Bung Hatta dikenal sebagai orang yang anti minuman keras. Gegara minuman beralkohol itu, dia pernah mengusir sekelompok peminum dari kantornya.
Pada suatu malam tahun 1921, Hatta hendak nonton
opera bersama rekannya di Hamburg, Jerman. Ketiga teman Hatta itu antara lain,
Dahlan Abdullah, Dr. Eichele, dan Usman Idris. Sebelum nonton, mereka makan
malam dulu di suatu restoran di Hamburg.
Dalam Memoir,
Hatta mengisahkan ketiga temannya memesan bir untuk minum sedangkan dirinya
pesan air es saja. Setelah selesai makan dan membayar harganya, Dahlan Abdulah
menertawakan Hatta. Setelah meneliti isi tagihan, air es yang dipesan Hatta
ternyata lebih mahal harganya daripada bir. Dr. Eichele dan Usman Idris pun
ikut merasa lucu dengan situasi itu.
"Aku ditertawakan oleh Dahlan Abdullah, bahwa
minumanku air es lebih mahal harganya dari bir. Teman yang dua lainnya ikut
tertawa," tutur Hatta.
Cerita Hatta dan minuman keras berlanjut lagi di
masa revolusi. Pada pertengahan 1947, Bung Hatta bersama serombongan menteri
bermuhibah ke Sumatra. Menjalankan tugas negara di Yogyakarta semakin tidak
aman setelah Belanda melancarkan agresi militer yang pertama. Dalam perjalanan
itu, Bung Hatta dan rombongan akan menetap di Bukittinggi, Sumatra Barat.
“Kami sampai
di Bukittinggi pada hari Sabtu, 29 Juli 1947. Untuk sementara waktu aku harus
tinggal di Bukittinggi,” catat Hatta dalam Memoir.
Lihat Juga:
Anak Muda Mileneal Diharapkan Paham Sejarah G30S/PKI
Potret Kejayaan Becak Tahun 1953 (Sejarah dan Perkembangan Becak di Indonesia)
Di Bukittinggi, Hatta menjalankan tugas sebagai
wakil presiden selama tujuh bulan lamanya. Di sana, Hatta bertindak selaku
wakil kepala negara dan berkuasa penuh di Sumatra. Selain beberapa
menteri, Hatta turut didampingi oleh Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) R.M.T.A.
Soerjo. Pada saat bertugas bersama di Bukittinggi itulah Soerjo pernah
menyaksikan kemarahan Hatta.
Syahdan datanglah seorang lelaki muda ke Istana
Bukitinggi - tempat wakil presiden berkantor dan saat ini dikenal sebagai
Istana Bung Hatta - membawa sebotol arak untuk diminum bersama. Orang itu
tengah masygul karena sedang jauh dari anak dan istri. Menenggak minuman keras
seolah jadi pelipur lara hatinya yang gundah. Wangsawidjaja, sekretaris Bung
Hatta, tidak mengetahui di mana anak dan istri lelaki tersebut. Pada saat
itulah Hatta muncul lantas menyaksikan apa yang terjadi.
“Sedang minuman akan diedarkan, beliau datang.
Dilihatnya minuman keras, bukan main marahnya,” kata Soerjo seperti dikutip
Tamar Djaja dalam 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang.
Bung Hatta dikenal pendiam dan tidak banyak bicara.
Tapi, kalau sudah disulut dengan perbuatan yang tidak patut, dia tidak segan
meluapkan emosi. Begitu mendapati minuman haram itu ada dihadapannya, Hatta pun
mencak-mencak. Semua yang hadir di tempat itu kena bentak sehingga tiada yang
berani mengangkat muka. Mereka tunduk dan tertegun.
Hatta kemudian menghardik mereka semua dengan
peringatan keras: “Tidak ada satu tetes minuman keras boleh diminum di tempatku
ini. Tuan-tuan boleh pergi semua dari dekatku, kalau tuan-tuan lebih menyukai
minuman keras.” Suasana sekitar menjadi hening. Sejak kejadian itu, tidak
pernah lagi minuman keras mendekati Istana Bukitinggi.
“Dia memang seorang yang teguh, laksana batu karang.
Saya kagum melihatnya beribadat kepada Tuhan. Itulah yang menjadi sandaran
jiwanya,” kenang Soerjo.
Sampai akhir hayat, Bung Hatta tetap menjunjung
sikap untuk tidak mengonsumsi minuman keras. Dia boleh toleran terhadap apapun
yang berbau perbedaan prinsip, namun soal minuman keras itu Hatta memang tak
mengenal kompromi.
Referensi Catatan Sejarah:
https://historia.id/histeria/articles/bung-hatta-dan-minuman-keras-vYMw8/page/1