Namanya Valentinus Jao.
Pria berusia 43 tahun itu rela berjalan kaki belasan kilometer demi
menyelamatkan ibu yang melahirkan bayi kembar di pelosok Manggarai Timur.
Kisah heroik ini
terjadi pada 2013 di Kampung Lembah Lait, Desa Gunung Baru, Kecamatan Kota
Komba Utara.
“Awalnya ada seorang ibu di Kampung Lembah
Lait mau bersalin. Hasil pemeriksaan di layanan Posyandu bahwa ibu itu
mengandung bayi kembar."
"Nah, saat
waktunya partus atau bersalin, ibu itu melahirkan di rumahnya. Waktu itu, bayi satunya
sudah berhasil partus sementara satunya masih di dalam kandungan."
"Bahkan tali
plasentanya belum dipotong. Keluarga menelepon saya jam 11.00 Wita. Saat itu
saya baru pulang dari Kota Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur,"
cerita Valentinus kepada Kompas.com di kediamannya di Kampung
Maghileko, Rabu (8/5/2024).
Kemudian, ia menelepon
seorang bidan di puskesmas pembantu (Pustu) Lete, Desa Gunung.
Valentinus mengabarkan
bahwa ada ibu bersalin bayi kembar di
kampung tersebut. Mereka harus secepatnya menolong ibu bersalin itu.
"Kemudian saya
menghidupkan sepeda motor dan berangkat menuju ke Pustu Lete."
"Jarak tempuh
dengan sepeda motor dari rumah di Maghileko ke Kampung Lete selama satu jam
dengan medan jalan yang rusak parah."
"Saya beritahu
bidan itu untuk siapkan alat partus set (peralatan partus). Saya parkir motor
di Kampung Lete dan selanjutnya berjalan kaki di tengah hutan dengan waktu
tempuh 3 jam," ujarnya.
Perjalanan tersebut
bukannya tanpa rintangan. Valentinus dan sang bidan yang ditemani keponakannya
sempat digigit lintah.
Valens, demikian sapaan
sang perawat yang
sudah 23 tahun mengabdi melalui profesi keperawatannya sebagai aparatur sipil
negara (ASN), melanjutkan kisahnya.
Kala itu mereka
berjalan kaki pukul 12.00 Wita dan tiba di rumah ibu tersebut pada pukul 15.00
Wita.
Mereka langsung
memeriksa ibu yang melahirkan. Ternyata tali plasenta atau tali pusat bayi yang
sudah lahir dan bayi yang masih di dalam kandungan belum dipotong.
Bahkan, bayi yang
masih berada dalam kandungan itu dalam posisi melintang alias sungsang.
"Dari hasil
pemeriksaan itu, saya dan bidan memutuskan agar ibu dirujuk untuk melahirkan di
rumah sakit demi keselamatan bayi dan
ibunya," ujarnya.
Namun pihak keluarga
ingin sang ibu melahirkan di rumah. Mereka
berencana menggunakan cara adat sehingga perlu diberikan pemahaman, termasuk
kepada suaminya.
"Tapi, saya
memutuskan serta memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa ibu bersalin harus
melahirkan di rumah sakit demi keselamatan ibu dan bayinya."
"Lalu, saya
minta keluarga mengambil sebuah bangku panjang untuk tandu ibu itu sampai di
Kampung Lete."
"Pada pukul 16.00
Wita, ibu itu digotong pakai tandu bangku panjang dengan berjalan kaki mendaki
bukit dari Kampung Lait menuju ke Kampung Lete."
"Saya berjalan
duluan untuk mencari mobil apa saja karena kebetulan waktu itu ada proyek
pengerjaan jalan raya telford."
Keluarga satu kampung
Lait secara bergantian menggotong ibu di tandu bangku panjang.
Valens pun mengakui ada
hal ajaib yang terjadi. Semuanya baik-baik saja.
Padahal, sang ibu yang
berada di tandu bangku panjang harus memangku bayi yang
masih ada tali pusar dan menjaga bayi di dalam
kandungan.
"Kemudian, saya
minta mobil dump truk dari pihak proyek jalan itu membantu mengantar pasien itu
ke Puskesmas Waelengga dan melanjutkan perjalanan ke Rumah Sakit Umum Daerah
Bajawa dengan bantuan mobil ambulance."
"Bersyukur, bayi di dalam kandungan itu bersalin dengan selamat di rumah sakit tersebut. Kini bayi kembar itu sudah besar,” ceritanya.
Valentinus, yang biasa disapa Mantri Valens, sejatinya seorang perawat.
Meski demikian, ia juga bisa membantu ibu melahirkan karena
mendapatkan ilmu persalinan saat sekolah di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
Kupang dan Kuliah di Poltekes Kupang.
Apalagi kondisi di
pedalaman Nusa Tenggara Timur yang masih kekurangan bidan, jadi perawat bisa
merangkap membantu ibu bersalin.
Selain kisah ibu melahirkan bayi kembar tersebut,
Mantri Valens pun memiliki kisah lain yang terjadi empat bulan lalu.
