Masa anak-anak dan
remaja merupakan fase pencarian identitas yang sarat dengan rasa ingin tahu.
Termasuk minat terhadap konten pornografi yang mudah diakses melalui jaringan
internet termasuk juga media sosial. Upaya pemerintah untuk menutup akses ke konten pornografi sering kali diibaratkan
seperti “menggarami lautan”—tidak pernah habis, bahkan terus berkembang di
berbagai platform digital. Generasi Z dan Alpha, yang sejak lahir sudah akrab
dengan gawai, memiliki kemampuan tinggi dalam mengoperasikan fitur-fitur
internet, terkadang bahkan lebih mahir dari orang tua mereka.
Bahaya pornografi telah
banyak dijelaskan dalam berbagai jurnal ilmiah. Salah satu dampak pornografi
adalah kecanduan yang parah hingga merusak struktur otak, menyebabkan kesulitan
berkonsentrasi, melemahkan ingatan, penyimpangan seksual hingga berpotensi
menjadi pelaku kekerasan maupun pelecehan seksual.
Bisa dibayangkan jika
sejak usia dini, anak-anak sudah terpapar bahkan kecanduan pornografi, hal ini
dapat merusak masa depan dan meningkatkan kecenderungan untuk mempraktikkan apa
yang mereka lihat di dunia nyata, sebagaimana yang terjadi dalam kasus di atas.
Teknologi informasi
adalah pedang bermata dua, di satu sisi memberikan manfaat besar, namun di sisi
lain membawa dampak buruk bagi penggunanya. Inilah mengapa literasi digital
menjadi sangat penting, baik bagi orang tua maupun anak-anak yang sudah
diberikan akses ke telepon pintar. Literasi digital dimaknai sebagai kemampuan
seseorang untuk menggunakan teknologi secara efektif, sekaligus memilah
informasi yang didapatkan melalui perangkat digital.
Bahaya membiarkan anak-anak
menggunakan internet tanpa pendampingan orang dewasa seperti membiarkan
berkeliaran di dunia yang luas tanpa perlindungan, di mana tidak semua tempat
aman dan informasi yang dapatkan tidak selalu benar. Hal ini membuat anak-anak
rentan terhadap kesalahan pemahaman, atau bahkan menemukan konten yang tidak
sesuai dengan usia mereka.
Peran keluarga sangat
penting dalam menginternalisasi fungsi keluarga serta nilai-nilai positif
kepada anak-anak, sebagai bekal untuk menghadapi dunia luar. Dalam kasus ini, fungsi reproduksi dan fungsi sosialisasi pendidikan keluarga menjadi
yang terdepan. Fungsi reproduksi melibatkan pemberian pengetahuan kepada
anak-anak tentang seksualitas yang sehat, dengan menanamkan nilai-nilai
tanggung jawab, pemahaman tentang konsekuensi seksual, serta menjaga kesehatan
fungsi reproduksi. Selain itu, nilai moral seperti menjaga kesucian dan
menjauhi seks bebas juga perlu ditekankan.
Fungsi sosialisasi dan
pendidikan juga harus ditanamkan dengan kuat, terutama di era kemudahan akses
informasi melalui internet. Keluarga harus mampu berinteraksi, bersosialisasi,
dan berkomunikasi secara efektif sehingga dapat menanamkan norma-norma dan nilai-nilai
moral kepada anak-anak, agar mereka mampu membedakan yang baik dan yang salah.
Dalam kasus ini,
keluarga, institusi pendidikan, masyarakat, dan pemerintah tidak boleh lagi
menutup mata. Pornografi, kekerasan seksual, hingga pembunuhan yang melibatkan
anak-anak bukan lagi masalah biasa, melainkan masalah luar biasa yang
memerlukan penanganan menyeluruh dan lintas sektor. Pengasuhan yang baik dari
orang tua, pengawasan dari lingkungan, serta regulasi yang melindungi seluruh
warga negara perlu dilakukan secara kolektif untuk meningkatkan kualitas
keluarga dan anak-anak Indonesia.