Keprihatinan ini bukan
sekadar kekhawatiran abstrak tentang pembagian kekuasaan. Ini tentang
pergeseran fundamental dalam kultur dan nilai yang akan membentuk masa depan
bangsa kita. Ketika kultur militer yang hierarkis dan berorientasi pada
perintah mulai merembes ke lembaga-lembaga sipil, bagaimana mungkin kita
mempertahankan etos demokratis yang mengedepankan dialog, deliberasi, dan
perbedaan pendapat? Ketika loyalitas pada institusi dan atasan menjadi nilai
utama, bagaimana mungkin kita memelihara kebebasan berpikir dan bersuara?
Implikasi dari UU TNI
ini terhadap dunia pendidikan sangatlah mendalam. Sejak Reformasi, kampus-kampus
di Indonesia telah menjadi ruang publik terpenting bagi pertumbuhan pemikiran
kritis dan dialog demokratis. Diskusi-diskusi terbuka tentang pelanggaran HAM
masa lalu, kritik terhadap kebijakan pemerintah, eksplorasi gagasan-gagasan
alternatif untuk masa depan Indonesia—semua ini hanya mungkin terjadi dalam
lingkungan yang menghormati kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat.
Namun, rembesan kultur
militer ke ranah sipil berpotensi mengubah ini semua. Pengalaman dari
negara-negara dengan pengaruh militer yang kuat dalam struktur kekuasaan
menunjukkan pola yang sama: pembatasan terhadap materi pembelajaran, pengeditan
buku teks untuk menghapus sejarah kontroversial, pengawasan terhadap aktivitas
mahasiswa dan dosen, dan dalam kasus ekstrem, penangkapan terhadap akademisi
yang dianggap terlalu kritis.
Perubahan ini mungkin
tidak akan terjadi dalam sekejap. Ia akan merayap perlahan-lahan, hampir tidak
terasa—sebuah aturan kampus baru di sini, sebuah kebijakan pembatasan kegiatan
mahasiswa di sana, seorang dosen yang tiba-tiba ditegur atau dipindahkan karena
pernyataannya yang dianggap "tidak tepat". Ketika kita menyadarinya,
kebebasan akademik yang selama ini kita nikmati sudah terkikis habis.
Kesadaran tentang
bahaya ini telah mendorong gelombang protes di berbagai kampus di seluruh
Indonesia. Para mahasiswa dan dosen yang turun ke jalan bukan hanya
memperjuangkan prinsip abstrak supremasi sipil, tapi juga melindungi
ruang-ruang demokratis konkret yang telah mereka bangun dengan susah
payah—ruang kelas di mana mereka bisa berdebat secara terbuka, seminar di mana
mereka bisa mengundang pembicara kontroversial, jurnal di mana mereka bisa
mempublikasikan penelitian kritis.
Dosen UGM, Joash
Tapiheru, mengungkapkan kekhawatiran tepat ketika ia mengatakan bahwa UU TNI
yang baru ini akan mempengaruhi kebebasan berekspresi mahasiswa di kampus. Kita
telah melihat bagaimana pengawasan dan pembatasan terhadap kebebasan akademik
dapat menghambat perkembangan intelektual dan keilmuan suatu bangsa.
Negara-negara dengan sejarah panjang intervensi militer dalam pendidikan
seringkali tertinggal dalam inovasi dan pemikiran orisinal—dua hal yang sangat
kita butuhkan di era digital dan ketidakpastian global saat ini.
Lebih jauh lagi,
militerisasi pendidikan berpotensi memperdalam kesenjangan yang sudah ada. Di
tengah pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp 22,3 triliun dan
proyek-proyek prestisius yang hanya menguntungkan segelintir sekolah elite
(seperti program AI dan coding yang digaungkan belakangan ini), intervensi
militer dalam pendidikan akan semakin mempersempit akses terhadap pendidikan
kritis dan berkualitas.
