![]() |
Keserderhanaan tiga orang siswa Sekolah Dasar Katolik Naibone Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan sarana dan prasarana apa adanya |
Ada sesuatu yang
menggetarkan tentang konsep sekolah yang baru ini. Harapan. Janji. Kemungkinan.
Siapa yang tidak terharu membayangkan anak-anak dari keluarga miskin yang
selama ini tersingkir dari pendidikan berkualitas, kini memiliki kesempatan
untuk belajar di lingkungan yang layak?
Terlalu naif rasanya
untuk hanya terpesona pada kilau permukaan saja. Di balik riuh rendah berita
tentang 40 Sekolah Rakyat yang akan dibuka tahun ajaran 2025/2026,
pertanyaan-pertanyaan kritis mengetuk pintu kesadaran saya.
Bayangkan kalau Anda
adalah kepala sekolah di sebuah desa terpencil. Selama bertahun-tahun, Anda
mengajukan proposal perbaikan atap yang bocor, pengadaan buku baru, atau
peningkatan gaji guru honorer. Setiap tahun, jawaban yang sama: "Maaf,
anggaran terbatas." Lalu Anda membaca bahwa pemerintah memangkas Rp 22,3
triliun dari anggaran pendidikan, tapi di saat bersamaan mengalokasikan dana
untuk membangun 40 sekolah asrama baru. Apa yang Anda rasakan?
Inilah paradoks yang
mengusik. Kita tahu dari data Kemendikdasmen bahwa lebih dari 50.000 sekolah di
Indonesia memerlukan rehabilitasi mendesak. Ribuan guru honorer masih bergaji
di bawah upah minimum. Akses internet untuk pembelajaran digital masih menjadi
kemewahan di banyak daerah. Di tengah realitas ini, keputusan untuk membangun
40 Sekolah Rakyat dengan konsep boarding
school—yang notabene membutuhkan investasi besar—menimbulkan tanda tanya
besar.
Jangan salah paham,
saya sangat mendukung upaya memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak
dari keluarga kurang mampu. Masalahnya adalah pada pendekatan. Apakah membangun
sekolah baru untuk segelintir anak terpilih merupakan cara paling efektif
menggunakan sumber daya yang terbatas? Atau justru memperkuat sistem yang sudah
ada akan memberikan dampak lebih luas?
Pertanyaan tentang
skala proyek ini juga tak bisa dihindari. 40 Sekolah Rakyat, sekalipun
masing-masing menampung 500 siswa, hanya akan mengakomodasi sekitar 20.000
anak. Jumlah ini seperti setetes air di lautan, mengingat ada jutaan anak dari
keluarga miskin di Indonesia. Bagaimana dengan mereka yang tidak terjaring
seleksi? Akankah mereka tetap terpaksa belajar di sekolah dengan fasilitas
minim, atau lebih buruk lagi, putus sekolah?
Keraguan saya semakin
dalam ketika mengingat sejarah proyek-proyek pendidikan kita. Berapa banyak
inisiatif yang dimulai dengan gegap gempita besar namun kemudian menghilang
dalam senyap? Ingat Sekolah Bertaraf Internasional? Atau Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional? Proyek-proyek ini banyak yang berakhir tanpa evaluasi
memadai atau keberlanjutan jelas. Akankah Sekolah Rakyat bernasib sama?
Akan tetapi, di tengah
segala keraguan, saya masih melihat secercah harapan. Jika—dan ini adalah
"jika" yang besar—Sekolah Rakyat dirancang dengan cermat sebagai bagian
dari strategi peningkatan pendidikan yang komprehensif, inisiatif ini bisa
menjadi game-changer. Jika—sekali lagi, "jika" yang besar—ada
transparansi dalam pengelolaan, keterlibatan komunitas dan stakeholders
pendidikan lainnya dalam pengambilan keputusan, serta komitmen pendanaan jangka
panjang, Sekolah Rakyat bisa menjadi model yang menginspirasi reformasi
pendidikan secara luas.
Saya teringat perkataan
seorang kolega, Muhammad Nur Rizal dari UGM, bahwa pendidikan kita masih
terjebak dalam paradigma "hardware"—gedung, fasilitas, peralatan—dan
kurang memperhatikan "software"—kurikulum
yang relevan, metode mengajar yang efektif, guru yang termotivasi. Perkataan
ini memang pedas, tapi sarat kebenaran.
Ki Hajar Dewantara,
jauh sebelum era digital, sudah mengingatkan bahwa pendidikan adalah daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Dalam
perspektif ini, gedung mewah hanyalah wadah. Yang lebih penting adalah
isinya—interaksi manusiawi antara guru dan murid, kurikulum yang membangkitkan
keingintahuan, lingkungan yang mendorong eksplorasi.
Saya membayangkan jika
40 Sekolah Rakyat ini benar-benar menjadi laboratorium inovasi pendidikan. Jika
di dalamnya, guru-guru terbaik diberikan kebebasan untuk mengembangkan metode
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid. Jika kurikulumnya dirancang tidak
hanya untuk mengejar nilai ujian, tapi juga untuk membangun karakter,
kreativitas, dan keterampilan hidup. Jika lulusannya tidak hanya mendapatkan
ijazah, tapi juga kepercayaan diri dan kemampuan untuk berkontribusi pada
masyarakat.
Jika semua
"jika" ini terpenuhi, maka Sekolah Rakyat layak didukung—tidak
sebagai proyek terpisah yang eksklusif, tapi sebagai katalis perubahan yang
menginspirasi seluruh sistem pendidikan kita.
![]() |
situasi siswa SDK Naibone Kabupaten Malaka sedangan mengikuti pembelajaran di dalam kelas |
Anies Baswedan dalam
ceramah Ramadan di UGM mengingatkan kita bahwa "pendidikan itu bukan
sekadar bangunan kampus yang megah dan banyak fasilitas, tapi juga lingkungan
sekitar kampusnya yang akan mendidik para mahasiswa untuk belajar hidup
sesungguhnya." Pesan ini perlu kita renungkan dalam-dalam.
Sebagai pendidik yang
masih percaya pada kekuatan transformatif pendidikan, saya berharap Sekolah
Rakyat tidak hanya menjadi monumen prestise, tetapi sungguh-sungguh menjadi
ruang untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu menemukan jalan menuju masa
depan yang lebih baik. Lebih dari itu, saya berharap inisiatif ini menjadi awal
dari reformasi pendidikan yang lebih luas—yang menjangkau tidak hanya 20.000
anak terpilih, tetapi jutaan anak Indonesia yang masih menunggu kesempatan
untuk meraih mimpi mereka.
Bukankah itu esensi
pendidikan sesungguhnya? Bukan seberapa megah gedungnya, tetapi seberapa dalam
pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bukan seberapa terpilih muridnya, tetapi
seberapa terbuka aksesnya bagi semua anak. Bukan seberapa besar anggarannya,
tetapi seberapa bijak penggunaannya.
Mari kita kawal Sekolah
Rakyat ini dengan harapan tinggi, mata kritis, dan hati yang peduli pada semua
anak Indonesia—baik yang terpilih masuk Sekolah Rakyat maupun yang tidak.
Salam Cerdas dan
Humanis.