Ilmiah dan Fantasi di Cina pada 2007, genre fiksi ilmiah mulai mendapat dukungan keras dari partai. Sebelumnya, genre ini dianggap bacaan non-revolusioner. Sehingga pada awal 80-an, mulai ada Kampanye Anti Polusi Spiritual di daratan Cina yang digalakkan untuk menampik masuknya nilai-nilai Barat. Fiksi ilmiah masuk dalam jenis karya yang dilabeli "polusi spiritual" itu.

Namun, pada kongres yang dihadiri Gaiman kala itu, keadaannya sudah berubah. Orang Cina mulai sadar, mereka pandai meniru, tapi tidak pandai berinovasi. Mereka mendapati, delegasi orang-orang yang datang ke Silicon Valley --tempat inovasi dibicarakan setiap detiknya-- orang-orang di sana membaca fiksi ilmiah sedari bocah. Sebagai pusat kelahiran teknologi, Sillicon Valley banyak dibilang tempat paling berpengaruh yang hendak menyetir arah masa depan dunia. Kata Gaiman, masa depan dunia tergantung pada bagaimana kita mengimajinasikannya.

Betapa kita harus berbangga sastra masuk kurikulum. Ada ikhtiar kuat menyiapkan generasi Indonesia seutuhnya di masa depan. Generasi yang imajinasinya luas untuk melahirkan inovasi yang berguna bagi pembangunan bangsa. Bukankah proyek teknologi terbesar hari ini, metaverse, justru lahir dari novel Snow Crash karya Neal Stephenson? Begitu pula si jenius Albert Enstein, yang menganjurkan untuk membiasakan anak dibacakan dongeng setiap waktu. "Jika Anda ingin anak Anda cerdas, bacakan dongeng untuk mereka. Jika Anda ingin mereka menjadi lebih cerdas, bacakan mereka lebih banyak dongeng."

Program Sastra Masuk Kurikulum di satu sisi mesti diiringi dengan semangat Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan memberikan contoh, di tengah-tengah membangun kemauan atau cita-cita, dari belakang memberikan dorongan moral atau semangat). Guru harus mampu jadi inspirasi bagi anak didiknya; membiasakan diri membaca karya sastra dengan totalitas penuh. Kalau perlu diskusikan hasil bacaan di kelas. Bagi anak didik, laku ini bisa memantik rasa ingin tahu. Orang yang suka membaca tahu, membaca bukan sekadar menemukan informasi, tapi juga menikmati keingintahuan yang tumbuh seiring narasi berjalan.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama