Jakarta, CNN Indonesia --Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
menilai Perpres Nomor 7 2021 tentang rencana pemerintah memasukkan materi
pencegahan ekstremisme ke dalam kurikulum berpotensi membuat
kurikulum tambah gemuk.
Materi pencegahan radikalisme dan ekstremisme
menurut P2G bukan hal baru lagi. Sehingga alih-alih menambah beban kurikulum,
P2G meminta pemerintah untuk memutar strategi jitu seperti memberikan pelatihan
langsung kepada guru, hingga mengubah metode pembelajaran kritis di dalam
kelas.
"Modul pendidikan anti radikalisme, terorisme,
ekstremisme itu sudah jauh-jauh hari dibuat Kemdikbud sejak 2017, jadi sekarang
tinggal memperkuat saja. Jangan menambah beban kurikulum baru lagi, wong sudah
ada," kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim saat dihubungi CNNIndonesia.com,
Sabtu (23/1).
Padahal menurutnya, sejauh ini sudah ada Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) yang kerap memberikan pelatihan soal itu.
Selain itu, kurikulum pendidikan di Indonesia
menurutnya telah terbebani dengan berbagai kementerian atau lembaga (K/L) yang
'nampung' materi pembelajaran di sana. Satriwan mencontohkan seperti KPK,
Komnas HAM, hingga BKKBN telah menyumbang beberapa materi dalam kurikulum.
"Ini bukti koordinasi lintas kementerian dan
pemerintah pusat minim," ucap dia.
Lihat Juga: Introspeksi Diri: Jadikan Diri Cermin Kehidupan Dilematis Mengais Rejeki Halal di Tanah Perantauan Waspada!!! Bencana di tengah Pandemi Covid 19 (Masyarakat diminta tetap berawaspada) |
Melihat kondisi itu, Satriwan pun meminta agar
pemerintah mengatur koordinasi lintas sektor, sehingga materi atau pelatihan
itu cukup dipegang oleh satu sektor utama (leading sector) seperti Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
"Nanti kalau Kemendikbud membuat serupa, saya
khawatir redundant, kemudian anggaran over. Kenapa kita tidak fokus
saja leading sector dipegang satu lembaga," ucap Satriwan.
Dia menilai materi dan pelatihan soal pencegahan
ekstremisme yang dilakukan K/L sejauh ini masih bersifat seremonial dan bukan
teknis. Padahal untuk mencegah pemahaman radikal terhadap siswa bukan perkara
mudah.
Satriwan menganggap sudah saatnya pemerintah
mengevaluasi profil setiap guru atau mencari rekam jejak dalam seleksi guru
hingga CPNS. Kemudian pembelajaran dua arah sudah sepatutnya diterapkan di
seluruh sekolah.
Sebab, dengan ajaran kritis sejak dalam bangku
sekolah, maka siswa dapat berdialog dengan guru ketika misalnya ditemukan
seorang guru yang menyampaikan ideologi yang berbau ekstremisme.
"Harus diajarkan bagaimana dialog terjadi di
kelas antara guru dan siswa, jadi sudah tidak monolog. Melatih siswa kritis
sangat perlu dalam mencegah ekstremisme itu," kata dia.
Diketahui, Presiden RI
Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Perpres Nomor 7 Tahun 2021
(Perpres Ekstremisme). Di dalamnya terdapat materi pencegahan ekstremisme
untuk diadopsi kurikulum pendidikan formal. Selain itu, pemerintah juga akan
mengecek ulang buku-buku pelajaran di sekolah. Pemerintah ingin memastikan buku-buku
memuat materi pelajaran yang mendukung pencegahan ekstremisme.
Hal lain yang diatur dalam perpres tersebut adalah
langkah pemerintah melibatkan influencer guna memerangi ekstremisme
di media sosial.
Sumber Berita: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210123121115-20-597490/p2g-khawatir-perpres-ekstremisme-buat-kurikulum-gemuk