Generasi seangkatannya mengenal sang penyair sebagai sosok urakan yang bersikap semau gue namun sangat patriotik. Sebagian puisinya menggambarkan kegelisahan yang menggebu-gebu.
Di tengah keseriusan tersebut, tetiba seorang pemuda
berpakaian agak dekil memasuki ruangan rapat. Dalam gaya slengean, dia menuju
meja Sjahrir dan mengambil beberapa batang cerutu.
“Selamat pagi
, Bapak Perdana Menteri. Ada yang sedang penting rupanya. Saya interupsi
sebentar, cuma buat ini kok…” ujarnya seperti dikisahkan oleh Sjuman Djaya
dalam bukunya yang berjudul Aku.
Tak ada orang yang tersinggung dengan kelakuan
“songong” itu. Selain semua sudah mafhum dengan watak semau gue-nya, Chairil
Anwar (nama lelaki muda tersebut) pun memang memiliki hubungan istimewa dengan
Sjahrir. Ya Chairil tak lain masih merupakan keponakan dari Si Bung Kecil
(panggilan akrab Sjahrir).
Kendati dikenal “kurang beretika”, Chairil merupakan
penyair yang handal di zaman-nya. Jurnalis kawakan almarhum Rosihan Anwar
pernah berkisah bagaimana Charil sering berlaku bak “singa” di pentas-pentas
seni: berdeklamasi dalam gaya memukau dan menyala-nyala.
Lihat juga:
7 Pahlawan Dibalik Kemerdekaan Indonesia Yang Sering Dilupakan
Potret Kejayaan Becak Tahun 1953, Sejarang dan Perkembangan Becak di Indonesia
Pada era revolusi, bagian Kesastraan Pusat
Kebudayaan di Jakarta yang dipimpin oleh sastrawan Armijn Pane kerap mengadakan
malam deklamasi yang dihadiri oleh para para penyair dan peminat sastra.
“Suatu malam saya mendapat giliran mendeklamasikan
sebuah sajak dari golongan Pujangga Baru,” tutur Rosihan Anwar dalam Menulis
dalam Air, Sebuah Otobiografi.
Rosihan sudah menghafalkan sajak itu di luar kepala.
Itu dilakukannya sebab deklamasi dengan membaca dari sehelai kertas atau dari
sebuah buku menurut kelaziman saat itu, bukanlah dianggap sebagai seni
deklamasi. Maka tampillah Rosihan diiringi lantunan nada piano yang dia mainkan
sendiri. Semua orang terpukau.
Tamat Rosihan berpuisi, dilanjutkan dengan acara
diskusi membahas isi dan sajak-sajak yang telah dibacakan. Di tengah riuh
rendah orang berdiskusi, tetiba seorang anak muda kurus kerempeng, bermata merah
bak saga dengan baju lusuh dan rambut acak-acakan angkat bicara.
Dia mengeritik sajak-sajak generasi Pujangga Baru
sudah tidak relevan dengan zaman yang sudah jauh berubah. Tak ada vitalisme
dalam sajak-sajak karya para penyair Pujangga Baru.
“Sajak harus mengandung vitalisme! Saudara mau
contoh?” kata sang pemuda yang tak lain adalah Chairil Anwar itu.
Charil lalu lalu berdeklamasi. Dia membawakan
sajaknya sendiri yang berjudul Aku Binatang Jalang. Dalam bagian akhir sajaknya
itu, Chairil seolah mengajukan tantangan: aku hendak hidup 1000 tahun lagi.
Inilah kali pertama sajak-nya yang legendaris itu dibacakan di depan khalayak.
“Chairil Anwar memang meninggal pada 1949. Tetapi
saya rasa kepenyairannya akan terus dikenang dan dibicarakan orang, 1000 tahun
lagi. Insya Allah,” ujar Rosihan.
Tidak hanya hebat dalam soal menciptakan dan membaca
puisi, Chairil pun dianggap memiliki jiwa patriot yang lumayan besar. Sjuman
Djaja menulis jika Chairil sangat terpengaruh dengan suasana revolusi yang saat
itu tengah berkecamuk di Indonesia.
Saat mengikuti kawan-kawannya hijrah ke Karawang
pada 1947, Chairil menyaksikan langsung bagaimana militer Belanda menghabisi
orang-orang sebangsanya. Dia pun diam-diam marah dan terluka. Sepulang dari
Karawang muncullah sajak Krawang-Bekasi.
Krawang-Bekasi kali pertama dibacakan dalam obrolan
malam antar penyair dan peminat sastra di sebuah kedai yang terletak di Pasar
Senen. Menurut J.C. Princen dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih, dia
ingat saat itu dirinya hadir dan ikut menyimak puisi tersebut.
“Sajak ini sangat bagus…” ujar Princen.
Chairil cukup mengenal Princen. Dia tahu juga bahwa
serdadu Belanda itu diam-diam menyimpan simpati kepada perjuangan kemerdekaan
kaum republik sehingga bisa jadi dia berpikir anak muda Belanda itu merupakan
“sasaran empuk” untuk menjadi obyek propaganda-nya.
Namun tidak hanya memuji, Princen juga mengeritik
posisi Chairil Anwar yang dia anggap “tidak cukup bertanggungjawab” terhadap
sikap nasionalisme-nya. Dia mengejek Chairil hanya bisa “enak duduk-duduk di
rumah sambil menulis-nulis dan menyerahkan pada orang lain guna menyelesaikan
pekerjaan berat ini.”
“Apa kalian memang hebat untuk tidak
berkelahi?” tantang Princen.
Lihat Juga: Bung Hatta dan Minuman Keras
Tentu saja, pernyataan nakal Princen itu disambut
dengan geram oleh Chairil dan kawan-kawan republik-nya. Mereka pun balik
mengeritik sang serdadu yang seolah sudah merasa cukup nyaman hanya dengan
memiliki rasa simpati terhadap perjuangan orang-orang republik.
“Kalau kau memang lebih tahu, apa yang kau kerjakan
di sini sekarang? Apa kau lebih baik dibandingkan orang Jepang atau orang
Jerman?” jawab Chairil dalam nada tajam.
“Bila aku tidak bisa berbuat lain lagi, maka aku
akan aktif berada di pihak kalian, karena aku pikir kalian ini yang benar,”
ujar Poncke.
“Apa ini berarti bahwa kamu akan menjadi musuh dari
kawan-kawanmu, orang Belanda?” tanya Chairil lagi.
“Bukankah kalian semua adalah kawanku? Apakah
seorang Belanda yang mati lebih buruk dari seorang Indonesia yang mati?” jawab
Princen.
Sontak semua terdiam.
Perdebatan itu memang berakhir begitu saja dan
dilupakan dengan acara ngopi-ngopi dan merokok. Hampir delapan bulan kemudian
setelah perdebatan panas itu, pada 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal muda
(27 tahun) akibat komplikasi.
Princen sendiri saat itu tengah menyabung nyawa
melawan kawan-kawan sebangsanya di hutan-hutan Sukabumi dan Cianjur. Janji
yang diucapkannya kepada Si Binatang Jalang di Pasar Senen untuk sehidup-semati
dengan orang-orang republik digenapi lelaki Den Haag itu dengan sempurna.