Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Tidur (Saatnya Green Economy, Indonesia!)

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Tidur (Saatnya Green Economy, Indonesia!)

MEMBANGUN EKONOMI DENGAN GERAKAN HIJAU
Kegiatan Sosilalisasi "Membangun Ekonomi Dengan Gerakan Hijau" dari Pengurus Inti Kabupaten PROJAMIN (Profesional Jaringan Mitra Negara) DPC MALAKA dan PROJAKOP (Profesional Jaringan Koperasi) Kantor Cabang Malaka di Desa Wekmidar, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka-NTT. Agenda Perrtemuan mengajak masyarakat untuk memanfaatkan lahan tidur untuk menanam pohon sengon laut. 

Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau berupaya menciptakan situasi kondusif untuk investasi hijau dan peningkatan modal, yang dilakukan dengan membantu pemerintah untuk membangun kepercayaan investor, menarik modal, dan membuat model usaha ‘hijau’ berkelanjutan yang dapat menghasilkan keuntungan, serta membuka kesempatan baru yang belum dimanfaatkan.

Setapak rai numbei - Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mempunyai sifat keruangan (spatial) dan merupakan lokasi aktivitas manusia. Fenomena kebutuhan lahan akan cenderung terus meningkat sejalan dengan adanya perkembangan pertumbuhan penduduk.. Sementara itu lahan ditinjau dari ketersediaannya dalam arti luasan terhadap batas administratif lahan bersifat terbatas. Lahan bersifat tetap dengan nilai ekonomis yang cenderung meningkat, khususnya di perkotaan, sehingga lahan tidak hanya sebagai obyek yang dimanfaatkan tetapi juga sebagai obyek yang diam untuk kepentingan investasi.

Penggunaan lahan yang kompleks di perkotaan mempengaruhi variasi harga lahan, dimana biasanya lahan dengan fungsi untuk komersial memiliki harga jual yang cenderung tinggi. Perkembangan guna lahan tersebut mempengaruhi kelengkapan faktor-faktor lain yang mendukung, seperti sarana dan prasarana jalan.

Semakin kompleksnya komponen - komponen yang mempengaruhi nilai lahan, maka akan mempengaruhi variasi harga lahannya. Karena lahan tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang sebelumnya merupakan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk yang secara langsung berdampak pada kebutuhan terhadap lahan yang semakin meningkat.



Lahan merupakan faktor penting untuk kemajuan dan keberhasilan dalam dibidang pertanian, karena tersedianya lahan maka petani siap untuk mengolah lahan tersebut.  Jika lahan tidak diolah maka tidak akan menguntungkna.  Lahan yang tidak diolah lagi atau dikenal dengan lahan tidur ini akan berdampak pada hasil pertanian yang akan semakin berkurang, dan berdampak pula pada pendapatan petani. Bertambahnya lahan tidur sebenarnya menjadi suatu masalah baru dalam dunia pertanian, karena semakin banyak lahan tidur maka semakin sedikitnya hasil pertanian yang dihasikan.

 Lahan tidur merupakan lahan pertanian yang sudah tidak dimanfaatkan selama lebih dari dua tahun. Lahan tidur umumnya berupa lahan kritis yang miskin nutrisi sehingga sulit ditanami tanaman penghasil papan maupun tanman pertanian lain. Meskipun lahan tidur tidak dimanfaatkan tetapi lahan tidur tedap memiliki status kepemilikan. Terkadang pemilik tanah sengaja untuk tidak memanfaatkan tanah tersebut karena dinilai tidak memiliki tingkat kesuburan yang diinginkan,, sehingga tidak dapat ditanami oleh komoditas tanaman tertentu.

Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Tanah Terlantar dalam Pasal 1 Angka 6, pengertian lahan tidur adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Menurut Drabkin (1977) lahan-lahan terlantar di perkotaan dapat mendorong peningkatan harga lahan. Dari sisi  estetika, adanya lahan terlantar dapat menimbulkan kesan kurang terawat sehingga dapat mengurangi keindahan kota (Hallet, 1979). Menurut Chapin dan Kaiser (1979) lahan terlantar adalah sebidang lahan yang diatasnya tidak terdapat bangunan secara fisik, tetpi masih memiliki potensi untuk dimanfaatkan.