Kita perlu memahami
bahwa pendidikan bukan sekadar tentang transfer pengetahuan atau pengembangan
keterampilan teknis. Pendidikan sejati adalah tentang pembentukan warga negara
yang utuh—individu yang mampu berpikir mandiri, menganalisis informasi secara
kritis, dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Ketika kebebasan
berpikir dan bersuara dibatasi, kita tidak hanya kehilangan ruang akademik,
tapi juga kehilangan fondasi dari masyarakat demokratis itu sendiri.
Namun di tengah
keprihatinan ini, ada juga alasan untuk tetap optimis. Pertama, kesadaran
tentang pentingnya demokrasi dan kebebasan akademik telah tertanam begitu dalam
di kalangan generasi muda Indonesia. Mereka yang bahkan belum lahir di era Orde
Baru memiliki pemahaman intuitif tentang bahaya militerisasi ranah sipil.
Ribuan mahasiswa yang turun ke jalan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar,
dan kota-kota lain membuktikan bahwa nilai-nilai demokratis telah menjadi
bagian dari identitas mereka—sesuatu yang tidak akan mudah dihapus oleh
perubahan struktural apa pun.
Kedua, komunitas
akademik Indonesia telah membangun jaringan solidaritas yang kuat, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Aliansi antar kampus, organisasi
masyarakat sipil, dan dukungan dari komunitas akademik global akan menjadi
benteng penting dalam mempertahankan kebebasan akademik. Ketika seorang dosen
atau mahasiswa dikriminalisasi karena pandangan kritisnya, komunitas ini akan
bereaksi dan mengorganisir perlawanan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perkembangan
teknologi dan media sosial memungkinkan sirkulasi informasi dan gagasan
alternatif yang sulit dibendung. Bahkan di negara-negara dengan kontrol ketat
terhadap kebebasan akademik formal, diskusi-diskusi kritis tetap berkembang
melalui saluran-saluran informal. Platform digital, forum diskusi online, dan
jaringan komunikasi alternatif akan terus menjadi ruang perlawanan terhadap
pembatasan kebebasan berpikir.
Tantangan kita sekarang
adalah mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan ini ke dalam strategi perlawanan
yang efektif dan berkelanjutan. Pertama, kita perlu mendokumentasikan dan
melaporkan setiap bentuk pembatasan kebebasan akademik, sekecil apa pun.
Pencatatan sistematis ini akan memberikan bukti konkret tentang dampak UU TNI
terhadap dunia pendidikan.
Kedua, kita perlu
membangun koalisi yang lebih luas, tidak hanya dengan sesama akademisi dan
mahasiswa, tapi juga dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil
lainnya—jurnalis, seniman, aktivis HAM, dan kelompok marginal yang akan
terdampak oleh militerisasi ruang sipil. Koalisi yang lebih beragam akan
memiliki legitimasi dan kekuatan yang lebih besar.
Ketiga, kita perlu
terus mengembangkan pedagogi kritis yang membekali mahasiswa dengan
keterampilan berpikir independen, menganalisis informasi, dan mempertanyakan
otoritas. Bahkan dalam lingkungan yang represif, kita bisa memelihara pemikiran
kritis melalui metode-metode pembelajaran yang mendorong refleksi dan dialog.
Perjalanan demokrasi
selalu penuh dengan pasang surut. Ada masa-masa kemajuan pesat, dan ada
masa-masa kemunduran yang mengkhawatikan. Namun, yang terpenting adalah kita
tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan nilai-nilai yang kita
yakini—kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan martabat manusia.
Pengesahan UU TNI
mungkin menandai dimulainya era baru yang lebih menantang bagi demokrasi dan
pendidikan kritis di Indonesia. Tapi selama masih ada akademisi yang berani
mengajarkan pemikiran kritis, mahasiswa yang berani mempertanyakan status quo,
dan warga negara yang berani turun ke jalan untuk membela kebenaran—selama itu
pula, mimpi tentang Indonesia yang demokratis dan berkeadilan tidak akan pernah
mati. ***