Barthes (1991) dalam karyanya yang bertajuk
“Mythologies”, memperluas sistem semiologi Saussure dengan menawarkan dua
tatanan pertandaan. Melanjutkan sistem tanda Saussure dengan sistem mitos
sebagai tatanan kedua. Barthes menggunakan istilah denotasi untuk tatanan
pertandaan pertama yang mengacu pada makna harfiah atau jelas makna literal
atau jelas dan konotasi untuk tatanan kedua yang mengacu pada makna kultural
lainnya.
Mitos, bagi Barthes, adalah representasi dari
ideologi dominan pada zaman kita. Barthes mencoba untuk mengungkap
lapisan-lapisan makna yang berada di balik teks yang terlihat tidak memiliki
kekuatan. Pemahamannya akan “teks” menjadi gagasan awal untuk mengikutsertakan
aspek kehidupan sehari-hari dengan potensi untuk menandakan makna. Dalam contoh
klasiknya, Barthes memperlihatkan seorang anak berkulit legam dengan pakaian
tentara; memberikan hormat pada bendera Perancis. Sehingga gambar tersebut
memberikan tanda yang lengkap (anak berkulit legam memberi hormat pada Prancis)
dan bentuk atau penanda dari sistem tatanan kedua: mitos (Prancis adalah
kerajaan besar yang didukung oleh semua orang, tanpa memandang warna kulit atau
keyakinan). Barthes, dalam contoh ini, menyatakan bahwa ideologi borjuis
melanggengkan bentuk-bentuk tanpa makna sehingga membuat mereka tidak bersalah,
alami, dan merupakan pernyataan fakta (dalam Calimbo, 2016).
Berangkat dari keresahan penulis akan abainya
pengguna media sosial terhadap makna dibalik tanda-tanda yang mereka lihat pada
ilustrasi gambar ucapan hari raya besar yang diunggah oleh Presiden RI
Indonesia di Instagram resminya (@jokowi) mengantar pada analisis ini.
Pemilihan umum presiden sudah terlaksana di tahun
2024. Pergeseran kekuasaan akan terjadi, namun pembahasan mengenai Jokowi masih
relevan untuk dibahas. Joko Widodo atau yang lebih dekat disapa sebagai Jokowi
adalah Presiden RI Indonesia yang berhasil menjabat dua periode, akan
mengakhiri masa jabatannya pada 2024 nanti. Dengan total pengikut pada akun
media sosial resminya di Instagram yang hampir berjumlah 57 juta pengikut,
Jokowi kerap mengunggah ilustrasi ucapan di hari raya besar.
Ilustrasi-ilustrasi yang diunggah oleh staf istana
pada akun resmi Jokowi tak jarang mendapat perhatian karena salah satu ciri
khasnya, yaitu terdapat seekor kucing berwarna oranye. Frekuensi hadirnya
kucing oranye pada ilustrasi yang diunggah melahirkan sapaan akrab terhadap
kucing oranye tersebut, “Oyen”.
Pada ilustrasi-ilustrasi yang diunggah,
menggambarkan aktivitas rakyat yang mungkin terjadi pada hari besar tersebut,
tak lupa dengan Jokowi yang turut ikut serta. Contohnya pada ilustrasi Hari Ibu
2023 (yang baru diunggah setelah dua jam, telah mendapatkan atensi berupa 263
ribu likes dan 2 ribu komentar), anak-anak yang berinteraksi dengan sosok
perempuan di depan pekarangan rumah, menggunakan seragam sembari bergandengan,
membantu nenek menyapu, membaca buku bersama ibu. Tergambar pula Jokowi yang
membawa sedang berjalan dengan serangkaian bunga cantik di pelukan tangannya.
Diketahui seluruh ilustrasi yang diunggah pada
Instagram Jokowi, sekurang-kurangnya semenjak tahun lalu hingga akhir tahun
2023 adalah karya tangan seorang ilustrator bernama Aufa Aqil Ghani. Semenjak
Maret 2020, Aufa telah mengemban jabatan sebagai Staf Istana Presiden. Ilustrasi
karyanya kerap kali viral akibat referensi yang sedang populer di internet.
Akibat referensi populer yang ia masukan ke dalam ilustrasinya tersebut, gambar
jadi menghangatkan hati dan mengundang gelak tawa.
Selain gambar yang memberikan kesan dekat karena
unsur yang terkandung di dalamnya, seperti yang sebelumnya telah ditulis, salah
satu ciri khas dari karya ilustrasinya adalah kucing berwarna oranye atau akrab
disapa dengan “Oyen”. Si Oyen ini hampir selalu dapat ditemukan dalam ilustrasi
resmi ucapan hari raya, kecuali beberapa hari yang dianggap sakral. Seperti
peringatan Dirgahayu TNI ke-78 2023 dan Hari Santri 2023. Hingga keabsenannya
akan menimbulkan pertanyaan pada kolom komentar seperti, “Pak oyen mana pak???
gk di ajak ya kali ini,” atau, “Kenapa oyen gak diajak foto pack?” dan
sebagainya.