Ada ibu yang akan melahirkan
di Kampung Pongyang-Satarmata, Desa Gunung. Ibu tersebut tidak ingin melahirkan
di puskesmas atau rumah sakit.
Namun Valens meminta
bidan di Pustu Ritapada menjemput ibu itu dengan ambulance. Tak ada penolakan
dan ibu itu partus dengan aman.
Masih banyak kisah
kemanusiaan yang butuh pengorbanan yang dikerjakan Valens. Ia harus rela jalan
kaki karena hanya ada satu mobil ambulance untuk pelayanan Posyandu di
Kampung Pongyang-Satarmata.
"Lebih banyak saya
dan bidan berjalan kaki dengan jarak tempuh 7-8 kilometer dengan waktu tempuh 4
jam."
"Jalan raya ke
kampung Pongyang-Satarmata tidak bisa dilalui kendaraan roda dua. Kebanyakan
penduduk setempat berjalan kaki kalau mau ke pasar atau menuju tempat pelayanan
medis untuk berobat."
“Tahun 2016 lalu, saat
ada penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di kampung Pongyang-Satarmata,
petugas medis berjalan kaki dengan waktu tempuh 3-4 jam, bahkan, petugas medis,
dan saya tidur di kampung tersebut," ujarnya.
"Waktu kasus
Covid19 pada 2022, dari Januari-Desember berjalan kaki untuk melakukan vaksin
kepada masyarakat."
"Saya terpanggil
mengabdi kepada masyarakat dengan profesi ini. Saya melayani dengan hati dan
tulus kepada masyarakat demi kesehatan dan keselamatan mereka. Masih banyak
peristiwa pelayanan kemanusiaan di pelosok Manggarai Timur,”
jelasnya.
Awal karier menjadi perawat di NTT
Mantri Valens
menceritakan, awal karier menjadi perawat di NTT. Setelah tamat
SPK Kupang 2001, ia menjadi tenaga sukarela di Puskesmas Oenlasi, Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS) pada April-Oktober 2001.
Kemudian, ia mengikuti
tes PNS dan lulus pada Desember 2001. Kini, Valensi berstatus ASN dan mendapat
Surat Keputusan (SK) Penempatan di Pustu di Desa Bes’Ana di Molo Barat.
"Saya mengabdi di
sana (TTS) sebagai perawat selama 10 tahun sebelum pindah ke
Kabupaten Manggarai Timur," ujarnya.
Tak jauh berbeda dengan
di Manggarai, Mantri Valens pun harus penuh pengorbanan selama berkarya di
pelosok Kabupaten TTS pada 2001. Ia harus berjalan kaki dengan waktu tempuh 6-8
jam dalam memberikan pelayanan.
"Dan di sana, saya
pernah menyeberangi sungai besar bernama Sungai Noelnina. Di Puskesmas Bes’Ana,
dari 2001-2011."
"Kemudian saya
pindah ke Kabupaten Manggarai Timur dan
ditempatkan di Puskesmas Pembantu (Pustu) Lete, Desa Gunung dari
2011-2020."
"Kemudian saat
wabah Covid19 melanda dunia dan di Manggarai Timur,
saya pindah tugas ke Pusat Kesehatan Masyatakat (Puskesmas) Waelengga, Ibukota
Kecamatan Kota Komba."
Selama pelayanan di
Puskesmas Bes’Ana, Valensi memiliki satu kisah yang takkan pernah dilupakan. Ia
melayani seorang pasien berstatus janda.
Awalnya, pasien itu
demam sehingga ia memanaskan dua telapak kaki di tungku api. Kemudian, dua
telapak kakinya terbakar dan hanya tersisa tulang.
"Kemudian ada
tetangganya memanggil saya. Saya datangi rumah ibu janda itu dengan kondisi
sangat parah. Berbau dan berulat."
"Di sana rumah
mereka disebut 'rumah bulat'. Kalau kita masuk ke dalam melalui pintu sempit,
kita berjalan jongkok."
"Tiga meter
sebelum masuk rumah, saya sudah mencium bau pasien itu. Dan saya menahan bau
itu demi merawat pasien agar sembuh."
"Waktu itu saya
bertanya dalam hati 'Ah Tuhan, mengapa sampai luka begini'. Setiap hari saya
mengobati lukanya hingga sembuh. Saya juga menggunting kuku pasien itu,"
ungkapnya.
Pasien itu tidak
memiliki uang sehingga ia menawarkan pembayaran pelayanan dengan sebuah pohon
kelapa di depan rumahnya.
Valens merasa iba dan
menyampaikan kepada sang pasien bahwa pelayanannya gratis. Valens hanya minta
doa.
Ada prinsip pelayanan
yang dipegang suami Mathilde Muhu ini. Ia selalu melayani dengan hati dan
tulus.
Ini membuat Valensi
dicintai masyarakat TTS. Alhasil, ketika dirinya akan pindah ke Manggarai Timur,
warga meminta kepada Bupati TTS agar Valens bertahan. (*)