Indonesia memiliki potensi lahan tidur seluas 33,4 juta hektare yang terdiri dari lahan pasang surut 20,01 juta hektare dan raawa lebak 13,3 juta hektare. Lahan tidur umumnya tejadi disebabkan suatu lahan tidak lagi mampu mendukung pertumbuhan tanamna secara optimal sehingga kebanyakan lahan tersebut akhirnya ditinggalkan. Hal ini biasanya terjadi pada sistem lading berpindah. Selain itu, bisa disebabkan karena petani tidak lagi menganggap pertanian sebagai sebuah mata pencaharian yang menguntungkan sehingga beralih profesi dan meninggalkan lahannya.

Di daerah perkotaan, lahan tidur dapat dijadikan sebagai ruang terbuka hijau untuk memenuhi target luasan RTH dalam rencana pembangunan daripada dibiarkan menjadi lahan kosong yang bisa merusak citra kota. Sekitar tahun 1970-an, Kalimantan memiliki begitu banyak lahan tidur akibat sistem perladangan berpindah dan penanaman kepala sawit diupayakan sebagai perbaikan lahan kritis sebagai akibat ladang berpindah yang menyebabkan lahan tidur. Di wilayah lain seperti Kalimantan Barat, tanaman lidah buaya menjadi pilihan untuk ditanam karena lidah buaya mampu tumbuh di atas tanah yang kurang subur dan beradaptasi di berbagai jenis lingkungan.


Lihat Juga:

Pertanian: Tanah Sebagai Sumber dan Sarana Kehidupan

Pemuda-Pemudi Jangan Malu Jadi Petani

Sejarah Pertanian Indonesia (Sejak Kapan Manusia Bercocok Tanam?)


Bagaimana cara agar lahan tidur bisa digunakan kembali?

Untuk mengurangi jumlah lahan tidur, pembudidayaan tananam yang pertumbuhannya lambat seperti pohon yang menghasilkan kayu karena relatif membutuhkan nutrisi yang sedikit dibandingkan tanaman pangan. Selain, melakukan penanaman untuk jenis pohon yang menghasilkan kayu seperti pohon sengon laut dan menanam lidah buaya, lahan tidur juga bisa ditanami dengan tanaman sorgum.

Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mampun tumbuh di lahan kritis dan tanaman ini merupakan tanamna multifungsi sehingga manfaatnya tidak hanya sebagai tanamna pangan namun juga bisa dijadikan sebagai pakan ternak dan penghasil bioenergi. Penanaman sorgum bisa dijadikan pilihan sebagai salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan tidur karena tanaman ini dapat dipanen tiga kali dengan usia tanam 55 hari. Tanaman sorgum menjadi alternative pilihan yang di tanam di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Sejak zaman Orde Baru, lahan tidur dipaksa untuk digunakan sebagai jalan untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Hal tersebut berlaku di bawah Hukum Dasar Agraria bahawa suatu lahan harus dikelola dengan produktif sebagai bagian dari fungsi sosialnya, entah di bawah hak sewa maupun hak milik.

Untuk pemanfaatan lahan rawa bisa diolah dengan membuat saluran drainase agar tidak tergenang. Pengolahan tanah bisa dilakukan sedalam kurang lebih 30 cm kemudian digemburkan dan dibersihkan dari sisa -- sisa tanaman. Selain lahan rawa, yang bisa dimanfaatkan adalah lahan tadah hujan. Lahan ini memang sangat tergantung dengan air hujan untuk kegiatan pertanian, namun jika dibangun embung atau penggunaan pompa dan teknologi lain tentu dapat dimanfaatkan sebagai lahan yang produktif. Indonesia memiliki potensi lahan tadah hujan yang belum dimanfaatkan secara optimal seluas 4 juta hektar dan ini tidak. Tentu ini menjadi peluang yang besar untuk meningkatkan produksi pangan nasional Indonesia.

Lahan tidur yang perlu juga untuk dimanfaatkan adalah pekarangan rumah. Lahan pekarangan bisa ditanami dengan tanaman yang berkualitas dan memiliki umur panen yang pendek seperti sayuran sehingga mampu menghasilkan bahan pangan. Dengan sentuhan bisnis, pemanfaatan lahan pekarangan ini juga bisa menambah pendapatan keluarga. Berbagai cara bisa dilakukan, seperti budidaya secara organik, hidroponik, vertikultur, dan tabulampot.

 

Lihat Juga:

Sajak Alam dan Manusia (Jangan Telanjangi Bumi) Kahlil Gibran. Gua Alam Kateri, , Malaka, Timor

Puisi Persahabatan, Karangan Kahlil Gibran (Puisi Musikalisasi Instrumen hutan pinang Kateri Timor)

Puisi Persahabatan, Karangan Kahlil Gibran (Puisi Musikalisasi Instrumen hutan pinang Kateri Timor)


Saatnya Green Economy, Indonesia!



 Apa green economy atau ekonomi hijau itu? Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Model ekonomi hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi 'hitam' yang boros konsumsi bahan bakar fosil, batu-bara, serta gas alam.

Ekonomi hijau dibangun atas dasar pengetahuan akan pentingnya ekosistem yang menyeimbangkan aktivitas manusia sebagai pelaku ekonomi dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas. Inilah esensi ekonomi hijau. Merevitalisasi ketergantungan antara human-economy dengan natural ecosystem yang pada akhirnya mengurangi dampak perubahan iklim.

Ekonomi hijau memiliki mesin penggerak di lapangan yang berbasis pada energi hijau yakni energi yang terbarukan (renewable energy). Energi terbaharukan ini merupakan pengganti daripada energi berbasis fosil yang dalam APBN 2010 sebanyak 20% anggaran malah tersedot untuk subsidi minyak bumi.

Model pembangunan ekonomi hijau diyakini akan dapat menciptakan green jobs dan mengedepankan konsep pembangunan lestari (sustainable development). Selain itu ekonomi hijau menjadi jalan keluar bagi terciptanya lingkungan yang bersih dan bebas polusi, mengatasi sumber daya ekstraktif melalui mekanisme efisiensi energi dan produk ramah lingkungan, serta menghindari terjadinya degradasi lingkungan.

Saatnya negeri ini bangkit! Bangsa ini kaya akan sumber daya alam hayati (biodiversity) terbaik di dunia. Faktanya adalah bahwa bahwa negara-negara di jalur khatulistiwa yang berhujan lebat dan matahari bersinar sepanjang tahun sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dibandingkan dengan negara-negara bermusim empat.

Tiga negara yang tergolong paling kaya keanekaragaman hayatinya adalah Brasil (Amerika Selatan), Indonesia (Asia), dan Zaire-Congo (Afrika). Indonesia dengan 17.000 pulau lebih adalah archipelagic-nation terbesar di dunia melalui keanekaragaman hayati maritim yang menakjubkan. Melalui biodiversitas yang hebat seharusnya Indonesia bisa mengelola kekayaan sumber daya alam terbarukan secara dasyhat.

Pro Poor, Pro Jobs, Pro Growth

Sekjen PBB Ban Ki Moon dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, "we are now in the threshold of a global transformation which is the age of green economics". Pernyataan ini dia katakan ketika membahas konsep "A Green New Deal" bersama pemimpin negara-negara besar tahun 2009. Konsep "Perjanjian Baru Hijau" ini merupakan konsep ekonomi hijau.

Ekonomi hijau tidak lagi menempatkan investasi pada surat-surat berharga yang spekulatif seperti seperti hot paper, saham, obligasi dan produk derifatifnya namun lebih mengarah kepada investasi bersih (clean and green investment) yang bertumpu pada teknologi bersih untuk mengurangi emisi karbon.

Pendekatan ekonomi hijau sudah mulai menjadi tren kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara maju. Khususnya Eropa yang tidak banyak memiliki sumber daya alam terbaharukan dan apalagi biodiversitas.



Ironisnya, Indonesia, belum memiliki konsep ekonomi hijau yang jelas melalui kebijakan yang terpadu antara seluruh sektor dan sub-sektor Pemerintahan. Padahal konsep ekonomi hijau menjadi benefit negara ini dengan kapasaitas sumber daya alam terbaharukan yang luar biasa besar potensinya. Selain biodiversitas kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada yang dapat menjadi sumber energi listrik sel surya maupun tenaga ombak.

Dengan berbagai potensi yang besar ini ekonomi hijau dapat menjadi jaminan terciptanya lapangan pekerjaan (pro jobs) dan menjadi motor perekonomian bangsa yang senantiasa tumbuh secara berkelanjutan (pro growth). Sebagai contoh: Indonesia punya lahan kritis sebesar 19,5 juta hektare (dalam kawasan hutan) dan 10,6 juta hektare (luar kawasan hutan).

Lahan kritis ini bisa dimanfaatkan untuk membuat kebun kelapa sawit yang ramah lingkungan, bahan bakar etanol, dan lahan pertanian organik. Bahkan kualitas bioetanol yang diperoleh dari lahan kritis diprediksi dapat memenuhi kebutuhan BBM di Indonesia setiap hari. Bioetanol yang dihasilkan diperoleh dari sumber tanaman jagung, ketela, gandum, dan tebu. Betapa banyak masyarakat lokal di sekitar lahan kritis ini yang akan terserap apabila pembangunan ekonomi hijau dikelola dengan sungguh-sungguh.

Brazil sebagai contohnya sudah mempraktekkan industrialisasi biotenanol sepuluh tahun lalu dan bahkan kini di Brazil, terdapat sekitar 10 juta kendaraan yang menggunakan bioetanol sebagai bahan bakarnya. Luar biasa!

Tetapi, apa lacur di negeri ini! Konsep pembangunan kita masih mengandalkan ekspor sumber daya alam yang dijual secara mentah ke negara-negara kaya. Kita tidak memiliki ciri khas industri yang bernilai tambah tinggi sehingga negara ini bagai terkena "the curse of the plenty". Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak memiliki daya saing produk manufaktur yang tinggi.

Kita lebih senang menjual barang mentah ketimbang mengelolanya dengan benar di dalam negeri sebagai barang jadi yang unggul. Bahkan, ekonomi hijau bisa langsung dilakukan di depan mata. Indonesia adalah negara kaya sampah. Lebih-lebih sampah basah karena setiap hari rakyat makan nasi.

Di Jakarta bahkan rata-rata sampah individu yang dihasilkan adalah 1 kg. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta orang maka setiap hari dihasilkan sekitar 220 juta kg sampah. Setelah dipilah sebagian besar sampah-sampah tersebut dapat diproses sampah organik dan menjadi kompos alias pupuk sampah.

Bisnis sampah dalam ekonomi hijau di akar rumput dapat dijalankan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang biasanya hampir tiap kecamatan punya TPA. Berdasarkan data per 2004 Indonesia punya 5.263 kecamatan. Sekali lagi, luar biasa!

Success Story Ekonomi Hijau di Negara Berkembang

Dunia saat ini dihuni oleh sekitar 6,8 miliar populasi. Masalah energi, pangan, dan air adalah masalah yang paling rawan dan mengancam eksistensi manusia karena keterbatasan alam dalam memproduksi segala macam kebutuhan manusia yang semakin konsumtif dan rakus energi. Oleh karena itu beberapa negara berkembang, berdasarkan laporan UNEP di situsnya tahun 2010, telah melakukan pratek ekonomi hijau yang konsisten sehingga menjadi benchmark buat negara kita (sayang sekali Indonesia tidak masuk.

Negara berkembang di sini adalah: China, Kenya, Uganda, Brazil, India, Nepal, Ekuador, dan Tunisia). Sebagai berikut: sampel diambil empat negara saja.

1.      China.

Negara komunis ini serus sekali dalam menerapkan pembangunan ekonomi yang rendah karbondioksida. Dalam "repelita"-nya yang ke-11 (2006-2011), China mengalokasikan secara signifikan jumlah investasi di sektor hijau dengan menekankan pada pemanfaatan energi yang terbaharukan serta melakukan efisiensi energi.

Bahkan, China merencanakan secara hitungan per unit GDP bahwa konsumsi energinya tahun 2010 akan menurun sebesar 20% dibandingkan tahun 2005. Selain itu, Pemerintah RRC berkomitmen akan memproduksi 16% dari kebutuhan energi utamanya akan berasal dari sumber-sumber terbaharukan sebelum tahun 2020.

 

2.      Kenya

Negara di Afrika ini adalah negara yang kaya akan energi biomassa. Namun, selama beberapa tahun terakhir kebutuhan energinya sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil. Namun, sejak Maret 2008, Kementerian Energi Kenya mengadopsi kebijakan yang disebut "feed-in tariff" (FIT). Kebijakan ini mirip di Indonesia. FIT mewajibkan perusahaan energi dan utilitis memenuhi kebutuhan jaringan listrik nasional dengan membeli listrik yang berasal dari energi terbaharukan.

Penetapan harga diberlakukan dengan tarif yang menarik untuk menstimulasi investasi baru di sektor terbaharukan. Penerapan kebijakan RES (Renewable Energy Sources) termasuk matahari, angin, mini hydro, biogas, dan pemanfaatan energi sampah perkotaan terbukti meningkatkan pendapatan masyarakat. Kebijakan ini juga membuka banyak lapangan pekerjaan di sana. Selain itu kebijakan RES terbukti dapat memenuhi kebutuhan energi listrik dari berbagai sumber bukan hanya pembangkit listrik berbasis fosil.

 

3.      Uganda

Uganda mengambil inisiatif untuk mentransformasikan produksi pertanian yang konvensional ke dalam sistem pertanian organik. Hasilnya adalah benefit yang signifikan bagi ekonomi, masyarakan dan lingkungan hidup di sana. Organic Agriculture (OA) berdasarkan definisi Codex Alimentarius Commission adalah sistem pengelolaan pertanian holistik yang bertujuan meningkatkan dan memperbaiki kehidupan ekosistem agrikultur, termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas lahan. Pendekatan OA ini juga mencegah pemakaian bahan-bahan sintetik dan kimiawi untuk mempercepat produksi lahan pertanian.

 

4.      Brazil

Melalui pendekatan sustainable urban planning (SUP) Brazil sukses dalam mengendalikan kepadatan penduduk di perkotaan. Sebagaimana kita ketahui Brazil adalah negara keempat di dunia setelah China, India, dan AS, yang memiliki pertumbuhan penduduk urban per tahun sebesar 1,8% antara tahun 2005 dan 2010.

Proyek ini sukses dilaksanakan di Kota Curitiba Ibu Kota Negara Bagian Parana. Pendekatan yang dipakai adalah inovasi dalam urban planning, pengelolaan kota, dan transportasi umum. Curitiba berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk dari 361.000 (1960) menjadi hanya 1,828 juta (2008) tanpa timbulnya kegagalan akibat padatnya penduduk, tanpa timbulnya polusi, dan tanpa mengurangi ruang-ruang publik.

Kepadatan populasi di kota memang meningkat tiga kali lipat dari tahun 1970 sampai 2008. Namun, pada saat yang bersamaan, area-area hijau malah meningkat dari 1 km persegi menjadi 50 km persegi. Pendekatan SUP ini juga dipakai di kota-kota Brazil lainnya. What a remarkable policy!

 


So, dengan contoh-contoh green economy dari negara berkembang di atas, bisakah Indonesia mendapatkan pelajaran? Seharusnya negara kita bisa lebih hebat dari Uganda, Kenya, bahkan Nepal sekali pun. Apa yang kurang di negeri ini adalah kita terlalu banyak berpolitik ria, korupsi, dan tidak fokus pada apa yang sebenarnya kita mampu lakukan.


Indonesia harus "do what we know" secara optimal. Maksudnya, secara kodrati, kita negara agraria, negara kehutanan, negara keanekaragaman hayati! Manfaatkanlah itu untuk menciptakan produk kebanggaan bangsa. Yang bernilai kompetitif tinggi untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan (sustainable).


***

Frederick Mzaq

(Penimba Inspirasi Jalan Setapak)

 

 

 

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama