Pikiran manusia,
terlepas dari semua pencapaiannya, tidak mampu memahami seluruh kompleksitas
realitas. Ada aspek-aspek dunia dan pengalaman manusia yang melampaui
kemungkinan pengetahuan rasional. Descartes, yang terutama mementingkan akal
budi, memulai sebuah budaya di mana intelektualisasi kehidupan tampaknya
mendominasi bentuk-bentuk pengetahuan lainnya.
Jika kita membandingkan
Descartes dengan Buddha, kita melihat perbedaan mendasar dalam pendekatan
terhadap pengetahuan. Descartes berhenti pada penegasan pemikiran sebagai dasar
eksistensi, sementara Buddha melangkah lebih jauh, dengan menunjukkan bahwa
kebijaksanaan dan pemahaman sejati membutuhkan kebebasan dari keterikatan,
termasuk keterikatan pada pikiran dan konsep. Dengan cara ini, Buddhisme
menawarkan perspektif yang melampaui keterbatasan Cartesian, yang menyingkapkan
jalan menuju pengetahuan realitas yang lebih dalam.
Dalam konteks peradaban
Barat, filsafat Descartes memiliki dampak yang mendalam pada perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan ekonomi. Akan tetapi, keyakinan bahwa pikiran
manusia dapat sepenuhnya memahami dan mengendalikan dunia juga telah
menyebabkan sejumlah konsekuensi negatif. Kesombongan, keserakahan dan
eksploitasi sumber daya alam yang merusak hanyalah beberapa di antaranya. Dalam
pendidikan, pola pikir Cartesian menyebabkan anak-anak mempelajari definisi dan
konsep serta kehilangan kemampuan untuk melihat dan menghargai kekayaan dan
kompleksitas realitas di luar kerangka kerja ini.
Sebelum era Descartes,
agama Kristen memiliki pengaruh dominan pada budaya Barat, memperkenalkan unsur
ketakutan akan kematian dan penghakiman terakhir. Akan tetapi, cinta, kasih
sayang, dan pengampunan merupakan inti dari ajaran Yesus, yang kontras dengan
hidup dalam ketakutan. Pengenalan konsep Descartes di mana berpikir menjadi
dasar eksistensi dapat diartikan sebagai langkah ke arah yang berlawanan,
tetapi sama ekstremnya, yang mengesampingkan spiritualitas dan iman.
Saat ini, konsekuensi
dari filsafat Cartesian terlihat dalam banyak aspek kehidupan. Dari krisis
iklim, hingga ketimpangan sosial, hingga pendekatan reduksionis dalam bidang
kedokteran, dominasi Cartesian atas nalar atas bentuk pengetahuan dan
pengalaman lain terwujud dengan jelas. Contoh-contoh ini menyoroti perlunya
menemukan keseimbangan antara rasionalisme dan spiritualitas.
Di sinilah Taoisme
berperan, sebuah filsafat yang mendorong hidup selaras dengan alam, menerima
kefanaan, dan berjuang untuk mencapai keseimbangan. Taoisme, seperti tradisi
spiritual lainnya, menunjuk pada jalan tengah antara ekstrem rasionalisme dan
dogmatisme.
Taoisme menyatakan
bahwa kehidupan yang penuh dan seimbang tidak dihasilkan dari dominasi pikiran
atas dunia, tetapi dari interaksi yang harmonis dengan alam dan realitas di
sekitar kita. Gagasan Tao tentang “Wu Wei”, atau tindakan melalui non-tindakan,
menekankan nilai spontanitas dan memungkinkan kita untuk memahami bahwa tidak
semuanya dapat dikendalikan dan dipahami melalui pemikiran rasional.
Berbeda dengan
kepercayaan Cartesian tentang kemungkinan kendali penuh dan pemahaman dunia
melalui pikiran, Taoisme menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan harmoni sejati
dalam hidup terletak pada penerimaan dan pemahaman keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan diri sendiri. Bukan berpikir, tetapi selaras dengan ritme alami dunia
yang menjadi kunci untuk pemahaman yang lebih dalam dan kepenuhan hidup.
Kesimpulannya jelas:
Peradaban Barat, yang berakar kuat pada filsafat Descartes, menghadapi
tantangan untuk menemukan keseimbangan antara rasionalisme ekstrem dan
dogmatisme yang tidak kritis. Terjerumus dalam budaya rasionalitas yang sepihak
telah menyebabkan banyak krisis misalnya ekologis, sosial, serta krisis makna,
yang sangat terlihat saat ini dalam bentuk peningkatan pesat masalah kesehatan
mental masyarakat, ketegangan politik, konflik bersenjata, penurunan standar
hidup dan kehancuran alam. Untuk menanggapi tantangan ini, modernitas harus
menemukan kembali nilai kehidupan spiritual dan emosional batin, serta menerima
keterbatasan kecerdasan manusia.
Menemukan jalan di
antara dua ekstrem, seperti yang disarankan oleh filsafat Tao, mungkin menjadi
kunci pembangunan berkelanjutan, di mana sains dan teknologi berjalan
beriringan dengan rasa hormat yang mendalam terhadap alam dan kehidupan dalam
berbagai bentuknya. Dengan mengadopsi sikap nonkonformis, yaitu mempertanyakan
realitas di sekitar kita, kita dapat mulai melihat nilai dalam perspektif yang
berbeda dan sering diabaikan, yang dapat membawa pembaruan tidak hanya pada
tingkat individu, tetapi juga pada tingkat sosial.
Oleh karena itu, tugas
di hadapan kita bukan hanya untuk berpikir kritis tentang tahap dalam sejarah
peradaban kita di mana kita berada, tetapi juga untuk mencari dan
mengintegrasikan cara-cara alternatif untuk mengetahui dan berada bersama
dunia.
Pendekatan ini, yang
menggabungkan aspek-aspek terbaik dari rasionalisme dan spiritualitas, dapat
membuka jalan menuju dunia yang lebih harmonis dan berkelanjutan di mana
teknologi melayani kehidupan, dan bukan kehidupan yang tunduk pada teknologi.
Di mana orang bekerja sama dan melayani satu sama lain, menciptakan sinergi,
hasil yang lebih baik dengan sedikit usaha dan bukan di mana persaingan
mendominasi dan di mana mayoritas masyarakat dieksploitasi oleh minoritas.
Dengan cara ini, dengan mendefinisikan ulang hubungan kita dengan pemikiran,
eksistensi, dan seluruh realitas di sekitar kita, kita dapat lebih dekat dengan
pemahaman yang lebih lengkap tentang tempat manusia di alam semesta.*