Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau berupaya menciptakan situasi kondusif untuk investasi hijau dan peningkatan modal, yang dilakukan dengan membantu pemerintah untuk membangun kepercayaan investor, menarik modal, dan membuat model usaha ‘hijau’ berkelanjutan yang dapat menghasilkan keuntungan, serta membuka kesempatan baru yang belum dimanfaatkan.
Penggunaan lahan yang kompleks di perkotaan
mempengaruhi variasi harga lahan, dimana biasanya lahan dengan fungsi untuk
komersial memiliki harga jual yang cenderung tinggi. Perkembangan guna lahan
tersebut mempengaruhi kelengkapan faktor-faktor lain yang mendukung, seperti
sarana dan prasarana jalan.
Semakin kompleksnya komponen - komponen yang
mempengaruhi nilai lahan, maka akan mempengaruhi variasi harga lahannya. Karena
lahan tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan
lahan yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang sebelumnya merupakan
penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Perubahan penggunaan
lahan yang terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah
penduduk yang secara langsung berdampak pada kebutuhan terhadap lahan yang
semakin meningkat.
Lahan merupakan faktor penting untuk kemajuan dan
keberhasilan dalam dibidang pertanian, karena tersedianya lahan maka petani
siap untuk mengolah lahan tersebut. Jika lahan tidak diolah maka tidak
akan menguntungkna. Lahan yang tidak diolah lagi atau dikenal
dengan lahan tidur ini
akan berdampak pada hasil pertanian yang akan semakin berkurang, dan berdampak
pula pada pendapatan petani. Bertambahnya lahan tidur sebenarnya menjadi suatu
masalah baru dalam dunia pertanian, karena semakin banyak lahan tidur maka
semakin sedikitnya hasil pertanian yang dihasikan.
Lahan tidur merupakan lahan pertanian yang
sudah tidak dimanfaatkan selama lebih dari dua tahun. Lahan tidur umumnya
berupa lahan kritis yang miskin nutrisi sehingga sulit ditanami tanaman
penghasil papan maupun tanman pertanian lain. Meskipun lahan tidur tidak
dimanfaatkan tetapi lahan tidur tedap memiliki status kepemilikan. Terkadang
pemilik tanah sengaja untuk tidak memanfaatkan tanah tersebut karena dinilai
tidak memiliki tingkat kesuburan yang diinginkan,, sehingga tidak dapat
ditanami oleh komoditas tanaman tertentu.
Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
RI No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Tanah Terlantar dalam Pasal 1
Angka 6, pengertian lahan tidur adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh
negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Menurut Drabkin (1977) lahan-lahan terlantar di
perkotaan dapat mendorong peningkatan harga lahan. Dari sisi estetika,
adanya lahan terlantar dapat menimbulkan kesan kurang terawat sehingga dapat
mengurangi keindahan kota (Hallet, 1979). Menurut Chapin dan Kaiser (1979)
lahan terlantar adalah sebidang lahan yang diatasnya tidak terdapat bangunan
secara fisik, tetpi masih memiliki potensi untuk dimanfaatkan.
Indonesia memiliki potensi lahan tidur seluas 33,4
juta hektare yang terdiri dari lahan pasang surut 20,01 juta hektare dan raawa
lebak 13,3 juta hektare. Lahan tidur umumnya tejadi disebabkan suatu lahan
tidak lagi mampu mendukung pertumbuhan tanamna secara optimal sehingga
kebanyakan lahan tersebut akhirnya ditinggalkan. Hal ini biasanya terjadi pada
sistem lading berpindah. Selain itu, bisa disebabkan karena petani tidak lagi
menganggap pertanian sebagai sebuah mata pencaharian yang menguntungkan
sehingga beralih profesi dan meninggalkan lahannya.
Di daerah perkotaan, lahan tidur dapat dijadikan
sebagai ruang terbuka hijau untuk memenuhi target luasan RTH dalam rencana
pembangunan daripada dibiarkan menjadi lahan kosong yang bisa merusak citra
kota. Sekitar tahun 1970-an, Kalimantan memiliki begitu banyak lahan tidur
akibat sistem perladangan berpindah dan penanaman kepala sawit diupayakan
sebagai perbaikan lahan kritis sebagai akibat ladang berpindah yang menyebabkan
lahan tidur. Di wilayah lain seperti Kalimantan Barat, tanaman lidah buaya
menjadi pilihan untuk ditanam karena lidah buaya mampu tumbuh di atas tanah
yang kurang subur dan beradaptasi di berbagai jenis lingkungan.
Lihat Juga:
Pertanian: Tanah Sebagai Sumber dan Sarana Kehidupan
Pemuda-Pemudi Jangan Malu Jadi Petani
Sejarah Pertanian Indonesia (Sejak Kapan Manusia Bercocok Tanam?)
Bagaimana cara
agar lahan tidur bisa digunakan kembali?
Untuk mengurangi jumlah lahan tidur, pembudidayaan
tananam yang pertumbuhannya lambat seperti pohon yang menghasilkan kayu karena
relatif membutuhkan nutrisi yang sedikit dibandingkan tanaman pangan. Selain,
melakukan penanaman untuk jenis pohon yang menghasilkan kayu seperti pohon
sengon laut dan menanam lidah buaya, lahan tidur juga bisa ditanami dengan
tanaman sorgum.
Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mampun tumbuh di
lahan kritis dan tanaman ini merupakan tanamna multifungsi sehingga manfaatnya
tidak hanya sebagai tanamna pangan namun juga bisa dijadikan sebagai pakan
ternak dan penghasil bioenergi. Penanaman sorgum bisa dijadikan pilihan sebagai
salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan tidur karena tanaman ini dapat
dipanen tiga kali dengan usia tanam 55 hari. Tanaman sorgum menjadi alternative
pilihan yang di tanam di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Sejak zaman Orde Baru, lahan tidur dipaksa untuk
digunakan sebagai jalan untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Hal tersebut
berlaku di bawah Hukum Dasar Agraria bahawa suatu lahan harus dikelola dengan
produktif sebagai bagian dari fungsi sosialnya, entah di bawah hak sewa maupun
hak milik.
Untuk pemanfaatan lahan rawa bisa diolah dengan
membuat saluran drainase agar tidak tergenang. Pengolahan tanah bisa dilakukan
sedalam kurang lebih 30 cm kemudian digemburkan dan dibersihkan dari sisa --
sisa tanaman. Selain lahan rawa, yang bisa dimanfaatkan adalah lahan tadah
hujan. Lahan ini memang sangat tergantung dengan air hujan untuk kegiatan
pertanian, namun jika dibangun embung atau penggunaan pompa dan teknologi lain tentu
dapat dimanfaatkan sebagai lahan yang produktif. Indonesia memiliki potensi
lahan tadah hujan yang belum dimanfaatkan secara optimal seluas 4 juta hektar
dan ini tidak. Tentu ini menjadi peluang yang besar untuk meningkatkan produksi
pangan nasional Indonesia.
Lahan tidur yang perlu juga untuk dimanfaatkan
adalah pekarangan rumah. Lahan pekarangan bisa ditanami dengan tanaman yang
berkualitas dan memiliki umur panen yang pendek seperti sayuran sehingga mampu
menghasilkan bahan pangan. Dengan sentuhan bisnis, pemanfaatan lahan pekarangan
ini juga bisa menambah pendapatan keluarga. Berbagai cara bisa dilakukan,
seperti budidaya secara organik, hidroponik, vertikultur, dan tabulampot.
Puisi Persahabatan, Karangan Kahlil Gibran (Puisi Musikalisasi Instrumen hutan pinang Kateri Timor)
Puisi Persahabatan, Karangan Kahlil Gibran (Puisi Musikalisasi Instrumen hutan pinang Kateri Timor)
Saatnya Green Economy, Indonesia!
Apa green
economy atau ekonomi hijau itu? Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program
Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah
meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Model ekonomi
hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi 'hitam' yang boros konsumsi
bahan bakar fosil, batu-bara, serta gas alam.
Ekonomi hijau dibangun atas dasar pengetahuan akan pentingnya ekosistem yang
menyeimbangkan aktivitas manusia sebagai pelaku ekonomi dengan ketersediaan
sumber daya alam yang terbatas. Inilah esensi ekonomi hijau. Merevitalisasi
ketergantungan antara human-economy dengan natural ecosystem yang pada akhirnya
mengurangi dampak perubahan iklim.
Ekonomi hijau memiliki mesin penggerak di lapangan
yang berbasis pada energi hijau yakni energi yang terbarukan (renewable energy). Energi terbaharukan
ini merupakan pengganti daripada energi berbasis fosil yang dalam APBN 2010
sebanyak 20% anggaran malah tersedot untuk subsidi minyak bumi.
Model pembangunan ekonomi hijau diyakini akan dapat
menciptakan green jobs dan mengedepankan konsep pembangunan lestari
(sustainable development). Selain itu ekonomi hijau menjadi jalan keluar bagi
terciptanya lingkungan yang bersih dan bebas polusi, mengatasi sumber daya
ekstraktif melalui mekanisme efisiensi energi dan produk ramah lingkungan,
serta menghindari terjadinya degradasi lingkungan.
Saatnya negeri ini bangkit! Bangsa ini kaya akan
sumber daya alam hayati (biodiversity) terbaik di dunia. Faktanya adalah bahwa
bahwa negara-negara di jalur khatulistiwa yang berhujan lebat dan matahari
bersinar sepanjang tahun sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dibandingkan
dengan negara-negara bermusim empat.
Tiga negara yang tergolong paling kaya keanekaragaman
hayatinya adalah Brasil (Amerika Selatan), Indonesia (Asia), dan Zaire-Congo
(Afrika). Indonesia dengan 17.000 pulau lebih adalah archipelagic-nation
terbesar di dunia melalui keanekaragaman hayati maritim yang menakjubkan.
Melalui biodiversitas yang hebat seharusnya Indonesia bisa mengelola kekayaan
sumber daya alam terbarukan secara dasyhat.
Pro Poor, Pro Jobs, Pro Growth
Sekjen PBB Ban Ki Moon dalam suatu kesempatan pernah
mengatakan, "we are now in the threshold of a global transformation which
is the age of green economics". Pernyataan ini dia katakan ketika membahas
konsep "A Green New Deal" bersama pemimpin negara-negara besar tahun
2009. Konsep "Perjanjian Baru Hijau" ini merupakan konsep ekonomi
hijau.
Ekonomi hijau tidak lagi menempatkan investasi pada surat-surat berharga yang
spekulatif seperti seperti hot paper, saham, obligasi dan produk derifatifnya
namun lebih mengarah kepada investasi bersih (clean and green investment) yang
bertumpu pada teknologi bersih untuk mengurangi emisi karbon.
Pendekatan ekonomi hijau sudah mulai menjadi tren
kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara maju. Khususnya Eropa yang
tidak banyak memiliki sumber daya alam terbaharukan dan apalagi biodiversitas.
Ironisnya, Indonesia, belum memiliki konsep ekonomi
hijau yang jelas melalui kebijakan yang terpadu antara seluruh sektor dan
sub-sektor Pemerintahan. Padahal konsep ekonomi hijau menjadi benefit negara
ini dengan kapasaitas sumber daya alam terbaharukan yang luar biasa besar
potensinya. Selain biodiversitas kita juga memiliki garis pantai terpanjang
kedua setelah Kanada yang dapat menjadi sumber energi listrik sel surya maupun
tenaga ombak.
Dengan berbagai potensi yang besar ini ekonomi hijau
dapat menjadi jaminan terciptanya lapangan pekerjaan (pro jobs) dan menjadi motor perekonomian bangsa yang senantiasa
tumbuh secara berkelanjutan (pro growth).
