"Menimbang ulang filosofi disiplin keras di tengah tuntutan hak anak dan pendidikan yang memerdekakan"
Suara Numbei News - Ungkapan “di ujung rotan ada emas” merupakan pepatah lama yang sudah turun-temurun hidup dalam praktik pendidikan tradisional di Indonesia. Filosofi ini menegaskan bahwa disiplin keras, bahkan melalui hukuman fisik, adalah jalan untuk menempa anak menuju kesuksesan. Rotan dipandang sebagai simbol ketegasan, sementara emas menjadi metafora bagi keberhasilan yang lahir dari tempaan keras.
Namun, dalam konteks
pendidikan modern, pepatah ini mulai dipertanyakan. Kesadaran baru tentang hak
anak, perlindungan dari kekerasan, dan paradigma psikologi pendidikan mengubah
persepsi publik. Kini muncul ungkapan tandingan: “di ujung rotan ada penjara.” Jika dahulu rotan dianggap sumber
emas, kini rotan juga dapat berarti jerat hukum.
Tradisi Disiplin Keras: Membentuk atau Melukai?
Dalam masyarakat
tradisional, rotan bukan sekadar alat, tetapi simbol kekuasaan dan wibawa guru
atau orang tua. Pendidikan kala itu menekankan kepatuhan, ketundukan, dan daya
tahan. Banyak generasi lama yang mengaku “jadi orang” karena rotan.
Namun, pandangan ini
mendapat tantangan serius. Menurut Jean Piaget, anak bukanlah “miniatur orang
dewasa,” melainkan individu yang berkembang sesuai tahap kognitifnya. Pemaksaan
melalui kekerasan justru bisa menghambat perkembangan moral, karena anak patuh
bukan karena sadar, melainkan karena takut.
Psikolog Elizabeth
Gershoff (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hukuman fisik berhubungan
erat dengan munculnya agresivitas, gangguan perilaku, dan penurunan kedekatan
emosional antara anak dengan orang tua atau guru. Emas yang dimaksud pepatah
lama, pada kenyataannya, sering kali berbalik menjadi luka batin yang mendalam.
Paradigma Baru: Pendidikan Berbasis Hak Anak
Era modern membawa
paradigma baru dalam pendidikan: setiap anak memiliki hak yang melekat untuk
tumbuh tanpa kekerasan. Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi Indonesia
menegaskan bahwa kekerasan fisik sebagai bentuk disiplin bertentangan dengan
prinsip perlindungan anak.
Maria Montessori, tokoh
pendidikan progresif, menegaskan: “Disiplin sejati bukanlah hasil dari paksaan,
melainkan dari kebebasan yang terarah.” Rotan, dalam pandangan ini, justru
menjadi penghalang bagi anak untuk mengembangkan disiplin dari dalam dirinya.
Begitu pula Paulo
Freire dalam Pedagogy of the Oppressed
menekankan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menindas. Rotan
sebagai simbol penindasan berpotensi menutup ruang dialog kritis antara guru
dan murid.
Ujung Rotan di Era Digital
Di zaman sekarang,
“rotan” tidak lagi harus berarti alat pemukul. Rotan dapat diartikan ulang
sebagai ketegasan dalam bentuk aturan yang konsisten, pemberian konsekuensi
logis, serta pendekatan pedagogi restoratif.
Psikolog pendidikan Hurlock
menyebut bahwa disiplin yang efektif bukanlah yang menimbulkan ketakutan,
melainkan yang menumbuhkan rasa tanggung jawab. Artinya, emas tetap bisa
dicapai tanpa harus meninggalkan trauma.
Dengan pendekatan
positif, guru dan orang tua tetap bisa menjaga wibawa, membangun kedisiplinan,
sekaligus menghormati martabat anak. Inilah bentuk transformasi makna rotan
yang relevan dengan dunia modern.
Penutup: Dari Rotan ke Kesadaran
Perdebatan “di ujung
rotan ada emas” vs “di ujung rotan ada penjara” mencerminkan benturan antara
nilai tradisi dan nilai modern. Tradisi menekankan hasil (emas), sementara
paradigma modern menekankan proses yang manusiawi dan adil.
Mungkin kita tidak
perlu sepenuhnya menolak makna “emas” dari pepatah lama, tetapi yang perlu kita
tolak adalah cara mencapainya dengan kekerasan. Rotan harus dimaknai ulang,
bukan sebagai cambuk, melainkan sebagai simbol ketegasan yang berpadu dengan kasih.
Dengan begitu, emas
tetap dapat diraih—bukan emas yang dipoles air mata dan rasa takut, melainkan
emas kesadaran, tanggung jawab, dan kebebasan yang memerdekakan.