banner Luka Kemanusiaan di Balik Seragam: Refleksi atas Kasus Penganiayaan Tahanan di Polsek Sasitamean, Kaabupaten Malaka NTT

Luka Kemanusiaan di Balik Seragam: Refleksi atas Kasus Penganiayaan Tahanan di Polsek Sasitamean, Kaabupaten Malaka NTT



Suara Numbei News - Kasus dugaan penganiayaan dua tahanan di Polsek Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, oleh oknum anggota polisi bukan sekadar persoalan pelanggaran disiplin, melainkan luka kemanusiaan yang mencoreng marwah institusi Polri. Tindakan brutal yang dialami Yori Fatin dan Gaudensius Manek—yang mengaku dipukul, ditendang, bahkan dipaksa menelan dahak pelaku—menggambarkan krisis moral dan kemanusiaan yang serius di tubuh aparat penegak hukum.

Advokat senior sekaligus Kabag Hukum DPD Grib Jaya NTT, Arnikeb Eben Tung Sely, dengan tegas meminta Kapolda NTT untuk memberikan sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) kepada pelaku. Permintaan tersebut bukan sekadar reaksi emosional, melainkan bentuk seruan moral atas penegakan keadilan dan akuntabilitas publik. Aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku kekerasan, dan ini menandai pengkhianatan terhadap mandat konstitusi serta prinsip “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.”

1. Pelanggaran Hak Asasi dan Krisis Moralitas

Dalam konteks hukum nasional dan internasional, tindakan penyiksaan seperti yang dilaporkan korban jelas melanggar Pasal 33 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Konvensi Anti Penyiksaan PBB (Convention Against Torture/CAT) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.
Kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa setiap orang, termasuk tahanan, berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam dan tidak manusiawi.

Secara etis, perbuatan memaksa tahanan menelan dahak adalah bentuk dehumanisasi ekstrem. Ia tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga menghancurkan martabat manusia. Dalam perspektif filsafat moral Kantian, manusia tidak boleh diperlakukan sebagai alat untuk menegaskan kekuasaan atau dominasi. Polisi yang berbuat demikian telah kehilangan ruh kemanusiaan dan mengkhianati sumpah profesinya.

2. Negara Hukum dan Akuntabilitas Institusional

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Maka, setiap tindakan aparat penegak hukum harus berlandaskan aturan, bukan nafsu kuasa.
Kekerasan terhadap tahanan menunjukkan lemahnya kontrol hierarkis dan pengawasan internal di tingkat Polsek. Ironisnya, ketika peristiwa itu terjadi, Kapolsek dilaporkan sedang berkaraoke, bukan mengawasi anggotanya.

Langkah Kapolres Malaka AKBP Riki Ginanjar Gumilar yang menonaktifkan Kapolsek Sasitamean adalah tindakan awal yang tepat, namun belum cukup. Akuntabilitas sejati menuntut proses hukum pidana dan etik yang transparan. Publik perlu tahu bahwa pelaku benar-benar diproses dan dijatuhi hukuman setimpal, bukan sekadar “dimutasi” atau “dibina”.

3. Kekerasan Struktural dan Budaya Impunitas

Kasus seperti ini bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola kekerasan struktural yang masih bercokol di tubuh Polri. Data Komnas HAM dan KontraS menunjukkan bahwa praktik penyiksaan terhadap tahanan masih kerap terjadi di sejumlah daerah. Salah satu penyebabnya adalah budaya impunitas, yakni kebiasaan membiarkan pelaku kekerasan aparat tanpa hukuman setimpal. Jika dibiarkan, budaya ini akan merusak kepercayaan publik dan menumbuhkan siklus kekerasan baru.

Di tengah upaya Polri memperkuat profesionalisme, kasus seperti Sasitamean menjadi pengingat bahwa reformasi kepolisian belum selesai. Penguatan integritas, pendidikan etika, dan pengawasan publik harus menjadi prioritas. Polisi bukan hanya alat penegak hukum, tetapi juga cermin moral bangsa.

4. Refleksi Kemanusiaan dan Jalan Pemulihan

Tahanan, seberat apapun kesalahannya, tetap manusia yang memiliki hak. Dalam hukum pidana, penahanan tidak boleh menjadi bentuk penyiksaan, melainkan bagian dari proses hukum yang beradab. Maka, tindakan penyiksaan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar negara.

Negara melalui Polri dan Propam wajib memberikan rehabilitasi, pendampingan hukum, dan kompensasi bagi korban. Penegakan hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara terbuka agar masyarakat menyaksikan bahwa Polri tidak menoleransi kekerasan di dalam institusinya.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ketua DPD GMNI NTT, Legorius Bria, kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan tanggung jawab pimpinan. Reformasi di tingkat Polsek dan Polres harus dimulai dari kepemimpinan yang berintegritas dan berjiwa pelayan, bukan penguasa.

Penutup

Kasus penganiayaan tahanan di Polsek Sasitamean adalah tamparan keras bagi wajah penegakan hukum di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol akan melahirkan kekerasan, dan hukum tanpa kemanusiaan akan berubah menjadi penindasan.

Namun, di tengah luka itu, suara publik dan desakan advokat seperti Arnikeb Eben Tung Sely menjadi sinar kecil yang menjaga nurani keadilan. Harapannya, Kapolda NTT tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga menjadikan kasus ini sebagai momentum pemurnian institusi Polri — agar seragam cokelat kembali dihormati bukan karena ditakuti, melainkan karena menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama