Setidaknya, terdapat dua persoalan pendidikan yang
berhubungan langsung dengan anak pada masa pandemi. Pertama, menghadirkan
proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) berkualitas; kedua, mengatasi ancaman anak
putus sekolah (APS). Yang pertama telah banyak dibicarakan walaupun belum
tampak betul hasilnya, dan yang kedua belum mendapat perhatian semestinya.
Ancaman APS saat pandemi nyata. Di sekolah tempat
saya mengajar, jumlah anak yang memutuskan berhenti sekolah lebih banyak
dibanding sebelum Covid-19 datang menyerbu. Banyak orangtua kesulitan mendukung
PJJ. Kesulitan ekonomi keluarga juga mempercepat sejumlah anak meninggalkan
sekolah; mereka bekerja di sawah, di kebun, dan di ladang, atau menjadi pelayan
toko, buruh kasar, dan asisten rumah tangga, dan sebagian pada akhirnya memilih
di rumah saja --kerja tidak dan kembali ke sekolah pun sudah malu. Sekolah
gratis dan bantuan pulsa bagi peserta didik belum sepenuhnya menjawab anak dari
keluarga miskin untuk bertahan di sekolah.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 atau sebelum
pandemi, jumlah anak tidak sekolah (ATS) usia 7-18 tahun sekitar 4,34 juta
anak. Tingkat kemiskinan pada masa pandemi bertambah dan ancaman ATS juga
meningkat. Strategi Nasional (Stranas) yang disusun Unicef dan pemerintah dalam
mengatasi masalah ATS mengedepankan strategi intervensi dan pencegahan.
Strategi intervensi untuk mengembalikan ATS ke program pendidikan dan pelatihan
yang relevan. Strategi pencegahan untuk memastikan anak yang berisiko putus
sekolah tetap bersekolah sampai tuntas pendidikan dasar dan menengah.
Pada umumnya kita mengenal lembaga yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup bagi ATS yang didirikan pemerintah, yaitu Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) dan Balai Latihan Kerja (BLK). Namun, jumlahnya masih terbatas, dan biasanya terletak di ibu kota kabupaten atau ibu kota kecamatan dengan jumlah penduduk banyak. Banyak masyarakat, terutama penduduk pedesaan yang kurang dapat menjangkau lembaga pendidikan dan keterampilan di luar sekolah tersebut. Kalau pun tahu serta berminat di lembaga pendidikan dan pelatihan semacam PSBR dan BLK, tidak sedikit masyarakat keberatan; walaupun gratis, masih ada harga yang dikeluarkan untuk mengakses kedua lembaga tersebut, seperti biaya transportasi ke tempat dan selama pelatihan.
Baca Juga:
Spiritualitas Pendidikan Era Covid-19 (Corona Mengubah Cara Belajar Anak Zaman Now)
Selain kedua lembaga pendidikan luar sekolah di atas, ada juga Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM); kehadirannya pernah tumbuh sampai pelosok desa. PKBM
didirikan atas inisiatif individu, kelompok, atau yayasan. Pada umumnya PKBM
hadir dalam upaya menjembatani kebutuhan ATS untuk mendapatkan kesetaraan
pendidikan, sehingga cenderung untuk mendapatkan ijazah. Seiring keberhasilan
pemerintah meningkatkan akses terhadap sekolah formal, di sejumlah tempat
memudar juga keberadaan PKBM.
Melihat fleksibilitas proses pembelajaran di PKBM,
mestinya lembaga pendidikan non-formal tersebut menjadi jawaban untuk menjamin
ATS mendapat keseteraan pendidikan . Dan, sebagai PKBM, desain kurikulum yang
dikembangkan lebih kondisional dengan tujuan membekali peserta dengan kemampuan
relevan dengan kebutuhan yang dihadapi. Sebab itu menempatkan PKBM sebagai
jaring pengaman ATS sungguhlah tepat. Untuk mengaktivasi keberadaannya.
pemerintah pusat dan pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah desa
perlu mengembangkan konsep satu desa satu PKBM.