Sebagai contoh: Indonesia punya lahan kritis sebesar 19,5 juta hektare (dalam
kawasan hutan) dan 10,6 juta hektare (luar kawasan hutan).
Lahan kritis ini bisa dimanfaatkan untuk membuat kebun kelapa sawit yang ramah
lingkungan, bahan bakar etanol, dan lahan pertanian organik. Bahkan kualitas
bioetanol yang diperoleh dari lahan kritis diprediksi dapat memenuhi kebutuhan
BBM di Indonesia setiap hari. Bioetanol yang dihasilkan diperoleh dari sumber
tanaman jagung, ketela, gandum, dan tebu. Betapa banyak masyarakat lokal di
sekitar lahan kritis ini yang akan terserap apabila pembangunan ekonomi hijau
dikelola dengan sungguh-sungguh.
Brazil sebagai contohnya sudah mempraktekkan
industrialisasi biotenanol sepuluh tahun lalu dan bahkan kini di Brazil,
terdapat sekitar 10 juta kendaraan yang menggunakan bioetanol sebagai bahan
bakarnya. Luar biasa!
Tetapi, apa lacur di negeri ini! Konsep pembangunan
kita masih mengandalkan ekspor sumber daya alam yang dijual secara mentah ke
negara-negara kaya. Kita tidak memiliki ciri khas industri yang bernilai tambah
tinggi sehingga negara ini bagai terkena "the curse of the plenty".
Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak memiliki daya saing produk manufaktur
yang tinggi.
Kita lebih senang menjual barang mentah ketimbang
mengelolanya dengan benar di dalam negeri sebagai barang jadi yang unggul.
Bahkan, ekonomi hijau bisa langsung dilakukan di depan mata. Indonesia adalah
negara kaya sampah. Lebih-lebih sampah basah karena setiap hari rakyat makan
nasi.
Di Jakarta bahkan rata-rata sampah individu yang
dihasilkan adalah 1 kg. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta orang maka
setiap hari dihasilkan sekitar 220 juta kg sampah. Setelah dipilah sebagian
besar sampah-sampah tersebut dapat diproses sampah organik dan menjadi kompos
alias pupuk sampah.
Bisnis sampah dalam ekonomi hijau di akar rumput
dapat dijalankan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang biasanya hampir tiap
kecamatan punya TPA. Berdasarkan data per 2004 Indonesia punya 5.263 kecamatan.
Sekali lagi, luar biasa!
Success Story Ekonomi Hijau di Negara Berkembang
Dunia saat ini dihuni oleh sekitar 6,8 miliar
populasi. Masalah energi, pangan, dan air adalah masalah yang paling rawan dan
mengancam eksistensi manusia karena keterbatasan alam dalam memproduksi segala
macam kebutuhan manusia yang semakin konsumtif dan rakus energi. Oleh karena
itu beberapa negara berkembang, berdasarkan laporan UNEP di situsnya tahun
2010, telah melakukan pratek ekonomi hijau yang konsisten sehingga menjadi
benchmark buat negara kita (sayang sekali Indonesia tidak masuk.
Negara berkembang di sini adalah: China, Kenya, Uganda, Brazil, India, Nepal,
Ekuador, dan Tunisia). Sebagai berikut: sampel diambil empat negara saja.
1. China.
Negara komunis ini serus sekali dalam menerapkan
pembangunan ekonomi yang rendah karbondioksida. Dalam "repelita"-nya
yang ke-11 (2006-2011), China mengalokasikan secara signifikan jumlah investasi
di sektor hijau dengan menekankan pada pemanfaatan energi yang terbaharukan
serta melakukan efisiensi energi.
Bahkan, China merencanakan secara hitungan per unit
GDP bahwa konsumsi energinya tahun 2010 akan menurun sebesar 20% dibandingkan
tahun 2005. Selain itu, Pemerintah RRC berkomitmen akan memproduksi 16% dari
kebutuhan energi utamanya akan berasal dari sumber-sumber terbaharukan sebelum
tahun 2020.
