Menarik memang mengulik
masalah perempuan terutama tentang pernikahan. Dalam tradisi Kristen Katolik
pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan tak terceraikan. Maka kesucian
kedua mempelai sangat dijaga. Penyelewengan terhadapnya dianggap melanggar
prinsip dan hukum ilahi.
Sehingga dalam tataran
masyarakat yang konservatif kesucian kedua mempelai adalah keniscayaan. Bahkan
ada tradisi pembuktian atas kesucian seorang perempuan pada malam pertama
pengantin.
Pada pernikahan mulia,
mempelai perempuan menyerahkan kesucian secara totalitas, tanpa mempertanyakan
kesucian pasangannya. Konsep kesucian ini menjadi momok bagi kaum perempuan.
Sedangkan pada
pernikahan yang dianggap tidak mulia disebabkan hidup bersama sebelum ikrar
suci yang disahkan oleh lembaga adat maupun agama. Kedua lembaga itu sangat
berperan penting dalam memunculkan stigam mulia dan tidak mulia itu.
Stigma ini kemudian
berkembang luas sampai saat ini. Akibatnya semua orang menerimanya begitu saja
tanpa mempertanyakan lebih jauh.
Ketidaksucian seorang
perempuan akan berdampak buruk pada citra diri dan masa depan rumah tangganya.
Sebab tidak jarang dianggap sebagai perempuan yang tidak bermartabat.
Yang paling fatal
terjadi perlakuan diskriminatif bahkan berujung pada perceraian. Padahal
kesucian (keperawanan) bukan dilihat dari robeknya selaput darah. Sebab kalau
ini yang menjadi pendasaran akan berdampak buruk bagi kaum perempuan.
Kesucian pernikahan
pada masyarakat yang konservatif sering kali melihat pernikahan dari penampakan
lahiriah saja bukan pada penampakan batiniah.
Kesucian (keperawanan)
dianggap jauh lebih penting dari pada sakramen perkawinan itu sendiri. Sehingga
orang lupa menghayati sakramen sebagai sebuah ikatan suci yang mengikat kedua mempelai.
Cara pandang semacam itu telah mereduksi kemanusiaan kaum perempuan.
Masyarakat kita sudah
terjebak pada pemahaman yang keliru dari pernikahan. Pada prinsipnya pernikahan
itu sakral pada dirinya sendiri sebab ada intervensi ilahi yang menyatukan kedua
mempelai. Sehingga tidak ada lagi pernyataan pernikahan mulia dan tidak mulia.
Yang memuliakan pernikahan itu yang ilahi itu sendiri bukan manusia.
Yang tidak mulia itu
terjadi jika salah satu dari mempelai mengkhianati pernikahan. Sebaliknya
pernikahan itu mulia sejauh merawat pernikahan dengan menghargai pasangan satu
sama lain.
Kita telah terjebak
pada konsep yang keliru sehingga sering kali memojokkan sekaligus merugikan
kaum perempuan. Dengan demikian kita mesti kembalikan martabat kaum perempuan yang
sudah direnggut oleh stigma negatif yang berkembang luas dalam masyarakat.
Kita juga perlu
mengkritisi tradisi dan agama yang telah menyudutkan kaum perempuan dengan
stigma yang tidak manusiawi. Nikah mulia dan tidak mulia adalah stigma yang
dibangun oleh tatanan tradisi dan gereja.
Hal ini dipertegas oleh
Nawal El Saadawi sorang feminis Mesir yang dalam hidupnya dengan gigih
menentang tradisi dan agama. Ia menyalahkan agama sebagai akar dari
terpinggirkannya posisi perempuan atau perspektif religion as a misery
cause for women.
Dalam bukunya Perempuan
dalam Budaya Patriarki, yang terbit pada tahun 1979, ia mengkritisi praktik
masyarakat Mesir yang tidak manusiawi yang cenderung mereduksi kemanusiaan
perempuan. Ia mengkritisi praktik killing
by honour yang terjadi akibat tradisi kehormatan keluarga akibat
perempuan tidak perawan lagi.
Perempuan layak dibunuh
demi kehormatan keluarga. Killing by
honour merupakan tindakan kriminal sewenang-wenang yang diwajarkan
oleh aparat penegak hukum. Jarang ada keadilan yang diberikan kepada perempuan
korban dengan dalih menjaga kehormatan keluarga. Sementara itu, tak ada beban
hukum atau sanksi sosial apapun terhadap laki-laki yang menyebabkan hilangnya
keperawanan seorang perempuan.
Ketika kehormatan
keluarga dibebankan kepada perempuan, laki-laki bebas mengeksplor
seksualitasnya tanpa harus takut pada dampaknya.*