Tiap desa menghadirkan PKBM berkualitas melalui
instruktur bagus, fasilitas memadai, serta fleksibilitas waktu belajar yang
disesuaikan dengan kondisi peserta; PKBM tak berorientasi uang, baik uang dari
orangtua maupun orientasi bantuan dari pemerintah. Sebagai guru di sekolah,
saya sering membayangkan anak yang berhenti sekolah tetap belajar, meneruskan
proses pembelajaran di PKBM. Usai membantu orangtua dan atau bekerja dalam
usaha mendapatkan penghasilan, anak menyempatkan diri belajar di PKBM
--walaupun saya selalu membayangkan tidak ada lagi anak putus sekolah.
Selain mengembangkan PKBM untuk menampung ATS,
pemerintah desa juga berperan melakukan pencegahan anak berisiko putus sekolah.
Selama ini, pemerintah desa cenderung menganggap tingkat ATS hanya persoalan
data dan angka tingkat pendidikan warganya semata. Ketika ada anak terancam
putus sekolah, seolah-olah hanya tanggung jawab sekolah dan keluarga, terlepas
dari pemerintah desa.
Pemerintah desa dapat mengembangkan sistem informasi
data penduduk usia sekolah. Melalui pangkalan data diharapkan muncul program
yang terukur, seperti program beasiswa sampai program pendampingan dalam upaya
menjamin anak menyelesaikan pendidikan, setidaknya sampai tingkat menengah.
Sinergi antara tripusat pendidikan --sekolah dan/atau PKBM, keluarga,
lingkungan masyarakat yang di antaranya diwakili pemerintah desa-- menjadi
bagian tak terpisahkan dalam menjamin keberlangsungan pendidikan anak.
Sekolah Harapan
Melalui pendekatan diagnostik terhadap peserta
didik, para guru diharapkan lebih menggali lagi persoalan-persoalan yang
dialami peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Ketika peserta didik
menunjukkan minat yang kurang untuk mengikuti pembelajaran, tidak dengan mudah
memvonis bahwa itu karena kemalasan peserta didik semata.
Kerja sama antara guru, wali kelas, dan guru BP/BK dalam menangani permasalahan
anak harus terus diperkuat. Ruang dialog dengan peserta didik, dengan orangtua,
dan masyarakat sekitar harus terus dikembangkan sekolah, sehingga kita dapat
melakukan pendekatan yang cocok dalam mengatasi anak yang memiliki risiko putus
sekolah.
Lebih jauh, kurikulum sekolah harus dikembangkan agar lebih memahami kebutuhan
anak terutama dari keluarga miskin akan pendidikan. Bagi banyak keluarga
miskin, pendidikan dianggap belum menghadirkan harapan sebanding pengorbanan,
baik uang maupun waktu.
Terutama di sekolah menengah, kampanye bahwa
pendidikan sebagai anak tangga untuk memasuki universitas atau perguruan tinggi
rasanya harus dibicarakan ulang. Mengiming-imingi harapan dengan bekal ijazah
dapat melamar pekerjaan ke pabrik-pabrik sudah usang. Menghadirkan bukti bahwa
pembelajaran di sekolah membekali peserta didik keterampilan dan kecakapan
untuk berusaha secara mandiri dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri
dan lingkungan sekitar jauh lebih memberi harapan.
Di samping pengetahuan dan setumpuk teori, ilmu praktis atau penguasaan
keterampilan agar anak dapat melakukan sesuatu untuk diri dan lingkungan
menjadi bagian penting di sekolah. Pada masa pandemi seperti sekarang, mestinya
kita kembali mendiskusikan apa yang dimaksud kualitas pembelajaran, kualitas
yang juga mengakomodasi tingkat ketertarikan anak dari keluarga miskin untuk
tetap bertahan sekolah.