Mendekonstruksi Mitos Melalui Ilustrasi Hari Besar: Kajian Semiotika Barthes

Mendekonstruksi Mitos Melalui Ilustrasi Hari Besar: Kajian Semiotika Barthes



Suara Numbei News - Sebuah tanda dapat berupa kata, suara, atau visualisasi gambar, yang mewakili sesuatu yang lain. Bagi Ferdinand de Saussure, sebuah tanda mengandung dua komponen: penanda (kata, suara, atau gambar) dan petanda (makna atau konsep yang diwakili penanda). Gambar sering kali merupakan sebuah visualisasi dari sebuah kenyataan, menjadikan objek yang baik untuk sebuah analisis semiotika.

Barthes (1991) dalam karyanya yang bertajuk “Mythologies”, memperluas sistem semiologi Saussure dengan menawarkan dua tatanan pertandaan. Melanjutkan sistem tanda Saussure dengan sistem mitos sebagai tatanan kedua. Barthes menggunakan istilah denotasi untuk tatanan pertandaan pertama yang mengacu pada makna harfiah atau jelas makna literal atau jelas dan konotasi untuk tatanan kedua yang mengacu pada makna kultural lainnya.

Mitos, bagi Barthes, adalah representasi dari ideologi dominan pada zaman kita. Barthes mencoba untuk mengungkap lapisan-lapisan makna yang berada di balik teks yang terlihat tidak memiliki kekuatan. Pemahamannya akan “teks” menjadi gagasan awal untuk mengikutsertakan aspek kehidupan sehari-hari dengan potensi untuk menandakan makna. Dalam contoh klasiknya, Barthes memperlihatkan seorang anak berkulit legam dengan pakaian tentara; memberikan hormat pada bendera Perancis. Sehingga gambar tersebut memberikan tanda yang lengkap (anak berkulit legam memberi hormat pada Prancis) dan bentuk atau penanda dari sistem tatanan kedua: mitos (Prancis adalah kerajaan besar yang didukung oleh semua orang, tanpa memandang warna kulit atau keyakinan). Barthes, dalam contoh ini, menyatakan bahwa ideologi borjuis melanggengkan bentuk-bentuk tanpa makna sehingga membuat mereka tidak bersalah, alami, dan merupakan pernyataan fakta (dalam Calimbo, 2016).

Berangkat dari keresahan penulis akan abainya pengguna media sosial terhadap makna dibalik tanda-tanda yang mereka lihat pada ilustrasi gambar ucapan hari raya besar yang diunggah oleh Presiden RI Indonesia di Instagram resminya (@jokowi) mengantar pada analisis ini.

Pemilihan umum presiden sudah terlaksana di tahun 2024. Pergeseran kekuasaan akan terjadi, namun pembahasan mengenai Jokowi masih relevan untuk dibahas. Joko Widodo atau yang lebih dekat disapa sebagai Jokowi adalah Presiden RI Indonesia yang berhasil menjabat dua periode, akan mengakhiri masa jabatannya pada 2024 nanti. Dengan total pengikut pada akun media sosial resminya di Instagram yang hampir berjumlah 57 juta pengikut, Jokowi kerap mengunggah ilustrasi ucapan di hari raya besar.

Ilustrasi-ilustrasi yang diunggah oleh staf istana pada akun resmi Jokowi tak jarang mendapat perhatian karena salah satu ciri khasnya, yaitu terdapat seekor kucing berwarna oranye. Frekuensi hadirnya kucing oranye pada ilustrasi yang diunggah melahirkan sapaan akrab terhadap kucing oranye tersebut, “Oyen”.

Pada ilustrasi-ilustrasi yang diunggah, menggambarkan aktivitas rakyat yang mungkin terjadi pada hari besar tersebut, tak lupa dengan Jokowi yang turut ikut serta. Contohnya pada ilustrasi Hari Ibu 2023 (yang baru diunggah setelah dua jam, telah mendapatkan atensi berupa 263 ribu likes dan 2 ribu komentar), anak-anak yang berinteraksi dengan sosok perempuan di depan pekarangan rumah, menggunakan seragam sembari bergandengan, membantu nenek menyapu, membaca buku bersama ibu. Tergambar pula Jokowi yang membawa sedang berjalan dengan serangkaian bunga cantik di pelukan tangannya.

Diketahui seluruh ilustrasi yang diunggah pada Instagram Jokowi, sekurang-kurangnya semenjak tahun lalu hingga akhir tahun 2023 adalah karya tangan seorang ilustrator bernama Aufa Aqil Ghani. Semenjak Maret 2020, Aufa telah mengemban jabatan sebagai Staf Istana Presiden. Ilustrasi karyanya kerap kali viral akibat referensi yang sedang populer di internet. Akibat referensi populer yang ia masukan ke dalam ilustrasinya tersebut, gambar jadi menghangatkan hati dan mengundang gelak tawa.

Selain gambar yang memberikan kesan dekat karena unsur yang terkandung di dalamnya, seperti yang sebelumnya telah ditulis, salah satu ciri khas dari karya ilustrasinya adalah kucing berwarna oranye atau akrab disapa dengan “Oyen”. Si Oyen ini hampir selalu dapat ditemukan dalam ilustrasi resmi ucapan hari raya, kecuali beberapa hari yang dianggap sakral. Seperti peringatan Dirgahayu TNI ke-78 2023 dan Hari Santri 2023. Hingga keabsenannya akan menimbulkan pertanyaan pada kolom komentar seperti, “Pak oyen mana pak??? gk di ajak ya kali ini,” atau, “Kenapa oyen gak diajak foto pack?” dan sebagainya.

