banner Negeri yang Mengagungkan Guru, Tapi Melupakan Perut Mereka

Negeri yang Mengagungkan Guru, Tapi Melupakan Perut Mereka



Suara Numbei News - Dalam setiap pidato peringatan Hari Guru, selalu terdengar kalimat “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Ungkapan itu memang terdengar indah di telinga, tetapi di lapangan, kalimat tersebut telah menjadi ironi yang menyakitkan bagi banyak guru honorer di negeri ini. Di balik senyum mereka di depan kelas, tersembunyi luka sosial dan ekonomi yang dalam—upah yang tidak manusiawi, status yang tidak pasti, dan penghargaan yang sering hanya sebatas ucapan manis di atas podium.

Guru dituntut untuk profesional: menyusun RPP, menguasai teknologi digital, membuat asesmen autentik, melakukan diferensiasi pembelajaran, mengikuti pelatihan berkelanjutan, bahkan mengisi segunung administrasi sekolah. Namun, ironisnya, sebagian besar guru honorer hanya menerima upah ratusan ribu rupiah per bulan—jumlah yang bahkan tidak cukup untuk membayar ongkos transportasi, apalagi menunjang kehidupan layak. Profesionalitas yang diharapkan seolah tidak sebanding dengan penghargaan yang diberikan.

Padahal, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyebutkan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Lalu, di mana letak keadilan itu bagi guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun, namun tetap terpinggirkan dalam sistem birokrasi yang kaku dan lamban?

Pemerintah sering berbicara tentang “transformasi pendidikan,” tetapi lupa bahwa transformasi itu tidak akan terjadi tanpa menata kesejahteraan tenaga pendidik. Tidak sedikit guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, namun tak kunjung diangkat menjadi ASN atau PPPK karena keterbatasan kuota dan kebijakan yang berubah-ubah. Mereka tetap setia mengajar di sekolah pelosok, meski diabaikan oleh sistem yang semestinya melindungi mereka.

Kita harus berani mengatakan dengan jujur: pemerintah telah gagal menghargai tenaga pendidik secara proporsional. Guru honorer bukan relawan; mereka tenaga profesional yang menopang masa depan bangsa. Menuntut guru untuk bekerja profesional tanpa memberikan kesejahteraan yang layak adalah bentuk ketidakadilan struktural—sebuah paradoks kebijakan yang terus dibiarkan berlarut-larut.

Seorang guru tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan nilai moral, dan membangun peradaban. Namun, bagaimana seorang pembangun peradaban bisa bekerja maksimal jika perutnya lapar dan pikirannya dililit kekhawatiran tentang kebutuhan dasar keluarganya? Bagaimana mungkin negara berbicara tentang “generasi emas 2045” sementara para pendidik yang menyiapkannya masih hidup dalam kesulitan ekonomi?

Pemerintah seharusnya tidak lagi sekadar menebar janji atau program sesaat menjelang hari besar pendidikan. Diperlukan langkah konkret: penataan sistem rekrutmen dan penggajian yang adil, pemberian tunjangan profesional yang merata, dan pengawasan ketat agar tidak ada lagi guru yang digaji di bawah standar minimum. Negara harus berhenti memperlakukan guru honorer sebagai tenaga cadangan yang bisa diganti kapan saja.

Sudah saatnya pemerintah berhenti menutup mata dan berhenti berlindung di balik jargon “pengabdian tulus.” Pengabdian tidak berarti harus dibayar dengan penderitaan. Guru honorer tidak meminta kemewahan, mereka hanya menuntut keadilan dan penghargaan yang layak atas keringat, waktu, dan dedikasi yang mereka berikan untuk mencerdaskan anak bangsa.

Jika negara masih menutup mata terhadap penderitaan guru honorer, maka jangan salahkan mereka jika semangat pengabdian perlahan memudar. Sebab tidak ada profesionalitas yang bisa tumbuh di tanah yang tandus kesejahteraan. Dan jangan pernah bermimpi akan ada pendidikan berkualitas di negeri ini, selama guru-gurunya dipaksa profesional di tengah kemiskinan yang dilegalkan oleh kebijakan negara.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama