Gerakan hak asasi
manusia berseru paling kencang, kelompok demokrasi dan liberalisme merasa
paling tercerahkan, tak ketinggalan organisasi agamis yang vokal, bahkan
organisasi kepemudaan yang memproklamirkan diri paling nasionalis. Mereka semua
berlomba menunjukkan siapa yang paling benar, paling suci.
Sungguhpun begitu, bila
jujur dan membedah Nietzsche, sebuah kenyataan pahit mungkin terungkap, di
balik tabir moralitas itu, bisa jadi bersembunyi ressentiment yang mengakar,
lahir dari ketimpangan sosial yang menganga.
Friedrich Nietzsche,
filsuf yang seringkali dianggap getir namun realistis, dalam Genealogi
Moralitas (M. S. Kaelan, 2004: 34–41), memperkenalkan konsep moralitas
budak—bukan sekadar teori abstrak, melainkan diagnosis tajam tentang naluri
manusia.
Moralitas tersebut
lahir dari ressentiment—dendam, iri
hati, dan amarah terpendam dari mereka yang merasa lemah, tertindas, atau tak
berdaya. Karena tak mampu melawan secara langsung kekuatan atau privilege yang
menindas, kaum "budak" menciptakan sistem nilai tandingan di mana
kekuatan dan dominasi dicap "jahat," sementara kerendahan hati dan
penderitaan dielu-elukan sebagai "kebaikan."
Hal ini, kata
Nietzsche, adalah topeng moralitas sempurna untuk menyalurkan kebencian yang
mendalam, sebuah penipuan diri yang masif.
Tidak heran jika
pemikiran Nietzsche ini masih terus dibedah. Alexander Prescott, dalam esainya
di Aeon (2024) berjudul "Nietzsche's
ideas about morality were shaped by philology," semakin memperkuat
pemahaman tentang akar historis dan manifestasi kontemporer dari moralitas yang
reaktif ini.
Secara sosiologis, akar
ketimpangan sosial adalah rahim bagi tumbuhnya kondisi ressentiment.
Kesenjangan ekonomi yang melebar, akses terhadap keadilan dan sumber daya yang
tersumbat, konsentrasi kekuasaan di segelintir elit, struktur kesempatan yang
berbeda serta hal lainnya bagi berbagai kelompok masyarakat, menciptakan jutaan
"budak" dalam konteks modern.
Mereka yang merasa
terus-menerus dirugikan, dipinggirkan, atau tidak punya daya tawar di hadapan
kekuatan-kekuatan dominan, akhirnya mencari saluran untuk melampiaskan
kekecewaan yang terakumulasi.
Analisis ini sangat
selaras dengan Teori Konflik dalam sosiologi, yang memandang masyarakat sebagai
arena perebutan kekuasaan dan sumber daya antara kelompok-kelompok yang
berbeda. Ketimpangan sosial dipahami sebagai hasil dari dominasi satu kelompok
atas kelompok lain, yang menciptakan kondisi ideal bagi tumbuhnya ressentiment.
Jika Marx berfokus pada
ketimpangan ekonomi dan konflik, Max Weber, dalam Ekonomi dan Masyarakat (S. A.
Syamsuri, 1985: 315–320), memperluas analisis bahwa ketimpangan dan konflik
tidak hanya berasal dari dimensi kelas ekonomi, tetapi juga dari status sosial
dan kekuasaan politik.
Bisa dikatakan
ressentiment yang muncul dari ketimpangan dapat berasal dari ketidakadilan
ekonomi (kelas), keterpinggiran status (status), dan ketidakberdayaan politik
(kekuasaan).
Lihatlah bagaimana
fenomena penghakiman publik daring menjamur. Ketika seseorang, terutama yang
punya panggung dan privilege (kekuasaan
dan status yang tinggi), melakukan kesalahan—nyata atau tidak—gelombang
kemarahan tak terbendung.
Jeritan
"keadilan" menggema, menuntut penghakiman dan kehancuran reputasi
total, kadang tanpa proses hukum yang layak. Topeng moralitas ini begitu
efektif, pihak yang menyerang merasa menjadi "baik" karena menghukum
"yang jahat," padahal yang terjadi adalah pelampiasan emosi negatif
akibat ketimpangan yang mendera.
Ressentiment semacam
itu merasuk ke dalam relung-relung kehidupan sosial yang lebih luas. Ketika
keadilan terasa mahal, suara rakyat kecil diabaikan, korupsi merajalela tanpa
hukuman setimpal, kemarahan terus terakumulasi, mencari jalannya sendiri,
melalui moralitas yang disederhanakan dan menghakimi.
Hal ini bukan lagi
tentang mencari solusi substantif, tetapi mencari kambing hitam dan
melampiaskan amarah yang memuncak. Ketimpangan sosial membiakkan kekecewaan
yang kemudian menemukan katarsisnya dalam bentuk moralisme reaktif.
Politik Moral “Gerakan Moral”
Ressentiment merasuki
berbagai gerakan-gerakan moral dan politik. Gerakan HAM, betapapun mulia
tujuannya, kadang terjebak dalam perang suci moral dogmatis. Kritik berubah
menjadi vonis, perbedaan pandangan dilabeli kejahatan tak termaafkan. Mereka
yang merasa paling benar, lupa bahwa klaim kebenaran mutlak bisa jadi adalah
wujud ressentiment terhadap yang berkuasa atau tak sejalan.
Pun demikian dengan
diskursus demokrasi dan liberalisme. Para penganutnya sering mengklaim diri
pembawa obor kemajuan. Akan tetapi, ironisnya, ketika yang tak sejalan langsung
dilabeli "anti-demokrasi" atau "radikal," atau ketika
"kebebasan" hanya berlaku bagi kelompok mereka, topeng moralitas
mulai terlihat jelas. Hal tersebut bisa jadi ressentiment terhadap
konservatisme, termanifestasi sebagai superioritas moral elitis.
Bahkan, tidak jarang
gerakan politik kiri, sejatinya lahir dari kepedulian terhadap kaum tertindas,
dapat terseret pusaran ressentiment. Perjuangan keadilan sosial bergeser
menjadi penghakiman moral tak kenal ampun terhadap "kapitalis" atau
"liberal," tanpa ruang nuansa atau solusi pragmatis. Kemarahan yang
sah terhadap ketimpangan dapat bermetamorfosis menjadi moralitas yang menuntut
penghancuran total tanpa visi konstruktif yang jelas.
Serupa, beberapa
organisasi kepemudaan, dengan semangat meledak-ledak, tampil seolah paling
nasionalis dan benar dalam menjaga identitas bangsa. Klaim
"kemurnian" atau "penjaga tradisi" dapat berubah menjadi
kecaman keras terhadap siapa pun yang dianggap menyimpang.
Ketakutan akan
perubahan, bisa jadi bersembunyi di balik retorika nasionalisme yang menghakimi.
Topeng nasionalisme ini, dalam pandangan Nietzsche, bisa jadi adalah wujud ressentiment
terhadap kekuatan yang menggerus identitas tradisional.
Begitu pula dengan
organisasi agamis yang vokal. Mereka yang merasa paling benar, paling saleh,
dan berhak menentukan moralitas publik, tak jarang melampiaskan ressentiment
terhadap dunia yang tidak lagi patuh pada narasi kaku mereka. Semuanya
bersembunyi di balik klaim moral dogmatis.
Fenomena ini juga
membawa kita pada pemikiran Michel Foucault dalam ranah Post-Strukturalisme. The Archaeology of Knowledge (1972),
Foucault menjelaskan bagaimana wacana membentuk apa yang dapat dianggap sebagai
"kebenaran" dan "pengetahuan".
Penerapan "topeng
moralitas" ini, di mana satu pihak menghakimi pihak lain, dapat dilihat
sebagai bentuk dari kekuasaan disipliner yang beroperasi di ranah sosial,
membentuk siapa yang "baik" dan siapa yang "jahat" melalui
wacana moral.
Kemandulan Puritanisme
Ciri khas dari ressentiment, yang akan membuat
Nietzsche tersenyum pahit, adalah ketika gerakan-gerakan ini, dengan segala
klaim moral absolutnya, justru minim praksis dan solusi konstruktif. Dalam
konteks ini, patut disoroti pandangan "Puritanisme Aktivis
Transendental".
Pandangan ini
bersikukuh menjaga kesucian ideologis mereka dari segala pengaruh kekuasaan.
Dengan gestur ironis, mereka lantang menggembar-gemborkan sikap anti-sistem,
anti-partai politik, dan anti-anti lainnya.
Seolah, keberanian
sejati hanya bermanifestasi di luar gerbang institusi, dalam kritik tak pernah
bersentuhan dengan realitas implementasi. Pandangan ini terlihat koheren dalam
narasi teoretis, namun keliru dalam tataran praksis. Penolakan untuk terlibat
adalah bentuk lain dari penyerahan diri, bukan perlawanan efektif.
Jika merujuk pada Marx
dalam Tesis tentang Feuerbach
(Komunitas IndoPROGRESS, 2010: 15–16), ia tidak pernah mengindikasikan bahwa
perubahan substansial berasal dari penolakan buta terhadap mekanisme yang telah
ada. Justru sebaliknya, praksis sejati adalah tentang bagaimana secara aktif
mengubah dunia, bukan semata-mata menafsirkannya dari kejauhan.
Maka itu, ketika sebuah
gerakan terus-menerus mengutuk, dan menuding tanpa memberikan visi atau aksi
nyata yang memberdayakan, itu adalah indikasi kuat bahwa di balik topeng
moralitas yang berkilau, ada ressentiment
yang mengakar dalam ketidakberdayaan.
Memahami ressentiment bukanlah untuk menolak
semua perjuangan moral. Justru, Nietzsche mengajak untuk mencapai moralitas
yang lebih otentik. Dalam perspektif senada, Wendy Brown dalam karyanya States of Injury (1995: 52-76),
menganalisis bagaimana perasaan sakit hati dan ketidakberdayaan akibat
ketimpangan sosial dapat bermutasi menjadi ressentiment. Moralitas ini, menurut
Brown, cenderung mengikis potensi gerakan sosial untuk perubahan substantif.
Pada akhirnya,
tantangan adalah bagaimana menciptakan moralitas yang lahir dari keotentikan
dan kehendak untuk memberdayakan, bukan dari kebencian terpendam. Mungkin,
dengan sedikit keberanian untuk membedah Nietzsche, seiring perjalanan waktu
yang memdewasakan, akan membimbing kita keluar dari lingkaran topeng-topeng
moralitas yang dikenakan hari ini.