banner Mendesain Pemahaman di Tengah Keterbatasan: Pendekatan Understanding by Design dalam Perencanaan Pembelajaran di Satuan Pendidikan Minim Sarana Prasarana

Mendesain Pemahaman di Tengah Keterbatasan: Pendekatan Understanding by Design dalam Perencanaan Pembelajaran di Satuan Pendidikan Minim Sarana Prasarana

Tulisan ini mengkaji secara kritis penerapan pendekatan Understanding by Design (UbD) dalam konteks satuan pendidikan yang memiliki keterbatasan sarana dan prasarana. UbD yang menekankan perencanaan berbasis hasil akhir (backward design) dianggap mampu mendorong pembelajaran bermakna dan berorientasi pada pemahaman mendalam. Namun, dalam praktiknya, implementasi di sekolah-sekolah dengan keterbatasan fasilitas menghadapi berbagai kendala struktural, pedagogis, dan kultural. Tulisan ini berargumen bahwa keterbatasan bukanlah penghalang utama bagi keberhasilan UbD, melainkan tantangan bagi guru untuk menafsirkan prinsip-prinsip UbD secara kontekstual dan kreatif.

 


Suara Numbei News - Reformasi pendidikan menuntut guru tidak lagi sekadar menjadi penyampai informasi, melainkan perancang pembelajaran yang mampu menumbuhkan pemahaman konseptual. Salah satu pendekatan yang menekankan hal ini adalah Understanding by Design (UbD), dikembangkan oleh Grant Wiggins dan Jay McTighe (2005). Pendekatan ini mengajarkan bahwa perencanaan pembelajaran harus dimulai dari hasil belajar yang diinginkan, kemudian disusun bukti pencapaian, dan terakhir dirancang kegiatan pembelajaran yang mendukung capaian tersebut.

Namun, idealisme pendekatan ini sering kali berbenturan dengan kenyataan di lapangan, khususnya di satuan pendidikan dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Di banyak sekolah, guru harus bekerja dalam ruang kelas yang sempit, tanpa laboratorium, tanpa akses internet, bahkan tanpa buku penunjang yang memadai. Dalam kondisi demikian, muncul pertanyaan kritis: apakah UbD realistis diterapkan di sekolah dengan kondisi terbatas?

Kerangka Teoretis: Filosofi UbD dan Tantangan Kontekstual

Menurut Wiggins & McTighe (2005), inti UbD terletak pada backward design yang terdiri atas tiga tahap utama:

1.      Menetapkan hasil belajar yang diharapkan (desired results).

2.      Menentukan bukti pencapaian (assessment evidence).

3.      Merancang pengalaman belajar dan kegiatan pembelajaran (learning plan).

Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa pemahaman sejati bukan sekadar mengingat, tetapi kemampuan mentransfer pengetahuan ke konteks baru. Sebagaimana ditegaskan oleh Bransford, Brown & Cocking (2000), belajar yang bermakna terjadi ketika peserta didik mampu mengaitkan konsep dengan pengalaman nyata mereka.

Namun dalam konteks sekolah dengan minim sarana, guru sering kali sulit menyediakan media, alat peraga, atau lingkungan belajar yang memadai. Akibatnya, tahapan perancangan pembelajaran UbD sering berhenti pada tataran administratif tanpa aktualisasi. Di sinilah pentingnya penerjemahan UbD ke dalam konteks lokal, bukan sebagai model baku, tetapi sebagai kerangka berpikir fleksibel yang dapat diadaptasi.

Analisis Kritis: Antara Idealisme Desain dan Realitas Lapangan

Kritik utama terhadap implementasi UbD di sekolah minim fasilitas adalah ketimpangan antara perencanaan konseptual dan sumber daya riil. Guru memahami teori UbD, tetapi gagal menghidupkannya karena faktor struktural. Hal ini sejalan dengan pendapat Ornstein & Hunkins (2018) bahwa kurikulum yang dirancang secara rasional akan kehilangan makna jika tidak didukung kondisi sosial dan material yang memadai.

Namun, kelemahan ini bukan berarti UbD tidak relevan. Justru, dalam konteks keterbatasan, UbD menjadi alat refleksi pedagogis bagi guru untuk memfokuskan diri pada “tujuan belajar yang esensial”, bukan pada banyaknya media atau aktivitas. Guru dapat mengalihkan orientasi dari “mengajar banyak hal” menjadi “mengajar hal penting dengan cara bermakna”.

Selain itu, pendekatan pembelajaran kontekstual (CTL) dapat menjadi jembatan antara UbD dan kondisi nyata sekolah. Seperti ditegaskan oleh Johnson (2002), pembelajaran kontekstual menempatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar utama. Maka, di sekolah tanpa laboratorium, taman sekolah, sawah, kebun, atau kehidupan masyarakat dapat dijadikan “laboratorium alam” untuk memperkuat pemahaman konsep.

Strategi Adaptif Implementasi UbD di Sekolah Minim Sarana

Untuk menjembatani antara konsep dan kenyataan, guru dapat menerapkan beberapa strategi adaptif berikut:

1.      Redefinisi bukti pencapaian – penilaian tidak harus berbasis produk fisik atau teknologi, tetapi dapat berupa proyek sosial, observasi, atau refleksi tertulis siswa.

2.      Pemanfaatan sumber lokal – menggunakan bahan alam, kearifan lokal, dan kegiatan sosial sebagai konteks pembelajaran.

3.      Kolaborasi antar guru dan komunitas – guru dapat membangun jejaring berbagi sumber belajar sederhana namun efektif.

4.      Refleksi berkelanjutan – guru secara rutin merevisi rancangan UbD berdasarkan evaluasi pembelajaran nyata di kelas.

Dengan demikian, keterbatasan fasilitas bukanlah akhir dari inovasi, melainkan awal dari kreativitas. Sebagaimana dikatakan Paulo Freire (1998), “pendidikan sejati lahir dari dialog antara manusia dan realitasnya.” UbD dapat berfungsi sebagai kerangka dialog tersebut—antara cita-cita dan kenyataan pendidikan.

Kesimpulan

Penerapan Understanding by Design dalam satuan pendidikan minim sarana prasarana menuntut perubahan paradigma dari guru: dari sekadar pelaksana kurikulum menjadi perancang makna belajar. UbD bukanlah metode yang bergantung pada teknologi, tetapi pada kejernihan tujuan, kedalaman refleksi, dan ketajaman berpikir pedagogis. Dalam kondisi terbatas, UbD justru menguji sejauh mana guru dapat merancang pembelajaran yang berpusat pada pemahaman dan relevan dengan konteks kehidupan siswa.

Sebagaimana ditegaskan oleh Wiggins (2005), “Good design results in good learning, not because of resources, but because of purpose.” Oleh karena itu, keberhasilan penerapan UbD di sekolah minim sarana tidak diukur dari kelengkapan fasilitas, tetapi dari sejauh mana guru mampu menghidupkan kembali esensi belajar sebagai proses berpikir, memahami, dan memaknai kehidupan.

Daftar Pustaka

Bransford, J. D., Brown, A. L., & Cocking, R. R. (2000). How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School. Washington, D.C.: National Academy Press.

Freire, P. (1998). Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage. Rowman & Littlefield.

Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay. Corwin Press.

Ornstein, A. C., & Hunkins, F. P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues (8th ed.). Pearson.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by Design (2nd ed.). ASCD.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama