banner Lucunya Negeri Kita: Paradoks Pendidikan dan Politik

Lucunya Negeri Kita: Paradoks Pendidikan dan Politik



Suara Numbei News - Di negeri ini, ada sebuah ironi yang sering terabaikan tetapi terus kita saksikan sehari-hari. Kutipan yang tertulis dalam gambar tersebut berbunyi: “Lucunya negeri kita, jadi guru minimal harus S1, sedangkan jadi anggota DPR sampai presiden cukup lulus SMA.” Sekilas kalimat ini terdengar sederhana, bahkan bernuansa satir, tetapi di baliknya terkandung kritik tajam terhadap tata kelola bangsa dan standar ganda yang berlaku dalam masyarakat kita.

Guru dan Beban Standar Tinggi

Seorang guru adalah pilar utama pendidikan, penuntun generasi bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Tidak berlebihan jika profesi ini kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun ironinya, untuk menjadi guru di Indonesia, seseorang harus melewati jalan panjang dan terjal. Minimal bergelar sarjana (S1), lulus dari pendidikan profesi, memiliki sertifikasi, hingga berulang kali mengikuti ujian kompetensi. Semua ini dilakukan demi memastikan kualitas pendidik yang profesional.

Persyaratan itu sebetulnya masuk akal—karena tugas guru bukan perkara kecil. Ia bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai, karakter, dan moral. Di tangan gurulah lahir dokter, insinyur, ekonom, seniman, bahkan politisi yang kelak memimpin bangsa. Namun justru karena begitu besar tanggung jawabnya, guru kerap dituntut lebih tinggi dibandingkan penghargaan yang mereka terima. Honor rendah, status kerja sering tidak menentu, bahkan perlindungan hukum terhadap profesi ini kerap lemah.

Politikus dan Standar Rendah

Berbanding terbalik, untuk menduduki kursi legislatif, menjadi bupati, gubernur, atau bahkan presiden, syarat akademik yang dibebankan justru sangat minimalis: cukup lulusan SMA atau sederajat. Undang-undang memang membuka peluang luas agar setiap warga negara bisa ikut serta dalam politik, tanpa diskriminasi pendidikan. Namun, di era kompleksitas global saat ini, tidakkah aneh jika seorang pengambil kebijakan yang menentukan arah bangsa justru bisa saja minim pengalaman akademik?

Seorang anggota DPR memiliki wewenang membuat undang-undang. Seorang kepala daerah berhak mengelola anggaran miliaran rupiah. Seorang presiden menentukan strategi besar dalam diplomasi, ekonomi, hingga pertahanan negara. Apakah semua ini cukup diemban hanya dengan modal ijazah SMA dan keberuntungan elektoral? Bukankah logikanya, semakin besar tanggung jawab, semakin tinggi pula kapasitas intelektual yang dibutuhkan?

Paradoks dalam Demokrasi

Paradoks ini mencerminkan kelemahan demokrasi kita. Pemimpin politik dipilih bukan berdasarkan kapasitas intelektual atau keahlian teknokratis, melainkan berdasarkan popularitas, jaringan, dan kekuatan modal. Tak jarang figur publik dari dunia hiburan atau tokoh populer tiba-tiba melenggang ke kursi parlemen hanya bermodal ketenaran, meskipun rekam jejak intelektualnya meragukan.

Di sisi lain, seorang guru yang mendedikasikan hidupnya bertahun-tahun untuk belajar, mengajar, dan mengasah diri, justru tetap harus berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan yang layak. Ketimpangan ini menggambarkan bahwa kita sering kali keliru dalam menempatkan ukuran kualitas seseorang.

Refleksi Filosofis

Jika dipandang secara filosofis, fenomena ini menunjukkan bagaimana bangsa kita masih terjebak dalam logika pragmatis. Pendidikan dijunjung tinggi sebagai syarat untuk mengajar anak-anak, tetapi ketika menyangkut kepemimpinan politik, standar pendidikan diturunkan atas nama keterbukaan demokrasi. Seolah-olah mengatur negara adalah hal yang lebih mudah daripada mendidik seorang anak di kelas.

Padahal, Aristoteles pernah menekankan bahwa politik adalah the highest form of art, seni tertinggi yang menentukan arah kehidupan bersama. Maka seorang politikus seharusnya bukan hanya populer, tetapi juga bijaksana, berpengetahuan, dan berakhlak.

Menuju Keseimbangan Baru

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, kita perlu meninjau ulang standar minimal pendidikan bagi pejabat publik, terutama mereka yang memegang peran vital. Bukan berarti harus menutup akses bagi rakyat kecil, tetapi ada baiknya diberikan mekanisme pelatihan, pendidikan politik, atau sertifikasi tertentu sebelum seseorang boleh mencalonkan diri.

Kedua, masyarakat juga harus lebih kritis dalam memilih. Popularitas tidak boleh menjadi satu-satunya ukuran. Kapasitas, integritas, dan visi yang jelas untuk rakyat seharusnya menjadi pertimbangan utama.

Ketiga, penghargaan terhadap profesi guru juga harus ditingkatkan. Jika guru diwajibkan berpendidikan tinggi, maka kesejahteraan mereka pun harus sepadan. Tidak adil jika guru dituntut standar tinggi tetapi hidupnya jauh dari layak.

Penutup

Kutipan sederhana dalam gambar itu sebetulnya mengajak kita untuk merenung lebih dalam: tentang keadilan, tentang standar ganda, dan tentang masa depan bangsa. Jika untuk mendidik satu kelas anak-anak saja dibutuhkan pendidikan tinggi, maka untuk mengurus 270 juta jiwa seharusnya lebih dari sekadar ijazah SMA.

Lucunya negeri kita, memang benar. Tetapi semoga kelucuan ini tidak terus menjadi tragedi berkepanjangan. Sebab pada akhirnya, bangsa ini hanya akan maju jika pendidik dan pemimpinnya sama-sama berkelas, berilmu, dan berintegritas.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama