MENJAGA WIBAWA DAN MARTABAT
PERADILAN MELALUI PROTOKOL PERSIDANGAN DAN KEAMANAN
- Dr. Sofyan
Sitompul, S.H., M.H.-
Hakim Agung
Kamar Pidana
Pengantar
Peradilan sering disebut benteng terakhir penegakan
hukum namun benteng tersebut seringkali diterobos oleh kepentingan pribadi
oknum penegak hukum, pihak berperkara, dan masyarakat umum. Upaya menerobos
benteng keadilan dapat dibagi menjadi dua kriteria yakni pertama, Kehilangan
Integritas Hakim karena faktor materi maupun alasan lainnya yang bertentangan
dengan prinsip Independence Of The
Judiciary sehingga mengorbankan rasa keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan. Kedua, Kehilangan Rasa Hormat terhadap lembaga peradilan, karena
kurangnya kesadaran hukum, pola budaya hukum dan lemahnya sistem protokol
persidangan dan keamanan.
Protokol persidangan dan keamanan merupakan sub
bagian dari sistem peradilan yang mempengaruhi meningkatnya kepercayaan publik
(Public Trust), wibawa dan
martabat peradilan. Public Trust dapat
diukur melalui statistik jumlah perkara tertentu yang diajukan ke pengadilan
dan berdasarkan persepsi masyarakat mengenai peradilan sedangkan wibawa dan
martabat peradilan merupakan wujud nyata keadaan dan pelayanan peradilan kepada
masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], wibawa memiliki arti pembawaan untuk
dapat menguasai dan mempengaruhi serta dihormati orang lain melalui sikap dan
tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.
Wibawa peradilan dimulai pada saat seseorang akan
memasuki wilayah pengadilan, jadi ketika gedung pengadilan terlihat seperti
bangunan tua tidak terurus maka dapat muncul persepsi negatif soal peran
pengadilan mewujudkan keadilan. Setelah masuk wilayah pengadilan dan masuk
ruang sidang maka perlu adanya protokol persidangan dan keamanan yang baik
sebagaimana termuat lengkap dalam Perma 5 Tahun 2020 tentang Protokol
Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan.
Keberadaan Perma ini, sejalan dengan maksud
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang
mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap
dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court ".
Baca juga:
Ketua MK: Pengujian Undang-Undang, Wujud Perimbangan Kekuasaan Negara
MK Gelar Sidang Sengketa Pilkada Mulai 26 Januari 2021
KPU Bisa Tetapkan Paslon Pemenang Pilkada 2020 Meski Ada Gugatan ke MK, tapi...
Rumusan penjelasan Undang-Undang Mahkamah Agung
tersebut menghendaki adanya pengaturan khusus mengenai kualifikasi dan sanksi
bagi Contempt Of Court, selain
yang telah diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut
pakar hukum, Contempt of court adalah
adanya perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan, kesemuanya berasal dari
pengembangan kasus dan doktrin yang meliputi sub judice rule (usaha
untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan peradilan), disobeying a court order (tidak
mematuhi perintah pengadilan), scandalizing
in court (skandal dalam peradilan) dan misbehaving in court (tidak berkelakuan baik dalam peradilan
baik melalui sikap atau ucapannya).[2]
Upaya mencegah misbehaving in court akan
mempengaruhi perubahan pola budaya hukum di pengadilan, misalnya larangan
pengunjung berbicara di ruang persidangan akan mencegah siap acuh pada saat
berada di ruang sidang sehingga wibawa peradilan terjaga. Kualifikasikan misbehaving
in court diatur dalam ketentuan Pasal 4 Perma 5 Tahun 2020 “Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (4), ayat (5), ayat
(7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), ayat (11), ayat (12), ayat (14), ayat (15),
ayat (16), ayat (18) dan ayat (19) serta Pasal 3 ayat (5), ayat (7), ayat (10),
dan ayat (12) dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap Pengadilan”.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut akan diuraikan pada bagian
selanjutnya.
Protokol
Persidangan dan Keamanan
Keberadaan protokol persidangan dan keamanan
sejatinya merupakan implementasi secara rinci tata tertib yang terdapat dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan maupun norma kesopanan secara umum untuk
mengatur perilaku dan tindakan orang yang hadir di persidangan serta pedoman
yang mengatur keadaan bebas dari bahaya yang memberikan perlindungan kepada
Hakim, Aparatur Pengadilan dan Masyarakat yang hadir di Pengadilan, misalnya di
dalam undang-undang kekuasaan kehakiman diatur bahwa “Negara memberikan jaminan
keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”[3].
Jaminan keamanan bagi hakim pada saat menjalankan
tugas di ruang sidang maupun jaminan keamanan pada saat berada di luar
pengadilan selama ini dilakukan melalui koordinasi dengan pihak kepolisian
namun terhadap penanganan perkara terorisme, Hakim, keluarganya dan orang-orang
yang tinggal serumah mendapatkan perlindungan dengan tiga tahap yakni sebelum,
selama proses maupun sesudah proses pemeriksaan perkara terorisme.[4] Dalam praktik peradilan, tingkat
ancaman yang serius juga dialami ketika Hakim mengadili perkara selain
terorisme sehingga idealnya terdapat bentuk perlindungan yang sama bagi Hakim,
keluarganya dan orang-orang yang tinggal serumah. Protokol keamanan memberikan
ruang kepada pengadilan membentuk Forum Komunikasi Keamanan yang dapat
menjembatani kebutuhan jaminan keamanan dan bentuk-bentuk perlindungan yang
dapat dilakukan.
Protokol persidangan dan keamanan membagi Tata
Tertib menjadi menjadi dua bentuk yakni Tata Tertib Umum dan Tata Tertib
Persidangan yang di dalamnya menguraikan kualifikasi Contemp Of Court. Tata Tertib Umum meliputi akses masuk satu pintu,
peran satuan pengamanan, sikap hormat, larangan melakukan aktiftas lain seperti
berbicara, makan, menggunakan telefon seluler, keluar masuk ruang sidang tanpa
alasan, larangan membawa tulisan/brosur, pakaian yang pantas, merusak
sarana/prasarana, duduk sopan, dan hormat pada saat keluar/masuk ruang sidang.
Fakta adanya aparatur peradilan dan pengunjung
sidang yang menggunakan telefon seluler jelas mengganggu hikmatnya persidangan
sehingga aktifitas ini perlu diatur agar persidangan terjaga wibawa, martabat
dan semua pihak yang hadir dipersidangan dapat dengan seksama mengikuti
jalannya persidangan. Tata tertib semacam ini juga telah diterapkan di Mahkamah
Konstitusi dengan lebih ketat, yang melarang telefon seluler dibawa ke ruang
sidang sehingga sebelum masuk ruang sidang wajib dititipkan pada petugas.
Demikian pula jenis tata tertib umum lainnya ditujukan untuk memastikan sikap
dan perilaku yang mesti dipatuhi pengunjung sidang.
Tata Tertib Persidangan terdiri dari persidangan
terbuka untuk umum, pembatasan pengunjung sidang, larangan membawa senjata
berbahaya, pengambilan foto, rekaman video, larangan membuat kegaduhan,
larangan pengunjung sidang untuk mendukung atau keberatan atau
menghina/membahayakan para pihak di persidangan, ketentuan pakaian aparatur
dipersidangan, dan menjalankan perintah hakim.
Kelalaian dalam pembatasan jumlah pengunjung sidang
dapat membuat suasana persidangan menjadi gaduh dan tidak kondusif sehingga
petugas keamanan memiliki peran untuk mengatur pengunjung di ruang sidang,
termasuk memastikan pengunjung sidang tidak membawa senjata berbahaya. Fakta
bahwa terjadinya serangan fisik terhadap hakim maupun terhadap pihak berperkara
di ruang sidang mesti menjadi fokus semua pihak, agar peradilan semakin di
yakini tempat mengadili yang terjamin keamanannya. Hakim/Ketua Majelis Hakim
juga memiliki peran memberikan perintah agar siapa saja yang melakukan
pelanggaran untuk dikeluarkan dari ruang sidang tanpa membeda-bedakan pihak
yang melakukan pelanggaran.
Alur protokol keamanan memiliki dua tujuan utama
yakni pertama, upaya pencegahan melalui informasi larangan-larangan di
lingkungan pengadilan, akses masuk 1 (satu) pintu yang pelaksanaannya dilakukan
dengan pengawasan ketat, CCTV, jarak aman tempat duduk dengan pihak berperkara
dan kedua, upaya perlindungan melalui sistem alarm/sirine yang digunakan untuk
merespon situasi darurat, jalur evakuasi untuk Pengamanan dan Penyelamatan Hakim/Majelis,
perintah hakim dipersidangan.
Sistem alarm/sirine merupakan salah satu hal baru
dalam Perma 5 Tahun 2020 yang mesti diapresiasi karena sistem ini mampu
mendeteksi keadaan darurat sehingga petugas keamanan dapat melakukan respon dan
tindakan yang diperlukan. Pernah terjadi pengrusakan kantor pengadilan
oleh massa yang menyebabkan sarana/prasarana rusak, juga membuat Hakim dan
Aparatur Peradilan merasa terancam keselamatannya, maka dengan sistem alarm ini
dapat diatur evakuasi dan bantuan keamanan dari pihak kepolisian.
Perma 5 Tahun 2020 juga mengatur pengambilan foto
maupun rekaman video di ruang persidangan. Pengaturan tersebut bukan ditujukan
untuk membatasi insan pers melaksanakan tugas jurnalistik namun menjaga
substansi pemeriksaan perkara berjalan sesuai dengan hukum acara, misalnya
merekam dan menyiarkan keterangan saksi/ahli dipersidangan dapat mencederai
prinsip objektifitas keterangan saksi dan ahli yang akan diperiksa berikutnya.
Persidangan yang ditampilkan sebagai suatu tontotan juga dapat membentuk atau
menggiring opini masyarakat tentang salah benarnya pelaku tindak pidana yang
pada akhirnya menggerus prinsip presumption of innocence. Jadi ada hak
peradilan dan hak pers yang mesti dipahami secara berimbang agar tercipta
harmoni dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Penutup
Wibawa dan martabat peradilan menunjukkan tingkat
peradaban suatu negara artinya wibawa dan martabat itu bukan saja dijaga oleh
badan peradilan namun dijaga bersama oleh seluruh komponen bangsa. Aparat
penegak hukum, pihak berperkara, masyarakat umum turut andil menjaga Rasa
Hormat terhadap lembaga peradilan dengan mematuhi tata tertib umum di
pengadilan dan tertib di persidangan. Tantangan dalam menerapkan Perma 5
Tahun 2020, jangan membuat kita ragu karena semua perubahan memiliki
konsekuensi masing-masing, seperti ungkapan Ali Bin Abi Thalib, Angin tidak
berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.
Sumber Berita:
[1] Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru, (Jakarta : PT Media Pustaka Phoenix, 2013), hal. 947.
[2]
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno
Adji, Peradilan Bebas & Contempt
Of Court, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal.104.
[4]
Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor 2 Tahun 2020 Tentang
Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Pelindungan Bagi Penyidik, Penuntut Umum,
Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan Beserta Keluarganya Dalam Perkara Tindak
Pidana Terorisme, Pasal 6 ayat (1) dan (2).