Dengan target ambisius
membentuk koperasi di 80.000 desa, pemerintah berharap koperasi ini menjadi
motor penggerak ekonomi desa, memotong ketergantungan masyarakat pada
tengkulak, rentenir, dan pinjaman online ilegal, sekaligus menjadi pilar
ketahanan pangan nasional.
Namun, harapan besar
ini menyimpan tantangan yang tidak kecil, apalagi jika kita belajar dari
sejarah kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu. KUD, yang dulunya
diagungkan sebagai instrumen utama pembangunan ekonomi desa, justru menjadi
contoh nyata bagaimana program ambisius pemerintah bisa kandas karena berbagai
persoalan struktural dan kelembagaan.
Oleh karena itu,
Koperasi Desa Merah Putih perlu dikawal ketat agar tidak mengulangi sejarah
kelam KUD.
Refleksi Kritis: Belajar dari Sejarah Kegagalan KUD
Membahas Koperasi Desa
Merah Putih tidak bisa dilepaskan dari refleksi sejarah Koperasi Unit Desa.
KUD pada awalnya
digagas sebagai lembaga ekonomi milik masyarakat desa yang diharapkan menjadi
pusat aktivitas ekonomi berbasis koperasi. Ia menjadi kepanjangan tangan negara
dalam mendistribusikan pupuk, benih, dan kebutuhan pokok petani. Namun,
keberhasilan KUD hanya sesaat.
Ketika dukungan politik
dan finansial dari negara melemah, KUD berangsur-angsur kolaps.
Penyebabnya bukan hanya
karena berkurangnya subsidi pemerintah, tetapi juga karena KUD tidak pernah
dibangun sebagai koperasi yang mandiri. Ia lahir dari gagasan top-down yang
memaksakan bentuk kelembagaan dari pusat ke desa, tanpa memperhatikan dinamika
lokal, kapasitas sumber daya manusia desa, dan kebutuhan nyata masyarakat.
KUD menjadi koperasi
yang kaku, tidak fleksibel, dan hanya bergantung pada “pemberian” pemerintah,
bukan koperasi yang tumbuh dari kebutuhan dan inisiatif warga.
Bahaya Ketergantungan pada Dana dan Negara
Koperasi Desa Merah
Putih berpotensi besar mengalami hal yang sama jika tidak dikelola hati-hati.
Dengan rencana
pemerintah menyalurkan Rp 3-5 miliar untuk setiap koperasi dan memanfaatkan
pembiayaan dari Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA), terlihat jelas koperasi
ini sejak awal sudah bertumpu pada dukungan keuangan eksternal, bukan inisiatif
warga.
Meski dana besar memang
diperlukan untuk memulai usaha produktif, ketergantungan koperasi pada skema
pembiayaan luar berpotensi menciptakan jebakan hutang baru. Apalagi, jika
koperasi ini tidak punya unit usaha yang berjalan baik, maka beban pengembalian
dana ke bank BUMN akan menjadi bencana finansial baru di desa-desa.
Kita tahu, salah satu
penyebab gagalnya KUD adalah ketidakmampuan mereka mengelola bisnis secara
profesional.
Koperasi-koperasi ini,
yang dulunya hidup karena “disuntik” proyek dan dana pemerintah, mendadak jatuh
ketika subsidi berhenti.
Jika Koperasi Desa
Merah Putih dibangun dengan cara yang sama—hanya mengandalkan “bantuan” tanpa
penguatan kapasitas bisnis—nasib serupa bisa terulang, bahkan dengan skala
kerugian yang lebih besar mengingat besarnya dana yang terlibat.
Politik dan Koperasi: Bahaya Intervensi Kekuasaan
Koperasi, dalam teori
dan praktiknya, adalah badan usaha yang berbasis anggota dan kedaulatan
anggota.
Namun, sejarah KUD
menunjukkan bahwa koperasi desa bisa sangat rentan disusupi oleh kepentingan
politik.
Di masa Orde Baru, KUD
menjadi alat politik dan ekonomi yang dikendalikan oleh elite lokal dan pusat.
Akibatnya, keputusan koperasi lebih ditentukan oleh penguasa daripada oleh
anggota. Kini, ancaman yang sama membayangi Koperasi Desa Merah Putih.
Ketika program ini
didesain dan dikendalikan pemerintah pusat, tanpa memperhatikan otonomi desa
dan partisipasi nyata masyarakat, maka koperasi-koperasi ini bisa jadi hanya
sekadar “alat” kekuasaan baru, bukan lembaga ekonomi masyarakat.
Sudah muncul
kekhawatiran dari kepala desa yang menolak Kopdes Merah Putih karena
menganggapnya proyek yang dipaksakan, tanpa melalui musyawarah desa.
Penolakan ini adalah
sinyal keras bahwa pelaksanaan Kopdes Merah Putih tidak boleh sekadar mengikuti
perintah pusat.
Pemerintah harus
mengakui bahwa desa memiliki kedaulatan untuk menentukan bentuk kelembagaan
ekonominya sendiri. Jika tidak, koperasi-koperasi ini hanya akan menjadi
simbol, tanpa kehidupan ekonomi yang nyata di dalamnya.
Kapasitas SDM: Fondasi Utama yang Terabaikan
Isu mendasar lain yang
perlu digarisbawahi adalah kapasitas sumber daya manusia (SDM) desa dalam
mengelola koperasi.
Pengalaman KUD menunjukkan
bahwa tanpa pengurus yang profesional, koperasi bisa jadi ladang korupsi dan
kolusi.
Banyak KUD yang
dikelola seadanya, tanpa akuntabilitas dan transparansi keuangan. Koperasi
akhirnya runtuh oleh utang, salah urus, dan penggelapan dana.
Koperasi Desa Merah
Putih, jika hanya dibentuk secara administratif tanpa menyiapkan SDM yang paham
manajemen koperasi modern, akuntansi, bisnis, dan hukum, pasti akan bernasib
sama.
Pemerintah harus paham
bahwa membangun koperasi bukan sekedar memberi modal, tetapi menciptakan
ekosistem kewirausahaan sosial di desa. Tanpa itu, koperasi hanya nama, tanpa
makna.
BUMDes vs Koperasi: Potensi Tumpang Tindih dan
Konflik
Satu isu krusial lain
yang belum tuntas adalah potensi tumpang tindih antara Koperasi Desa Merah
Putih dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sejak UU Desa disahkan,
BUMDes menjadi lembaga ekonomi resmi desa yang dikelola berdasarkan musyawarah
desa.
Jika tiba-tiba ada
koperasi desa yang juga dikelola untuk tujuan ekonomi serupa, muncul persoalan
siapa yang berwenang, bagaimana pembagian peran, dan bagaimana pengelolaan aset
desa.
Jika Koperasi Desa
Merah Putih tidak dikelola hati-hati, akan muncul dualisme kelembagaan yang
tidak sehat.
Apalagi, jika
pemerintah pusat lebih memprioritaskan koperasi dan mengabaikan BUMDes, ini
akan menjadi konflik baru antara pemerintah desa dan pusat. Akibatnya,
masyarakat desa akan menjadi korban kebijakan yang tumpang tindih dan tidak
jelas arahnya.
Niat Besar Tanpa Pengawasan Besar Berbuah Kegagalan
Koperasi Desa Merah
Putih adalah ide besar yang perlu dikawal dengan pengawasan besar.
Sejarah KUD harus
menjadi pelajaran berharga, bahwa koperasi tidak bisa dibangun hanya dengan
dana besar dan niat baik pemerintah.
Koperasi harus lahir
dari kebutuhan masyarakat, dikelola oleh anggota, dan diawasi secara ketat oleh
sistem internal dan eksternal. Tanpa itu, koperasi ini hanya akan menjadi
“proyek mercusuar” yang tampak megah di atas kertas, tetapi runtuh dalam
kenyataan.
Pemerintah perlu
melibatkan semua pihak—desa, akademisi, praktisi koperasi, dan masyarakat
sipil—untuk merancang, melaksanakan, dan mengawasi Koperasi Desa Merah Putih.
Jangan sampai koperasi
ini menjadi ladang korupsi baru, beban utang baru, dan konflik baru di desa.
Jika niat pemerintah benar-benar ingin mensejahterakan desa, maka cara-cara
membangun koperasi harus demokratis, transparan, dan berbasis kebutuhan lokal,
bukan sekedar memenuhi target politik nasional.
Karena itu, *awas
Koperasi Desa Merah Putih terjebak nasib serupa KUD!* Niat besar perlu dikawal
dengan pengawasan besar, atau sejarah akan mengulangi dirinya, dan kali ini,
dengan kerugian yang lebih besar lagi.