2. Kenya
Negara di Afrika ini adalah negara yang kaya akan
energi biomassa. Namun, selama beberapa tahun terakhir kebutuhan energinya
sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil. Namun, sejak Maret 2008,
Kementerian Energi Kenya mengadopsi kebijakan yang disebut "feed-in
tariff" (FIT). Kebijakan ini mirip di Indonesia. FIT mewajibkan perusahaan
energi dan utilitis memenuhi kebutuhan jaringan listrik nasional dengan membeli
listrik yang berasal dari energi terbaharukan.
Penetapan harga diberlakukan dengan tarif yang
menarik untuk menstimulasi investasi baru di sektor terbaharukan. Penerapan
kebijakan RES (Renewable Energy Sources) termasuk matahari, angin, mini hydro,
biogas, dan pemanfaatan energi sampah perkotaan terbukti meningkatkan
pendapatan masyarakat. Kebijakan ini juga membuka banyak lapangan pekerjaan di
sana. Selain itu kebijakan RES terbukti dapat memenuhi kebutuhan energi listrik
dari berbagai sumber bukan hanya pembangkit listrik berbasis fosil.
3. Uganda
Uganda mengambil inisiatif untuk mentransformasikan
produksi pertanian yang konvensional ke dalam sistem pertanian organik.
Hasilnya adalah benefit yang signifikan bagi ekonomi, masyarakan dan lingkungan
hidup di sana. Organic Agriculture
(OA) berdasarkan definisi Codex
Alimentarius Commission adalah sistem pengelolaan pertanian holistik yang
bertujuan meningkatkan dan memperbaiki kehidupan ekosistem agrikultur, termasuk
keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas lahan. Pendekatan OA ini
juga mencegah pemakaian bahan-bahan sintetik dan kimiawi untuk mempercepat
produksi lahan pertanian.
4. Brazil
Melalui pendekatan sustainable urban planning (SUP)
Brazil sukses dalam mengendalikan kepadatan penduduk di perkotaan. Sebagaimana
kita ketahui Brazil adalah negara keempat di dunia setelah China, India, dan
AS, yang memiliki pertumbuhan penduduk urban per tahun sebesar 1,8% antara
tahun 2005 dan 2010.
Proyek ini sukses dilaksanakan di Kota Curitiba Ibu
Kota Negara Bagian Parana. Pendekatan yang dipakai adalah inovasi dalam urban
planning, pengelolaan kota, dan transportasi umum. Curitiba berhasil
mengendalikan pertumbuhan penduduk dari 361.000 (1960) menjadi hanya 1,828 juta
(2008) tanpa timbulnya kegagalan akibat padatnya penduduk, tanpa timbulnya
polusi, dan tanpa mengurangi ruang-ruang publik.
Kepadatan populasi di kota memang meningkat tiga
kali lipat dari tahun 1970 sampai 2008. Namun, pada saat yang bersamaan,
area-area hijau malah meningkat dari 1 km persegi menjadi 50 km persegi.
Pendekatan SUP ini juga dipakai di kota-kota Brazil lainnya. What a remarkable
policy!
So, dengan
contoh-contoh green economy dari negara berkembang di atas, bisakah Indonesia
mendapatkan pelajaran? Seharusnya negara kita bisa lebih hebat dari Uganda,
Kenya, bahkan Nepal sekali pun. Apa yang kurang di negeri ini adalah kita
terlalu banyak berpolitik ria, korupsi, dan tidak fokus pada apa yang
sebenarnya kita mampu lakukan.
Indonesia harus "do what we know" secara optimal. Maksudnya, secara
kodrati, kita negara agraria, negara kehutanan, negara keanekaragaman hayati!
Manfaatkanlah itu untuk menciptakan produk kebanggaan bangsa. Yang bernilai
kompetitif tinggi untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan (sustainable).
***
Frederick Mzaq
(Penimba Inspirasi Jalan Setapak)