Lebih memprihatinkan
lagi, situasi ini muncul di tengah berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan
melalui kurikulum baru, teknologi pembelajaran digital, serta program “Merdeka
Belajar” yang menjanjikan kemandirian siswa. Di sisi lain, guru dihadapkan pada
tantangan berat: membimbing siswa yang tertinggal kemampuan dasarnya, sambil
tetap harus memenuhi tuntutan administrasi dan target pembelajaran. Sekolah
akhirnya menjadi arena perjuangan ganda—antara idealisme pendidikan yang ingin
mencerdaskan anak bangsa dan realitas lapangan yang masih bergulat dengan krisis
literasi dan numerasi dasar.
1. Krisis Literasi di Tengah Kemajuan Zaman
Kondisi ini menunjukkan
bahwa kemajuan teknologi tidak serta-merta meningkatkan mutu pendidikan.
Anak-anak kini terbiasa bersentuhan dengan layar gawai sejak usia dini, tetapi
tidak dengan buku, pensil, dan angka. Banyak siswa di kelas tinggi SD bahkan
masih terbata-bata mengeja kata sederhana, atau tidak mampu memahami isi teks yang
dibacanya.
Sebagaimana ditegaskan
oleh Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy
of the Oppressed, “Pendidikan sejati bukanlah proses menjejalkan kata-kata,
tetapi membangkitkan kesadaran untuk membaca dunia.” Artinya, kemampuan membaca
bukan hanya soal mengeja huruf, melainkan memahami realitas. Ketika peserta
didik gagal membaca teks dan konteks, maka sesungguhnya mereka gagal membaca
kehidupan.
Krisis ini juga menjadi
refleksi bahwa sistem pendidikan masih lebih berorientasi pada penilaian
kuantitatif, bukan pada penguasaan kompetensi dasar. Dalam praktiknya,
pembelajaran sering terburu-buru mengejar target kurikulum, sementara fondasi
kemampuan literasi dan numerasi dibiarkan lemah.
2. Akar Permasalahan: Dari Rumah hingga Sekolah
Fenomena ini bukan
sekadar kegagalan individu siswa, tetapi gejala sistemik. Ada beberapa akar
masalah yang saling terkait:
a) Kualitas pembelajaran dasar yang lemah. Banyak guru
yang belum mendapatkan pelatihan mendalam tentang strategi pembelajaran literasi
yang aktif, kontekstual, dan adaptif terhadap kebutuhan siswa.
b)
Beban
administrasi guru yang tinggi. Seperti dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan
kodrat anak.” Namun kini, banyak guru justru terbelenggu oleh laporan dan
berkas administratif, sehingga waktu untuk menuntun peserta didik berkurang
drastis.
c)
Rendahnya budaya
membaca di rumah dan lingkungan. Banyak keluarga tidak lagi memiliki waktu
untuk mendampingi anak belajar membaca. Aktivitas membaca bersama, menulis
catatan kecil, atau menghitung benda sehari-hari telah tergantikan oleh
tontonan digital dan permainan daring.
d) Distraksi teknologi. Anak lebih mudah fokus pada
konten visual di gawai dibandingkan bacaan teks. Akibatnya, perhatian terhadap
kegiatan belajar konvensional semakin menurun.
3. Dampak Jangka Panjang
Krisis calistung bukan
sekadar persoalan akademik, tetapi juga berdampak pada masa depan bangsa. Tanpa
kemampuan dasar literasi, anak-anak akan kesulitan memahami pelajaran lain
seperti sains, matematika, atau IPS. Lebih jauh lagi, mereka berpotensi menjadi
generasi yang pasif, mudah terpengaruh informasi palsu, dan sulit berpikir
kritis.
Laporan UNESCO (2023)
bahkan memperingatkan bahwa lebih dari 70% anak di negara berpenghasilan
menengah ke bawah tidak mampu memahami teks sederhana pada usia 10 tahun.
Indonesia termasuk dalam kategori negara yang harus bekerja keras untuk
memperbaiki hal ini.
Solusi
Konkret: Memulihkan Fondasi Literasi dan Numerasi
Untuk mengatasi krisis
ini, diperlukan langkah-langkah konkret, kolaboratif, dan berkelanjutan antara
guru, sekolah, keluarga, dan pemerintah. Berikut beberapa rekomendasi yang
dapat diterapkan:
a) Penguatan Pembelajaran Calistung di Kelas Awal (1–3
SD).
Guru perlu diberi pelatihan rutin tentang pendekatan
literacy and numeracy teaching berbasis permainan, cerita rakyat, lagu, dan
aktivitas kontekstual agar anak belajar dengan menyenangkan.
b)
Gerakan Literasi
Sekolah yang Otentik.
Program literasi tidak boleh sekadar formalitas
membaca 15 menit di awal pelajaran. Sekolah harus menumbuhkan budaya membaca
melalui perpustakaan hidup, pojok baca di kelas, lomba menulis, dan kegiatan
literasi tematik.
c)
Pendampingan
Keluarga dalam Literasi Rumah.
Orang tua perlu diedukasi bahwa mendampingi anak
membaca 10–15 menit setiap hari jauh lebih berharga daripada membelikan gawai
mahal. Membacakan cerita sebelum tidur adalah investasi karakter dan kecerdasan
anak.
d)
Pemanfaatan
Teknologi Edukatif.
Gawai bukan musuh, tetapi alat. Sekolah dapat
memanfaatkan aplikasi edukatif interaktif untuk meningkatkan kemampuan membaca
dan berhitung, asalkan penggunaannya diawasi dan diarahkan dengan bijak.
e)
Pengurangan
Beban Administrasi Guru.
Pemerintah daerah dan kepala sekolah harus menata
ulang beban administrasi, agar guru memiliki ruang dan waktu yang lebih luas
untuk fokus mendidik.
f)
Asesmen
Diagnostik Literasi dan Numerasi.
Setiap awal tahun pelajaran, sekolah perlu melakukan
asesmen untuk memetakan kemampuan dasar siswa, sehingga pembelajaran dapat
disesuaikan dengan kebutuhan nyata peserta didik.
Penutup: Harapan untuk Generasi Melek Literasi
Krisis calistung bukan
akhir dari segalanya, melainkan panggilan bagi semua pihak untuk kembali ke
akar pendidikan sejati. Sebagaimana disampaikan Anies Baswedan (2014),
“Pendidikan bukan hanya memindahkan pengetahuan, tapi menumbuhkan kemampuan
belajar.”
Kita harus memastikan
bahwa setiap anak, tanpa kecuali, memperoleh haknya untuk bisa membaca,
menulis, dan menghitung dengan baik. Sebab, mereka yang gagal menguasai
literasi dasar hari ini akan tertinggal dalam dunia yang menuntut kecakapan
tinggi esok hari.
Jika sekolah dan
keluarga kembali bergandengan tangan, menumbuhkan budaya literasi sejak dini,
maka kita masih memiliki harapan: mencetak generasi yang bukan hanya cerdas
teknologi, tetapi juga melek pengetahuan, melek nurani, dan melek masa depan.