![]() |
Demo Tolak UU TNI di Bandung/idntimes (2025) |
Hello, Annisa! Wah,
sebagai anggota DPR termuda (dan putri seorang politisi), tentu kamu sudah hafal teori
demokrasi sejak TK, ya? Tapi kok pertanyaanmu "kenapa harus demo, bukan diskusi?" bikin saya ikut
bingung. Jangan-jangan kamu sedang uji publik, atau mungkin strategi viral
seperti respon kepala kantor berita presiden soal teror kiriman bangkai keTempo? Ah, sudahlah. Mari kita kupas dengan simple biar sebagai elite kamu
ngerti kenapa rakyat memilih demo turun
ke jalan.
Jangan Demo mending Diskusi? Tentu! Tapi Siapa yang
Diundang
Gini ya Annisa, coba
bayangin, di sekolahmu, OSIS hanya mengizinkan anak-anak ketua guru dan anak
pejabat yang masuk grup WhatsApp "Forum Aspirasi Siswa". Nah, ketika
siswa lain protes soal kantin mahal atau aturan dilarang pakai hoodie? Mereka
cuma bisa teriak di luar ruang OSIS sambil bawa spanduk supaya didengar oleh
Ketua OSIS. Sementara, si Ketua OSIS update di story instagram foto siswa yang
lagi protes sambi ngasih caption "Kan bisa diskusi!" bukannya
nyamperin siswa yang lagi protes. Meskipun alasannya OSIS rapat di dalem
ruangan, siswa kan ga tau apa yang dirapatin, jangan-jangan mau manggil satpam
buat bubarin protes atau nugasin satpam ngegantiin bibi kantin supaya biar
harga naik siswa ga bisa protes karena dipelototin satpam sambil bawa
pentungan.
![]() |
Annisa Mahesa, Anggota DPR RI Termuda yang bertanya Kenapa harus Demo |
Nah, Annisa, menurut
Charles Tilly, demo adalah bahasa kedua rakyat ketika bahasa
pertama—dialog—dibajak oleh orang-orang yang punya akses istimewa. Rakyat demo
bukan karena suka ribut, tapi karena kalian sebagai anggota DPR seringkali
hanya mendengar suara yang sudah diundang ke ruang rapat mewah kalian di Hotel.
Bu Sumarsih aja yang aksi kamisan dari tahun 2007 sampe sekarang belum dapet
keadilan, disamperin juga engga, apalagi diundang dan didengarkan aspirasinya.
Sederhananya, kalau rakyat bisa diskusi langsung denganmu dan temen-temen kamu
di DPR secara setara, buat apa demo? Tapi kan… kursi diskusi di DPR itu bukan
untuk rakyat, ya?
Akses Politikmu Beda dengan Akses Politik Pedagang
Kaki Lima
Kamu bilang,
"diskusi dari hati ke hati lebih efektif". Benar! Tapi hati siapa?
Kamu lahir di keluarga elit politik yang langsung punya nomor HP menteri. Tapi
coba tanya tukang becak dan pedagang starling di depan gedung DPR yang tiap
hari main petak umpet sama Satpol PP, mungkin ngga protesnya direspon? Atau
buruh pabrik yang upahnya dipotong bahkan kena PHK demi "efisiensi"
berapa menit mereka diizinkan bicara di depan direktur perusahaannya?
Soal itu, Charles Tilly menyebut ini ketimpangan mobilisasi. Rakyat
jelata tidak punya koneksi, uang, atau privilege untuk "ngobrol
santai" di lobi hotel bintang lima. Bagi mereka, demo adalah satu-satunya
alat komunikasi politik setelah semua pintu tertutup. Kalau DPR benar-benar
menjalankan fungsi representasinya, mungkin tidak perlu ada massa bakar ban di jalanan.
Tapi… ribet banget kali ya harus dengerin banyak orang kalo bukan masa
kampanye, mendingan healing ngga sih.
Demo Personal buat apa? Emang Demo bukan Soal
Personal tapi Soal Kebijakan, Kamu Saja yang TidakTau
Kamu protes nih kemaren
"Demo personal buat apa?" Oh, Annisa, kamu kira rakyat demo ke Istana
karena sebel sama potongan rambut wakil menteri? engga lah. Tilly bilang gini
dan kamu harus ngerti, "semua kritik pada individu pejabat adalah kritik
pada sistem yang ia wakili". Ketika massa demo minta seorang menteri
mundur, itu bukan sekadar dendam pribadi, tapi penolakan terhadap kebijakan
yang merugikan hidup mereka.
Tapi kamu benar juga,
demo personal itu ga elit banget ya,... Mending kita backchanneling, kirim WA
ke pejabat, lalu masalah selesai di balik pintu. Sayangnya… rakyat ga ada yang
punya nomor WA menteri! Mereka hanya punya telapak tangan untuk tepuk spanduk,
dan kaki untuk berbaris ke Gedung DPR. Rakyat juga ga sempet buat belajar table
manner dulu buat FGD di Fairmont.
Kemana Fungsi Politik DPR Sebagai Corong Aspirasi
Rakyat?
![]() |
Rapat Peripurna DPR 2019 |
Sampai disini, kalau
kamu heran kenapa demo masih terjadi? Tanya aja ke cermin. Secara politik DPR
seharusnya jadi saluran aspirasi, tapi faktanya, rakyat lebih percaya pada
viralnya TikTok daripada surat resmi ke Senayan. Ketika DPR sibuk berebut kursi
komisi atau mengurus tunjangan, rakyat mengatur sendiri bikin "rapat
umum" di jalanan yang kadang disebut sekedar Demo.
Kalo Charles Tilly
masih hidup, mungkin dia bakal ketawa baca berita kamu yang kebingungan. Dalam
proses politik, jika parlemen gagal menjadi perantara, maka rakyat jadi
mediator untuk diri sendiri. Demo adalah bukti bahwa proses politik formal
telah gagal dan dikhianati oleh para aktornya sendiri. Kalau DPR bekerja dengan
baik menjalankan fungsi politiknya, mungkin demo tidak lagi diperlukan.
Jangan Khawatir, Annisa! Suaramu Pasti Didengar,
karena Kamu Bukan Rakyat
Annisa, sebagai wakil
rakyat, kamu punya hak istimewa, akses langsung ke kekuasaan, suaramu bisa
didengar, kecuali mic nya dimatiin. Makanya, hak istimewa bersuara
ini perlu diimbangi dengan kewajiban mendengar karena pemilihmu dulu memilihmu
supaya aspirasi mereka didengarkan dan diperjuangkan. Perlu diingat juga,
mereka bukan politisi gagal yang kecewa karena tidak terpilih, tapi mereka
adalah korban dari sistem yang tuli selektif.
Jadi, jika suatu hari
kamu didemo, jangan tersinggung. Itu bukan serangan personal, tapi teguran
bahwa kursi DPR-mu mungkin terlalu nyaman hingga lupa mendengar jerit di luar.
Sekarang saatnya kamu berpikir bagaiman spanduk demo yang bikin kamu bingung bisa
berubah jadi presentasi powerpoint di ruang rapat DPR. ***