banner Realitas Silent Dropout: Siswa Masih Duduk di Kelas, Tapi Jiwanya Sudah Pergi

Realitas Silent Dropout: Siswa Masih Duduk di Kelas, Tapi Jiwanya Sudah Pergi



Suara Numbei News - Coba bayangkan suasana sebuah kelas di sekolah dasar dan menengah. Deretan meja tersusun rapi, siswa duduk dengan seragam yang serupa. Mereka mencatat seperlunya, sesekali membuka buku, dan hampir semua hadir saat guru memanggil absen. Dari luar, tampak normal. Dari sisi data resmi, mereka terhitung sebagai “murid aktif”. Namun, jika kita amati lebih dalam, ada yang berbeda. Tatapan mata kosong, semangat belajar pudar, dan rasa ingin tahu seolah hilang.

Fenomena inilah yang bisa disebut silent dropout. Bukan putus sekolah dalam arti fisik karena mereka tetap hadir di ruang kelas, tetapi putus semangat, putus rasa ingin tahu, dan putus keterhubungan dengan makna belajar. Mereka masih duduk di bangku sekolah, tetapi jiwanya sudah lama pergi.

Fenomena yang Tak Terlihat di Angka

Selama ini, keberhasilan pendidikan diukur dengan angka partisipasi sekolah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sering menyoroti Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Angka ini memang penting, tetapi menyimpan jebakan. Sebab, siswa yang hadir secara formal tetap dihitung “aktif”, meski sebenarnya tidak lagi benar-benar belajar.

Survei Dinas Pendidikan Jawa Barat (2023) saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mengungkap bahwa hanya 22,5% siswa yang belajar setiap hari. Sebanyak 50% hanya belajar 2–4 kali seminggu, dan 37,6% mengaku kesulitan memahami materi. Fenomena ini membuktikan bahwa ada perbedaan besar antara “hadir” dengan “terlibat”.

UNICEF (2022) juga menemukan adanya learning loss pasca pandemi. Banyak anak mengalami penurunan kemampuan literasi dan numerasi, meski secara administratif mereka tetap tercatat sebagai murid aktif. Dengan kata lain, pendidikan kita menghadapi fenomena dropout terselubung yang luput dari perhatian.

Ketika Sekolah Kehilangan Fungsinya

Dalam teori fungsionalisme struktural yang dikembangkan Talcott Parsons, sekolah berfungsi sebagai agen sosialisasi. Sekolah seharusnya menanamkan nilai, norma, dan keterampilan yang membuat individu siap berperan dalam masyarakat. Namun, dalam fenomena silent dropout, fungsi ini tidak berjalan. Siswa hadir, tetapi tidak menyerap nilai pendidikan.

Alih-alih menjadi ruang tumbuh, sekolah justru berubah menjadi pabrik nilai. Rapor dan ujian menjadi tujuan utama. Banyak siswa belajar bukan karena ingin memahami dunia, melainkan sekadar demi angka. Di sinilah letak disfungsi pendidikan, hadir secara fisik, tetapi kosong secara makna.

Alienasi di Ruang Kelas

Teori alienasi Karl Marx juga relevan untuk membaca fenomena ini. Marx menjelaskan bagaimana buruh terasing dari hasil kerjanya di pabrik. Mereka bekerja, tetapi tidak merasa memiliki produk yang dihasilkan. Hal serupa kini terjadi di ruang kelas.

Siswa belajar, tetapi tidak merasakan hubungan dengan apa yang dipelajari. Mereka menghafal rumus, tetapi tidak tahu manfaatnya. Mereka mengerjakan tugas, tetapi tidak paham relevansinya. Hasil belajar bukan milik mereka, melainkan milik sistem yang menilai berdasarkan angka. Akhirnya, siswa merasa belajar adalah aktivitas yang asing, membosankan, bahkan melelahkan. Inilah bentuk alienasi di dunia pendidikan.

Labeling dan Dampak Psikologis

Fenomena silent dropout juga bisa dianalisis dengan teori labeling Howard Becker. Siswa yang terlihat pasif sering diberi label “malas”, “tidak disiplin”, atau “tidak cerdas”. Padahal, di balik itu, bisa jadi mereka sedang menghadapi keterasingan yang membuat mereka tidak lagi terhubung dengan belajar.

Label negatif justru memperparah kondisi. Siswa makin rendah diri, makin enggan bertanya, dan makin jauh dari proses belajar. Alih-alih membantu, sistem justru mendorong mereka semakin terpinggirkan.

Contoh Kasus yang Nyata

Bayangkan seorang siswa SMA yang tetap datang ke sekolah, ikut ujian, dan mengumpulkan tugas. Namun, setiap kali ditanya apa cita-citanya, ia hanya menjawab, “Tidak tahu.” Ia tidak membenci sekolah, tetapi juga tidak merasa sekolah membantunya menemukan jati diri.

Atau seorang mahasiswa yang masuk jurusan pilihan orang tua. Ia mengikuti kuliah, tetapi tidak pernah benar-benar terlibat. Tugas dikerjakan seadanya, ujian dilalui hanya agar bisa lulus. Ia merupakan “mahasiswa aktif” dalam data kampus, tetapi sejatinya ia sedang mengalami silent dropout.

Fenomena #KaburAjaDulu yang viral pada 2025 juga bisa dibaca dari kacamata ini. Banyak generasi muda merasa pendidikan di Indonesia tidak memberi makna. Alih-alih menjadi bekal pulang, pendidikan justru dianggap tiket untuk pergi mencari masa depan di luar negeri.

Dampak yang Mengkhawatirkan

Fenomena ini tidak dapat dianggap sepele. Dalam jangka pendek, silent dropout berdampak pada penurunan nilai akademik, minimnya minat baca, dan terganggunya kesehatan mental siswa. Mereka menjadi mudah cemas, burnout, dan kehilangan rasa percaya diri.

Dalam jangka panjang, risiko lebih besar menanti. Kita akan memiliki generasi yang secara administratif “terdidik”, tetapi secara substantif miskin keterampilan kritis, miskin kreativitas, dan mudah menyerah menghadapi tantangan. Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru melahirkan generasi yang lelah.

Jalan Keluar yang Perlu Dipikirkan

Fenomena silent dropout hanya dapat diatasi jika kita berani mengubah paradigma pendidikan dari sekadar pabrik nilai menjadi ruang tumbuh yang bermakna. Sekolah harus mampu mengembalikan relevansi belajar sehingga siswa memahami kenapa mereka belajar suatu materi dan bukan hanya sekadar menghafal. Misalnya, matematika tidak lagi dipandang sebagai kumpulan rumus abstrak, melainkan alat untuk membaca realitas sehari-hari.

Orientasi pendidikan pun perlu bergeser. Nilai akademik tetap penting, tetapi kreativitas, keberanian bertanya, dan kemampuan berkolaborasi harus diberi tempat yang sama. Pada saat yang sama, keluarga tidak boleh hanya hadir sebagai penuntut nilai, tetapi juga menjadi penopang emosional yang menguatkan semangat belajar anak. Kurikulum Merdeka juga harus benar-benar diimplementasikan, bukan sekadar jargon di atas kertas dengan pelatihan guru yang memadai agar mereka bisa memberi kebebasan yang bertanggung jawab.

Pemerintah perlu mengubah indikator keberhasilan pendidikan, tidak cukup hanya menghitung angka partisipasi sekolah, melainkan juga mengukur keterlibatan siswa, motivasi belajar, hingga kesehatan mental mereka. Dengan cara ini, pendidikan akan kembali pada jati dirinya di mana ia membangkitkan semangat, bukan memadamkannya.

Jangan Biarkan Jiwa Mereka Pergi

Fenomena silent dropout mungkin tidak terlihat di angka resmi, tetapi dampaknya nyata di ruang kelas. Kita bisa saja berbangga dengan tingginya partisipasi sekolah, tetapi jika banyak siswa hadir tanpa jiwa, hal itu sama saja dengan kehilangan generasi.

Pendidikan seharusnya membangkitkan semangat, bukan memadamkannya. Sekolah seharusnya menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan menguburnya. Jika kita tidak segera berbenah, kita hanya akan memiliki generasi yang lulus di atas kertas, tetapi gagal hidup dengan penuh makna.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama