banner Mendidik Melampaui Gerak: Filsafat dan Tantangan Profesi Guru PJOK di Indonesia

Mendidik Melampaui Gerak: Filsafat dan Tantangan Profesi Guru PJOK di Indonesia

Siswa-siswi SD Katolik Naibone Kakbupaten Malaka sedang melakukan gerakan senam irama dengan penuh suka cita


Filsafat selalu menjadi fondasi pendidikan. Ia bukan sekadar ilmu abstrak, tetapi pijakan untuk memahami tujuan, nilai, dan makna dari kegiatan mendidik. Plato pernah menegaskan bahwa pendidikan adalah proses untuk “mengalihkan jiwa dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan.” Dalam konteks Indonesia, Pendidikan Profesi Guru (PPG) dimaksudkan untuk melahirkan guru profesional yang tidak hanya ahli mengajar, tetapi juga mampu merenungkan dan menafsirkan hakikat perannya.

Namun, realitasnya masih jauh dari ideal. PPG sering lebih menekankan aspek administratif dan teknis dibandingkan penguatan kesadaran filosofis. Hal ini berdampak serius terutama bagi guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK), yang kerap direduksi sekadar “guru olahraga.” Padahal, PJOK sejatinya adalah mata pelajaran yang membentuk manusia seutuhnya—fisik, psikis, sosial, dan moral.

Melalui dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi filsafat, tulisan ini menyoroti kritik urgen terhadap pendidikan guru di Indonesia, lalu menawarkan solusi konkret dengan mengacu pada pemikiran para tokoh filsafat pendidikan.

Dimensi Filsafat dalam Pendidikan PJOK

1. Ontologi: Hakikat PJOK

Plato berpendapat bahwa tubuh dan jiwa harus berkembang secara harmonis. Jika jiwa diasah dengan ilmu, tubuh harus dilatih dengan olahraga agar manusia mencapai kesempurnaan. Pandangan ini menegaskan bahwa PJOK bukanlah pelajaran sekunder, melainkan inti dari proses pendidikan yang memanusiakan manusia.

Sayangnya, dalam praktik, PJOK masih dianggap sebagai ruang “istirahat” siswa dari rutinitas akademik. PPG pun jarang menanamkan kesadaran filosofis ini kepada calon guru PJOK. Akibatnya, banyak guru PJOK hanya bertugas sebagai “instruktur fisik,” bukan pendidik karakter.

2. Epistemologi: Ilmu dalam PJOK

John Dewey menegaskan bahwa pendidikan adalah proses pengalaman yang terus berlanjut (continuity of experience). Dalam PJOK, pengalaman fisik bukan sekadar latihan otot, melainkan pengalaman belajar yang melibatkan pikiran, emosi, dan interaksi sosial.

Namun, PPG di Indonesia sering gagal mengintegrasikan teori dan praktik. Pengetahuan ilmiah seperti fisiologi olahraga, psikologi gerak, dan kesehatan sering terpinggirkan. Guru PJOK akhirnya mengajar dengan pola lama: instruksi gerakan tanpa refleksi makna. Padahal, epistemologi menuntut PJOK didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang sahih.

3. Aksiologi: Nilai dan Tujuan PJOK

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia, yakni mengembangkan budi pekerti, pikiran, dan tubuh secara selaras. Dalam konteks PJOK, ini berarti pembelajaran tidak boleh berhenti pada keterampilan gerak, tetapi juga harus menanamkan sportivitas, tanggung jawab, solidaritas, dan sikap sehat terhadap tubuh.

Namun, realitas menunjukkan bahwa PJOK kerap direduksi hanya pada aspek keterampilan fisik. Nilai-nilai pendidikan karakter sering tersisih karena guru lebih fokus mengejar target kurikulum. Inilah yang dikritik Paulo Freire: pendidikan yang mekanis hanya menghasilkan manusia yang pasif, bukan manusia reflektif dan kritis.

Kritik Urgen terhadap Pendidikan Guru di Indonesia

1.      Orientasi PPG yang Teknis-Administratif

Calon guru lebih disibukkan dengan perangkat ajar, laporan, dan sertifikasi, ketimbang refleksi makna mengajar. Pendidikan guru menjadi sekadar “pabrik administrasi,” bukan proses pembentukan pendidik reflektif.

2.      Marginalisasi Guru PJOK

PJOK dipandang sebelah mata dibandingkan matematika, IPA, atau bahasa. Guru PJOK dianggap hanya mengisi waktu siswa, bukan membentuk fondasi kesehatan dan karakter.

3.      Minimnya Integrasi Filsafat dalam Kurikulum PPG
Filsafat pendidikan sering dianggap teori abstrak. Padahal, tanpa filsafat, guru kehilangan arah: mereka sekadar mengajar, bukan mendidik.

4.      Ketimpangan Sarana dan Akses

Guru PJOK di daerah terpencil kekurangan lapangan, bola, atau fasilitas olahraga. PPG jarang membahas solusi kontekstual terhadap masalah nyata ini.

Solusi Konkret

1.      Reorientasi Kurikulum PPG

Kurikulum PPG harus memasukkan filsafat pendidikan sebagai inti, bukan pelengkap. Diskusi tentang Plato, Dewey, Ki Hajar Dewantara, dan Freire harus dijadikan dasar agar calon guru menyadari makna profesinya.

2.      Pemberdayaan Guru PJOK

Status PJOK perlu ditingkatkan dengan menegaskan bahwa ia bukan pelajaran tambahan, melainkan pelajaran fundamental. Guru PJOK harus diperlakukan setara dengan guru akademik, baik dalam pelatihan maupun pengembangan profesional.

3.      Integrasi Riset dan Praktik

PPG perlu mewajibkan guru PJOK melakukan penelitian tindakan kelas yang menggabungkan teori dan praktik. Dengan begitu, epistemologi pendidikan PJOK berkembang secara ilmiah, bukan sekadar pengalaman empiris.

4.      Pemerataan Sarana dan Fasilitas

Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk fasilitas PJOK di sekolah. Tanpa lapangan dan peralatan olahraga yang memadai, nilai-nilai pendidikan jasmani akan sulit diwujudkan.

5.      Peningkatan Status Profesi Guru

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, guru adalah “pamong” yang menuntun hidup tumbuhnya anak. Oleh karena itu, guru, termasuk guru PJOK, harus diberi otonomi profesional. Mereka harus dihargai bukan hanya dengan sertifikasi, tetapi juga ruang untuk berinovasi dan mengembangkan pedagogi khas.

Penutup

Filsafat memberi kerangka untuk memahami hakikat pendidikan. Ontologi mengingatkan bahwa PJOK adalah pendidikan tubuh dan jiwa; epistemologi menegaskan perlunya dasar ilmiah; aksiologi mengarahkan pada tujuan nilai kemanusiaan.

Namun, pendidikan guru di Indonesia masih menghadapi masalah serius: birokratisasi PPG, marginalisasi PJOK, lemahnya integrasi filsafat, dan ketimpangan sarana. Kritik ini menuntut solusi konkret berupa reorientasi kurikulum PPG, pemberdayaan guru PJOK, integrasi riset, pemerataan sarana, dan peningkatan status profesi guru.

Seperti ditegaskan oleh John Dewey, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Jika PPG mampu menginternalisasi nilai ini, guru PJOK tidak lagi sekadar mengajar gerakan, melainkan mendidik manusia seutuhnya—sehat, kritis, sportif, dan berkarakter. Dengan begitu, pendidikan Indonesia akan lebih dekat pada cita-cita filosofis: membentuk generasi yang merdeka, sehat jasmani dan rohani, serta bermartabat.

 


  

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama