Sartre lahir di Paris
pada tahun 1905 dan tinggal di Prancis sepanjang hidupnya. Dia wajib militer
selama perang, namun terhindar dari garis depan karena eksotropia, suatu
kondisi yang menyebabkan mata kanannya juling. Sebaliknya, ia bertugas sebagai
ahli meteorologi, namun ditangkap oleh pasukan Jerman saat mereka menginvasi
Prancis pada tahun 1940.
Sartre menghabiskan
beberapa bulan di kamp tawanan perang, memanfaatkan sebagian besar waktunya
dengan menulis dan kemudian kembali ke Paris yang diduduki, di mana ia tetap
ada sepanjang perang.
Sebelum, selama dan
setelah perang, ia dan pasangan seumur hidupnya, filsuf dan novelis Simone de
Beauvoir, sering mengunjungi kedai-kedai kopi di sekitar Saint-Germain-des-Prés
di Paris. Di sana, mereka dan para pemikir terkemuka lainnya pada masa itu,
seperti Albert Camus dan Maurice Merleau-Ponty, mengukuhkan klise pemikir
bohemian yang merokok dan memperdebatkan hakikat eksistensi, kebebasan, dan
penindasan.
Sartre mulai menulis
karya filosofisnya yang paling populer, Being and Nothingness, ketika masih
berada dalam tahanan selama perang, dan menerbitkannya pada tahun 1943. Di
dalamnya, ia menguraikan salah satu tema intinya: fenomenologi, studi tentang
pengalaman dan kesadaran.
Belajar dari pengalaman
Banyak filsuf yang
datang sebelum Sartre merasa skeptis tentang kemampuan kita untuk mendapatkan
kebenaran tentang realitas. Para filsuf dari Plato hingga René Descartes dan
Immanuel Kant percaya bahwa penampakan dapat menipu, dan apa yang kita alami di
dunia ini mungkin tidak benar-benar mencerminkan dunia sebagaimana adanya.
Karena alasan ini, para pemikir ini cenderung menganggap pengalaman kita tidak
dapat diandalkan, dan dengan demikian tidak menarik.
Namun Sartre tidak
setuju. Dia membangun karya fenomenolog Jerman, Edmund Husserl, untuk
memusatkan perhatian pada pengalaman itu sendiri. Dia berpendapat bahwa ada
sesuatu yang “benar” tentang pengalaman kita yang layak untuk diteliti, sesuatu
yang memberi tahu kita tentang bagaimana kita berinteraksi dengan dunia,
bagaimana kita menemukan makna dan bagaimana kita berhubungan dengan orang
lain.
Cabang lain dari
filsafat Sartre adalah eksistensialisme, yang melihat apa artinya menjadi ada
yang mengada seperti yang kita lakukan. Dia mengatakan bahwa kita ada dalam dua
eksistensi yang agak kontradiktif pada saat yang bersamaan.
Pertama, kita ada
sebagai objek di dunia ini, sama seperti objek lainnya, seperti pohon atau
kursi. Dia menyebutnya “faktisitas” kita sederhananya, jumlah total dari
fakta-fakta tentang kita.
Cara kedua adalah
sebagai subjek. Sebagai makhluk yang sadar, kita memiliki kebebasan dan
kekuatan untuk mengubah diri kita untuk melampaui faktisitas kita dan menjadi
sesuatu yang lain. Dia menyebutnya “transendensi”, karena kita mampu melampaui
faktisitas kita.
Namun demikian, kedua
kondisi eksistensi ini tidak mudah untuk disatukan. Sulit untuk menganggap diri
kita sebagai objek dan subjek pada saat yang sama, dan ketika kita
melakukannya, itu bisa menjadi pengalaman yang meresahkan. Pengalaman ini
menciptakan adegan utama dalam novel Sartre yang paling terkenal, Nausea
(1938).
Kebebasan dan tanggung jawab
Namun Sartre berpikir
bahwa kita dapat melepaskan diri dari kecemasan akan eksistensi. Kita melakukan
ini dengan mengakui status kita sebagai objek, tetapi juga merangkul kebebasan
kita dan bekerja untuk melampaui apa yang ada pada diri kita dengan mengejar
“proyek”.
Sartre berpikir bahwa
hal ini penting untuk membuat hidup kita lebih bermakna karena ia percaya bahwa
tidak ada pencipta yang maha kuasa yang dapat memberi tahu kita bagaimana kita
harus menjalani hidup. Sebaliknya, terserah kepada kita untuk memutuskan
bagaimana kita harus hidup, dan menjadi siapa kita seharusnya.
Hal ini memang
memberikan beban yang luar biasa pada kita. Sartre dengan terkenal mengakui
bahwa kita “dikutuk untuk bebas”. Dia menulis bahwa “manusia” “dikutuk, karena
dia tidak menciptakan dirinya sendiri, namun tetap memiliki kebebasan, dan
sejak dia dilemparkan ke dunia ini dia bertanggung jawab atas semua yang dia
lakukan.”
Kebebasan radikal ini
juga berarti kita bertanggung jawab atas perilaku kita sendiri, dan etika bagi
Sartre adalah berperilaku dengan cara yang tidak menindas kemampuan orang lain
untuk mengekspresikan kebebasan mereka.
Di kemudian hari,
Sartre menjadi aktivis politik yang vokal, terutama mencerca kekuatan
struktural yang membatasi kebebasan kita, seperti kapitalisme, kolonialisme,
dan rasisme. Dia merangkul banyak ide Marx dan mempromosikan komunisme untuk
sementara waktu, tetapi akhirnya menjadi kecewa dengan komunisme dan menjauhkan
diri dari gerakan tersebut.
Dia terus mendorong
kekuatan dan kebebasan yang kita semua miliki, terutama mendorong mereka yang
tertindas untuk memperjuangkan kebebasan mereka.
Pada akhir hidupnya di
tahun 1980, ia menjadi orang yang terkenal tidak hanya karena novel dan
dramanya yang berwawasan luas dan jenaka, tetapi juga karena fenomenologi
eksistensialisnya, yang bukan hanya filsafat abstrak, tetapi juga filsafat yang
dibangun untuk kehidupan.*