Di hadapan ribuan umat
dan para tokoh penting gereja serta negara, suara sang gubernur bergetar.
Berkali-kali ia harus menghentikan pidatonya untuk menghapus air mata yang
mengalir di pipinya. Tangis itu bukan sekadar luapan emosi pribadi, tapi simbol
nyata dari cinta mendalam seluruh masyarakat NTT kepada sosok gembala yang
selama 27 tahun telah menabur kasih dan pengabdian di bumi Flobamora.
“Setahun lalu, beliau
masih bercanda di altar ini saat pentahbisan Uskup Roni Pakaenoni. Kini, altar
ini menjadi saksi kepergian beliau,” ujar Melki dengan suara tertahan. “Uskup
Turang bukan hanya milik umat Katolik. Beliau milik kita semua.”
Lebih dari seorang
pemimpin rohani, Mgr. Petrus Turang dikenang sebagai pengayom lintas agama,
penabur damai, dan pejuang keadilan sosial. Kepergiannya tak hanya menyisakan
duka di hati umat Katolik, tapi juga mengguratkan kehilangan di seluruh lapisan
masyarakat NTT.
Gubernur Melki
menegaskan, jejak Uskup Turang akan selalu menjadi kompas moral bagi
pemerintahan dan masyarakat NTT. Ia bahkan menyebut mendiang sebagai “primus
inter pares”—yang utama di antara yang setara—bagi masyarakat NTT.
Gubernur Melki Laka
Lena juga mengenang bagaimana Uskup Turang kerap memberikan masukan kritis
kepada pemerintah dengan penuh kasih dan ketegasan. “Verba docent, exempla
trahunt,” kata Melki mengutip pepatah Latin. “Kata-kata mengajar, tapi
teladanlah yang menarik.”
Misa pemakaman dipimpin
langsung oleh Uskup Agung Kupang, Mgr. Hironimus Pakaenoni, Pr, bersama dua
uskup konselebran: Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC dan Mgr. Dominikus
Saku, Pr.
Kepergian Mgr. Turang
turut mendapat penghormatan dari Presiden Prabowo Subianto yang secara khusus
melayat jenazah almarhum di Jakarta, menunjukkan betapa besar pengaruh dan
kecintaan bangsa kepada beliau.
“Selamat jalan salah
satu putra terbaik NTT. Finis vitae sed non amoris – kematian hanyalah akhir
dari hidup, tapi bukan akhir dari cinta,” tutup Melki, menundukkan kepala penuh
haru.
Air mata sang Gubernur
adalah air mata seluruh rakyat NTT. Sebuah penghormatan terakhir yang tak
terucapkan, tapi terasa dalam setiap lirih doa dan hening duka.*