Merujuk pada esai bertajuk “Hope is the Thing with Fur” karya Maria Bustillos dari buku “Cat is Art Spelled Wrong” (2015). Kucing—atau video kucing—adalah penghabluran dari segala hal yang manusia sukai dari seekor kucing. Berpusat pada fakta kucing adalah makhluk yang indah dan tidak masuk akal di saat yang bersamaan. Kemagisannya selalu dalam kondisi ujung tanduk dari kelaknatan, dan manusia menikmati hal tersebut karena merasa dalam kondisi yang sama. Kondisi fisik kucing yang juga dianggap menggemaskan dengan mata yang berukuran besar dan pipi yang sintal seperti bayi. Gambaran kucing yang serupa dengan kanvas kosong pada akhirnya dijadikan sebagai medium untuk memproyeksikan emosi-emosi yang ada. Dengan diwadahinya para pecinta kucing oleh akun media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Tik Tok, menjadikan cuplikan-cuplikan perilaku menggemaskan kucing sebagai bentuk escapism. Ketika semua orang bersatu untuk memuja seekor kucing dan perbedaan dalam pandangan politik mereka. Dalam konteks ini, kucing, memegang peran sebagai wakil dari mitos atas ketidakberdosaan dan keadaan tidak terikat. Jelas lah sekarang pembacaan kucing oranye sebagai tanda.

 “Myth is depoliticized speech,” tulis Barthes (dalam Bartczak, 2014). Format baru yang telah menjadi normal dalam bentuknya yang baru, berada dalam posisi yang secara langsung berkaitan dengan dimensi politis dan ideologis. Gambaran seekor kucing tercipta tanpa memiliki kemampuan berpolitik, ada tanpa nilai politis, diambil sistem tandanya oleh kelas penguasa (Presiden) untuk meluncurkan agendanya. Eksistensi kucing sebagai hewan tidak berdosa dan tidak terikat, diposisikan sejajar dengan wacana politis Presiden saat mengucapkan hari raya.

Barthes menyatakan, bahwa mitos dan ideologi merupakan hasil dari produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu (dalam Silalahi, 2014). Jokowi, melalui unggahan ucapannya, dengan ilustrasi-ilustrasi cantik, dan representasikan keharmonisan bangsa, telah menaturalkan agenda kalau Indonesia hadir suatu kesatuan dengan kedamaian di dalamnya. Kita dapat membaca intensi upaya politik yang dilakukan, dengan membaca tanda-tanda yang ada pada ilustrasi. Karena, Presiden yang secara jelas berperan dalam politik, pun menjadi aparatus ideologi negara. Perannya tersebut dilaksanakan dalam relasi-relasi yang ia bangun melalui masyarakat, tak terkecuali aktivitasnya di media sosial. Oleh karena itu, meskipun, bukan Jokowi seorang yang menggambar dan mengunggah ilustrasi-ilustrasi tersebut, hal tersebut dapat dibaca sebagai wacana agenda politik.

Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, tahun 2022 silam sempat menyampaikan esensi kucing oranye yang hadir dalam ilustrasi, “Untuk menarik perhatian masyarakat. Supaya ada atensi terhadap hari besar nasional, maupun momen tertentu.” Mitos-mitos yang dapat kita temukan dalam ilustrasi digunakan untuk kepentingan politik. Ada interpretasi yang dipinjam oleh petanda dari penanda yang lain. Ada unsur tak bersalah realita yang diadegankan dalam poster-poster digital peringatan hari besar tersebut.

Betul-betul jenaka, apabila kita melihat dan menelaah ucapan Selamat Hari Tani 2023 yang diunggah melalui akun Instagram Jokowi—tak lupa dengan Oyen yang bertengger. Kebijakan terkait reforma agraria semenjak Jokowi menjadi presiden (Konsorsium Pembaruan Agraria), justru menyengsarakan dan tidak menyejahterahkan para tani dengan kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah yang hanya akan membuahkan ketimpangan tanah. Ucapan yang terukir, eksistensi kucing oranye, diperas habis segala aspek politiknya dalam ilustrasi. Sehingga di saat yang sama, mitos yang tidak mengandung unsur politik itu, mengandung nilai yang sangat erat dengan politik.

Unggahan ilustrasi ucapan selamat hari raya pada media sosial Jokowi, setelah dianalisis dengan bantuan teori semiotika Barthes ternyata tak berdiri sendiri sebagai suatu ucapan saja. Tetapi dalam ilustrasinya, yang disebarluaskan, yang diharapkan mendapat antensi dari seluruh rakyat Indonesia, terdapat makna dari suatu tanda yang dipinjam oleh tanda lainnya. Dalam hal ini, seekor kucing berbulu oranye, yang seharusnya lahir di dunia ini sebagai makhluk nirpolitik, menjadi tanda yang merepresentasikan tidak bersalahan dan tidak terikat—yang tentunya sangat bertolak belakang dengan praktik-praktik politik yang pernah terjadi di Indonesia.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama