Guru dan Beban Standar Tinggi
Seorang guru adalah
pilar utama pendidikan, penuntun generasi bangsa menuju masa depan yang lebih
baik. Tidak berlebihan jika profesi ini kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun
ironinya, untuk menjadi guru di Indonesia, seseorang harus melewati jalan
panjang dan terjal. Minimal bergelar sarjana (S1), lulus dari pendidikan
profesi, memiliki sertifikasi, hingga berulang kali mengikuti ujian kompetensi.
Semua ini dilakukan demi memastikan kualitas pendidik yang profesional.
Persyaratan itu
sebetulnya masuk akal—karena tugas guru bukan perkara kecil. Ia bukan hanya
mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai, karakter, dan moral. Di
tangan gurulah lahir dokter, insinyur, ekonom, seniman, bahkan politisi yang
kelak memimpin bangsa. Namun justru karena begitu besar tanggung jawabnya, guru
kerap dituntut lebih tinggi dibandingkan penghargaan yang mereka terima. Honor
rendah, status kerja sering tidak menentu, bahkan perlindungan hukum terhadap
profesi ini kerap lemah.
Politikus dan Standar Rendah
Berbanding terbalik,
untuk menduduki kursi legislatif, menjadi bupati, gubernur, atau bahkan
presiden, syarat akademik yang dibebankan justru sangat minimalis: cukup
lulusan SMA atau sederajat. Undang-undang memang membuka peluang luas agar
setiap warga negara bisa ikut serta dalam politik, tanpa diskriminasi
pendidikan. Namun, di era kompleksitas global saat ini, tidakkah aneh jika
seorang pengambil kebijakan yang menentukan arah bangsa justru bisa saja minim
pengalaman akademik?
Seorang anggota DPR
memiliki wewenang membuat undang-undang. Seorang kepala daerah berhak mengelola
anggaran miliaran rupiah. Seorang presiden menentukan strategi besar dalam
diplomasi, ekonomi, hingga pertahanan negara. Apakah semua ini cukup diemban
hanya dengan modal ijazah SMA dan keberuntungan elektoral? Bukankah logikanya,
semakin besar tanggung jawab, semakin tinggi pula kapasitas intelektual yang
dibutuhkan?
Paradoks dalam Demokrasi
Paradoks ini
mencerminkan kelemahan demokrasi kita. Pemimpin politik dipilih bukan
berdasarkan kapasitas intelektual atau keahlian teknokratis, melainkan
berdasarkan popularitas, jaringan, dan kekuatan modal. Tak jarang figur publik
dari dunia hiburan atau tokoh populer tiba-tiba melenggang ke kursi parlemen
hanya bermodal ketenaran, meskipun rekam jejak intelektualnya meragukan.
Di sisi lain, seorang
guru yang mendedikasikan hidupnya bertahun-tahun untuk belajar, mengajar, dan
mengasah diri, justru tetap harus berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan
yang layak. Ketimpangan ini menggambarkan bahwa kita sering kali keliru dalam
menempatkan ukuran kualitas seseorang.
Refleksi Filosofis
Jika dipandang secara
filosofis, fenomena ini menunjukkan bagaimana bangsa kita masih terjebak dalam
logika pragmatis. Pendidikan dijunjung tinggi sebagai syarat untuk mengajar
anak-anak, tetapi ketika menyangkut kepemimpinan politik, standar pendidikan
diturunkan atas nama keterbukaan demokrasi. Seolah-olah mengatur negara adalah
hal yang lebih mudah daripada mendidik seorang anak di kelas.
Padahal, Aristoteles
pernah menekankan bahwa politik adalah the
highest form of art, seni tertinggi yang menentukan arah kehidupan bersama.
Maka seorang politikus seharusnya bukan hanya populer, tetapi juga bijaksana,
berpengetahuan, dan berakhlak.
Menuju Keseimbangan Baru
Lalu, apa yang bisa
dilakukan? Pertama, kita perlu meninjau ulang standar minimal pendidikan bagi
pejabat publik, terutama mereka yang memegang peran vital. Bukan berarti harus
menutup akses bagi rakyat kecil, tetapi ada baiknya diberikan mekanisme
pelatihan, pendidikan politik, atau sertifikasi tertentu sebelum seseorang
boleh mencalonkan diri.
Kedua, masyarakat juga
harus lebih kritis dalam memilih. Popularitas tidak boleh menjadi satu-satunya
ukuran. Kapasitas, integritas, dan visi yang jelas untuk rakyat seharusnya
menjadi pertimbangan utama.
Ketiga, penghargaan
terhadap profesi guru juga harus ditingkatkan. Jika guru diwajibkan
berpendidikan tinggi, maka kesejahteraan mereka pun harus sepadan. Tidak adil
jika guru dituntut standar tinggi tetapi hidupnya jauh dari layak.
Penutup
Kutipan sederhana dalam
gambar itu sebetulnya mengajak kita untuk merenung lebih dalam: tentang
keadilan, tentang standar ganda, dan tentang masa depan bangsa. Jika untuk
mendidik satu kelas anak-anak saja dibutuhkan pendidikan tinggi, maka untuk
mengurus 270 juta jiwa seharusnya lebih dari sekadar ijazah SMA.
Lucunya negeri kita,
memang benar. Tetapi semoga kelucuan ini tidak terus menjadi tragedi
berkepanjangan. Sebab pada akhirnya, bangsa ini hanya akan maju jika pendidik
dan pemimpinnya sama-sama berkelas, berilmu, dan berintegritas.