Frans Sales Lega (kanan, belakang) dan Pater Willem Wiebring s.v.d, di Mataloko, Flores, tahun 1938. Foto: KITLV. |
Upaya membentuk Provinsi Nusa Tenggara Timur dari alasan mau bikin sarjana sampai diplomasi olahraga.
Gagasan pembentukan Provinsi Flores gagal. Pada
konferensi Partai Katolik di Ende tahun 1957, Lega mengusulkan satu provinsi
untuk seluruh bekas Karesidenan Timor yang meliputi Timor, Flores, Sumba, dan
pulau-pulau sekitarnya. Usul ini disetujui. Karesidenan Timor sendiri bagian
dari Provinsi Sunda Kecil.
“Nama Sunda Kecil kemudian diubah menjadi Nusa
Tenggara oleh Menteri Moh. Yamin, mungkin untuk tidak menciptakan inferiority
complex warganya,” kata Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter,
Prajurit, Pamong Praja.
Lega mendekati Kepala Daerah Timor, Stephanus Ndoen
dan Dewan Perwakilan Rakyat Timor untuk memimpin perjuangan pembentukan
provinsi baru. Di Kupang dibentuk delegasi untuk menemui Menteri Dalam Negeri
Sanusi Hardjadinata. Delegasi terdiri atas Tobing sebagai ketua, dengan anggota
Lega sebagai juru bicara, N.D. Dillak, dan Piet Parera-Fernandez.
“Saya ingat betul waktu, pada 1957 saya mengunjungi
Pak Lega (dan rombongan) di Hotel Des Indes, Jalan Majapahit Jakarta,” kata Ben
Mboi. “Sebagian besar rombongan belum pernah ke Jakarta. Mereka ketakutan
menyeberang Jl. Majapahit karena padatnya lalu lintas plus trem.”
Kepada Ben Mboi, Lega menceritakan pertemuannya
dengan Mendagri Sanusi. “Berapa sarjana kamu punya untuk bikin provinsi?” tanya
Sanusi kepada Lega.
“Justru
supaya kami bikin sarjana, kami mau bentuk provinsi,” jawab Lega yang balik
bertanya, “Berapa sarjana di Indonesia ketika Proklamasi 17 Agustus 1945?”
Sanusi tidak menjawab.
Lihat Juga:
Potret Kejayaan Becak Tahun 1953, Kini Tinggal Kenangan
Mengakulah Sebagai Anak Kampung Bukan Kampungan
Mengenal Sosok Sanusi Pane, Sang Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia
Wonder Woman Sejati Yang Hidup 2000 Tahun Lalu
Upaya lain ditempuh oleh Stephanus Ndoen dengan
melakukan diplomasi olahraga. Timor mengirimkan kontingen yang terpisah dari
kontingen Nusa Tenggara ke Pekan Olahraga Nasional IV tahun 1957 di Makassar.
Lega memimpin kontingen Timor itu.
Menurut Ben Mboi, nama-nama seperti Nani Manoe, Rudy
Leiwakabessy, J.N. Manafe, kelompok pemanah dari Alor, atlet-atlet sepakbola
(yang kebanjiran gol), dan atlet sepeda yang kesasar di Kota Makassar, adalah
pelaku-pelaku sejarah yang berjuang agar Nusa Tenggara Timur mendapatkan
pengakuan dan dapat mengatur rumah tangganya sendiri. “Merekalah ratusan
pahlawan tak bernama yang memikul pasir dan batu bata awal bangunan yang
bernama Nusa Tenggara Timur sekarang ini,” kata Mboi.
Mendagri Sanusi kemudian datang ke Kupang untuk
menyaksikan sendiri semangat kehidupan Timor, Flores, dan Sumba, untuk
membentuk provinsi sendiri. Akhirnya, Provinsi Nusa Tenggara dipecah menjadi
tiga provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pengesahannya berdasarkan UU No. 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958.
Menurut Mboi yang menjadi Gubernur NTT ketiga (1978-1983),
pembagiannya sangat berat beban ideologis. Bali, mayoritas beragama Hindu dan
dikuasai Partai Nasional Indonesia; mayoritas penduduk NTB beragama Islam
dengan kekuatan politik partai Islam (Masyumi dan Nahdlatul Ulama); dan NTT
penduduknya 90 persen Kristen (55 persen Katolik, 35 persen Protestan) secara
politis berbasis Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia).
Kendati lahir bersamaan, namun peresmian ketiga
provinsi itu berbeda-beda: Bali (14 Agustus 1958), NTB (17 Desember 1958), dan
NTT (20 Desember 1958). Gubernur pertama NTT dijabat Lalamentik, sedangkan Lega
menjabat bupati Manggarai. Untuk mengenang jasanya, Frans Sales Lega diabadikan
menjadi nama bandar udara di Ruteng, Manggarai.
Sumber Catatan Sejarah:
https://historia.id/politik/articles/cerita-menarik-di-balik-pembentukan-provinsi-ntt-DnEja/page/2