Merujuk pada esai bertajuk “Hope is the Thing with
Fur” karya Maria Bustillos dari buku “Cat is Art Spelled Wrong” (2015).
Kucing—atau video kucing—adalah penghabluran dari segala hal yang manusia sukai
dari seekor kucing. Berpusat pada fakta kucing adalah makhluk yang indah dan
tidak masuk akal di saat yang bersamaan. Kemagisannya selalu dalam kondisi
ujung tanduk dari kelaknatan, dan manusia menikmati hal tersebut karena merasa
dalam kondisi yang sama. Kondisi fisik kucing yang juga dianggap menggemaskan
dengan mata yang berukuran besar dan pipi yang sintal seperti bayi. Gambaran
kucing yang serupa dengan kanvas kosong pada akhirnya dijadikan sebagai medium
untuk memproyeksikan emosi-emosi yang ada. Dengan diwadahinya para pecinta
kucing oleh akun media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Tik Tok,
menjadikan cuplikan-cuplikan perilaku menggemaskan kucing sebagai bentuk
escapism. Ketika semua orang bersatu untuk memuja seekor kucing dan perbedaan
dalam pandangan politik mereka. Dalam konteks ini, kucing, memegang peran
sebagai wakil dari mitos atas ketidakberdosaan dan keadaan tidak terikat. Jelas
lah sekarang pembacaan kucing oranye sebagai tanda.
“Myth is
depoliticized speech,” tulis Barthes (dalam Bartczak, 2014). Format baru yang
telah menjadi normal dalam bentuknya yang baru, berada dalam posisi yang secara
langsung berkaitan dengan dimensi politis dan ideologis. Gambaran seekor kucing
tercipta tanpa memiliki kemampuan berpolitik, ada tanpa nilai politis, diambil
sistem tandanya oleh kelas penguasa (Presiden) untuk meluncurkan agendanya.
Eksistensi kucing sebagai hewan tidak berdosa dan tidak terikat, diposisikan
sejajar dengan wacana politis Presiden saat mengucapkan hari raya.
Barthes menyatakan, bahwa mitos dan ideologi
merupakan hasil dari produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah
tertentu (dalam Silalahi, 2014). Jokowi, melalui unggahan ucapannya, dengan
ilustrasi-ilustrasi cantik, dan representasikan keharmonisan bangsa, telah
menaturalkan agenda kalau Indonesia hadir suatu kesatuan dengan kedamaian di
dalamnya. Kita dapat membaca intensi upaya politik yang dilakukan, dengan
membaca tanda-tanda yang ada pada ilustrasi. Karena, Presiden yang secara jelas
berperan dalam politik, pun menjadi aparatus ideologi negara. Perannya tersebut
dilaksanakan dalam relasi-relasi yang ia bangun melalui masyarakat, tak
terkecuali aktivitasnya di media sosial. Oleh karena itu, meskipun, bukan
Jokowi seorang yang menggambar dan mengunggah ilustrasi-ilustrasi tersebut, hal
tersebut dapat dibaca sebagai wacana agenda politik.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat
Presiden, Bey Machmudin, tahun 2022 silam sempat menyampaikan esensi kucing
oranye yang hadir dalam ilustrasi, “Untuk menarik perhatian masyarakat. Supaya
ada atensi terhadap hari besar nasional, maupun momen tertentu.” Mitos-mitos
yang dapat kita temukan dalam ilustrasi digunakan untuk kepentingan politik.
Ada interpretasi yang dipinjam oleh petanda dari penanda yang lain. Ada unsur
tak bersalah realita yang diadegankan dalam poster-poster digital peringatan
hari besar tersebut.
Betul-betul jenaka, apabila kita melihat dan menelaah ucapan Selamat Hari Tani 2023 yang diunggah melalui akun Instagram Jokowi—tak lupa dengan Oyen yang bertengger. Kebijakan terkait reforma agraria semenjak Jokowi menjadi presiden (Konsorsium Pembaruan Agraria), justru menyengsarakan dan tidak menyejahterahkan para tani dengan kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah yang hanya akan membuahkan ketimpangan tanah. Ucapan yang terukir, eksistensi kucing oranye, diperas habis segala aspek politiknya dalam ilustrasi. Sehingga di saat yang sama, mitos yang tidak mengandung unsur politik itu, mengandung nilai yang sangat erat dengan politik.
Unggahan ilustrasi ucapan selamat hari raya pada
media sosial Jokowi, setelah dianalisis dengan bantuan teori semiotika Barthes
ternyata tak berdiri sendiri sebagai suatu ucapan saja. Tetapi dalam
ilustrasinya, yang disebarluaskan, yang diharapkan mendapat antensi dari
seluruh rakyat Indonesia, terdapat makna dari suatu tanda yang dipinjam oleh
tanda lainnya. Dalam hal ini, seekor kucing berbulu oranye, yang seharusnya
lahir di dunia ini sebagai makhluk nirpolitik, menjadi tanda yang
merepresentasikan tidak bersalahan dan tidak terikat—yang tentunya sangat
bertolak belakang dengan praktik-praktik politik yang pernah terjadi di
Indonesia.