banner Numbei: Di Mana Tanah Mengajarkan Kesetiaan dan Air Menyimpan Doa

Numbei: Di Mana Tanah Mengajarkan Kesetiaan dan Air Menyimpan Doa

Sebuah tradisi panen ikan massal yang menjadi agenda paling ikonik di Kampung Numbei, Desa Kateri Kecamatan Malaka Tengah Kabupaten Malaka. (Foto: Dok. Adelinda Jurnalia Mau)


Suara Numbei News - Di ujung selatan Nusa Tenggara Timur, di wilayah Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, terbentang sebuah kampung kecil bernama Numbei. Kampung ini hidup dalam pelukan dua aliran sungai — Mota Baen di satu sisi, dan Kali Benanain di sisi lain — dua urat air yang menandai batas kehidupan dan kesuburan, dua saksi bisu yang menjaga harmoni manusia dan alam sejak lama. Di kejauhan, membentang Hutan Margasatwa Kateri, hijau dan tenang, seperti benteng alami yang melindungi kampung dari hiruk pikuk dunia luar.

Numbei tumbuh dari tanah yang keras tapi jujur, di mana setiap batu punya cerita, dan setiap hembusan angin membawa doa para leluhur. Di sini, hidup berjalan tidak dengan tergesa, tetapi dengan pengertian. Waktu seakan lebih sabar di Numbei — pagi dimulai dengan kokok ayam dan langkah ibu yang menimba air, siang berisi tawa anak-anak di bawah pohon asam, dan sore menjadi ruang perenungan ketika matahari menurunkan wajahnya di balik hutan margasatwa.

Di antara Mota Baen dan Benanain, manusia belajar arti keseimbangan. Dua sungai itu bukan sekadar batas alam, tapi juga simbol dari dua kekuatan kehidupan: yang satu mengalir lembut memberi kesuburan, dan yang lain deras, membawa pesan tentang keteguhan dan bahaya. Orang-orang Numbei tahu bahwa kehidupan seperti dua sungai itu — kadang menenangkan, kadang mengguncang, namun selalu memberi makna bagi yang tahu mendengarkannya.

Kampung ini kecil, tapi ia menyimpan kearifan yang luas. Orang-orangnya hidup dalam kesederhanaan yang anggun. Mereka tidak memiliki banyak, tapi mereka memiliki rasa memiliki yang dalam terhadap tanah dan sesama. Setiap keluarga adalah bagian dari keluarga besar; setiap kerja adalah bagian dari kerja bersama. Jika satu rumah berduka, seluruh kampung ikut diam. Jika satu orang menikah, seluruh kampung ikut tertawa. Mereka tidak mengenal kata individualisme — karena di Numbei, manusia bukan “aku”, melainkan “kita”.

Tanah Numbei adalah guru yang tak pernah letih. Di musim hujan, ia mengajarkan arti syukur atas air yang turun. Di musim kemarau, ia mengajarkan arti sabar dan ketekunan. Para petani menanam padi di ladang-ladang kecil, menggantungkan hidup pada irama alam. Mereka tahu, tanah tidak bisa dipaksa; ia hanya bisa diajak bersahabat. Dan dari persahabatan itulah tumbuh sebuah kehidupan yang tenang — kehidupan yang tidak berlimpah, tapi cukup.

Di tepian Hutan Margasatwa Kateri, suara burung menjadi lagu pagi yang alami. Hutan ini bukan sekadar hamparan hijau, tapi penjaga jiwa kampung. Di balik rimbunnya pepohonan, masyarakat menemukan kedamaian dan kesadaran ekologis yang turun-temurun. Mereka tahu, jika hutan hilang, maka hilang pula sebagian diri mereka. Di antara batang bambu dan daun lontar, ada nilai yang hidup: bahwa manusia dan alam bukan dua hal yang terpisah, melainkan dua napas dari satu kehidupan.

Numbei mengajarkan bahwa keheningan bukan ketiadaan suara, melainkan ruang bagi makna untuk tumbuh. Di kala malam, ketika lampu-lampu sederhana menyala di antara rumah-rumah berdinding bambu, terdengar suara jangkrik dan desir angin yang melintasi sawah. Keheningan itu bukan sepi, tapi penuh percakapan: percakapan antara manusia dengan alam, antara anak dengan leluhur, antara masa lalu dan masa depan.

Kampung ini juga menjadi cermin dari keteguhan iman dan kesetiaan hidup sederhana. Di tengah keterbatasan, orang-orang Numbei menemukan kekuatan dalam kebersamaan dan keyakinan. Mereka berjalan ke kapela setiap minggu, membawa doa dengan pakaian terbaik mereka, bukan karena kemewahan, tapi karena penghormatan kepada Yang Maha Hidup. Iman di sini tidak berwujud rumit; ia hadir dalam tindakan sehari-hari: dalam berbagi air, menolong tetangga, dan menyambut tamu dengan kopi panas dan senyum tulus.

Jika kita duduk di tepi Mota Baen pada sore hari, kita akan mendengar suara anak-anak bermain air dan tawa yang menyatu dengan gemericik sungai. Dan jika kita berjalan ke arah Kali Benanain, kita akan merasakan kekuatan air yang tak berhenti mengalir, seolah mengingatkan bahwa waktu akan terus berjalan, tapi akar kehidupan tetap harus dijaga. Dua sungai itu menjadi metafora kehidupan orang Numbei: mengalir, memberi, dan tidak pernah berhenti mencintai tanahnya sendiri.

Numbei adalah tempat di mana waktu belajar diam dan manusia belajar hidup. Di antara tanah yang retak dan air yang mengalir, di antara hutan yang hijau dan langit yang luas, manusia belajar arti kesetiaan pada tempat asalnya. Mereka tahu, dunia mungkin berubah, tapi nilai-nilai yang diwariskan tidak boleh hilang. Dari kampung ini, kita belajar bahwa kemajuan bukan berarti meninggalkan akar, tetapi menumbuhkan akar itu agar lebih kokoh menopang ranting masa depan.

Dan ketika senja tiba, langit Numbei berubah jingga keemasan. Burung-burung pulang ke hutan, anak-anak pulang ke rumah, dan angin membawa aroma tanah basah dari dua sungai yang mengapit kampung. Di saat itu, semua terasa selaras — manusia, alam, dan waktu berjalan dalam satu irama yang damai. Itulah Numbei: tempat kecil di peta, tapi luas di dalam makna. Tempat yang tidak hanya membesarkan tubuh, tetapi juga menumbuhkan jiwa.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama