Komisi VI DPR RI memberikan sejumlah catatan kritis implementasi program percepatan pembentukan 80 ribu Kopdes dan kelurahan Merah Putih. Program ini masih menyimpan sejumlah persoalan mendasar.
Suara Numbei News - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid memberikan sejumlah catatan kritis implementasi program percepatan pembentukan 80 ribu koperasi desa (Kopdes) dan kelurahan Merah Putih.
Menurutnya, program
yang digulirkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 ini
masih menyimpan sejumlah persoalan mendasar. Adapun legislator melihat program
ini juga sebagai langkah ambisius dan berani.
Pertama, pencapaian
target kuantitatif tidak boleh mengesampingkan kualitas koperasi yang dibentuk.
Catatan DPR, per 25 Mei 2025, sudah ada sekitar 45.053 koperasi yang terbentuk
atau sekitar 54,26% dari target. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa demi
mengejar angka, akan menciptakan koperasi yang tidak berdampak bagi masyarakat.
"Jangan sampai
karena mengejar angka kita disebarkan koperasi-koperasi kertas, koperasi yang
hanya tercatat secara administratif dan tidak memiliki kegiatan usaha nyata
yang berdampak bagi masyarakat," katanya dalam rapat Komisi VI bersama
Menteri Koperasi, Jakarta, Senin (26/5).
Kedua, dia juga
menyoroti lemahnya kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur digital yang
menjadi penopang tata kelola koperasi. Padahal, dia menekankan, rasio tenaga
pendamping koperasi dinilai masih sangat timpang dibandingkan jumlah desa yang
ada.
Selain itu, ketiga,
hingga kini belum tersedia platform digital nasional untuk memantau legalitas,
aktivitas usaha, hingga pelaporan keuangan koperasi secara real-time.
“Ketiadaan sistem
digital ini menghambat transparansi dan tata kelola yang sehat. Padahal
koperasi harus diawasi dan dibina secara berkelanjutan,” ujarnya.
Keempat, kritik lain
datang dari potensi tumpang tindih antara koperasi desa dan Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes). Dia menjelaskan di lapangan, kedua entitas ini kerap menjalankan
jenis usaha serupa, mulai dari sembako hingga layanan simpan pinjam.
"Tanpa ada
regulasi teknis yang dilakukan tegas berisiko menimbulkan komplikasi dualisme
peran hingga kebingungan di tingkat masyarakat sebagai pengguna layanan ekonomi
desa," tekannya.
Nurdin juga
memperingatkan soal keran pendanaan dari Dana Desa dan CSR untuk koperasi yang
dibuka tanpa sistem pengawasan yang ketat. Menurutnya, hal ini bisa menimbulkan
moral hazard dan penyalahgunaan dana publik.
“Tanpa verifikasi dan
akuntabilitas yang kuat, dana desa dan CSR bisa jadi sumber pemborosan, bukan
pemberdayaan,” katanya.
Lebih jauh, ia
menyoroti skema pembiayaan koperasi melalui pinjaman dari bank-bank Himbara
yang akan dicicil dari dana desa. Skema ini dinilai berisiko tinggi bagi fiskal
desa, serta membuka peluang meningkatnya kredit bermasalah di sektor perbankan.
“Jangan sampai
desa-desa kita justru terjebak dalam jeratan utang yang tidak sehat karena
koperasi dibentuk tanpa prospek yang jelas,” tambahnya.
Terakhir, Komisi VI DPR
menegaskan bahwa koperasi tidak boleh dibangun dengan ketergantungan penuh pada
subsidi dari pemerintah. Ketergantungan pada APBN, dana desa, dan CSR dinilai
membuat koperasi rawan stagnan dan mati suri ketika aliran subsidi dihentikan.
“Koperasi harus mandiri
dan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Jika hanya bergantung pada bantuan,
koperasi tidak akan berkelanjutan,” tutup Nurdin. *** validnews.id