Janji manis Belanda menyerahkan kedaulatan lebih cepat lewat KMB pada Maret 1949 musnah gara-gara ditolak mentah-mentah Sukarno.
Ilustrasi konvoi Batalyon Infantri V KNIL "Andjing NICA" yang pada 1 Maret tengah hari merangsek masuk untuk merebut kembali Kota Yogyakarta. (nederlandsekrijgsmacht.nl). |
Di medan pertempuran, Belanda memang mampu
mendatangkan bala bantuan dari Magelang pada tengah hari. Mengutip Sedjarah
TNI-AD Kodam VII/Diponegoro, Komandan Batalyon Infantri V KNIL (Tentara
Kerajaan Hindia Belanda) “Andjing NICA” Kolonel Adrianus van Zanten yang
mendengar Yogya diserang, segera minta bantuan ke Semarang. Maka datanglah
Yonif X “Gadjah Merah” dengan satuan lapis bajanya. Konvoi mereka berangkat
dari Magelang ke Yogya pukul 11 siang.
“Jam 12
berkobar pertempuran sengit. Pasukan-pasukan kita diperintahkan mundur
mengingat perhitungan-perhitungan taktis dan pertimbangan terhadap keselamatan
rakyat. Pasukan Andjing Nica ini bila masuk kampung tidak pandang bulu. Siapa
saja yang tampak tentu dibunuh walaupun anak kecil yang masih berumur 11-12
tahun,” tulis tim sejarah militer Kodam Diponegoro itu.
Kolonel Adrianus van Zanten, Danyon "Andjing NICA" meminta bantuan pasukan "Gadjah Merah" (kiri) untuk merebut kembali Yogyakarta. (nationaalarchief.nl). |
Berbekal informasi dari pengintaian oleh sebuah
pesawat Auster Belanda yang melayang di atas langit Yogya sejak pukul sembilan
pagi, dua batalyon Belanda dengan satuan lapis bajanya itu segera mengamankan
sejumlah area strategis setelah pertempuran. Sejumlah akses keluar-masuk kota
Yogya juga diamankan hingga mengakibatkan sejumlah pasukan dari Sub-Wehrkreise
(SWK) 105 terjebak di dalam kota.
Lihat Juga:
Potret Kejayaan Becak Tahun 1953, Kini Tinggal Kenangan
Mengenal Sosok Sanusi Pane, Sebagai Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia
Wonder Woman Sejati Yang Hidup 2000 Tahun Lalu
Pendidikan Guru di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya
“Masih banyak prajurit yang berkeliaran dan terpaksa
menempuh jalan keluar melalui saluran-saluran air bawah tanah atau sembunyi dan
bermalam di tengah-tengah penduduk kota, untuk keluar esok harinya.
Pasukan-pasukan SWK 105 baru mengundurkan diri dari Maguwo dan Tanjungtirto
keesokan harinya, tanggal 2 Maret. Tetapi toh ternyata SO (Serangan
Oemoem, red.) ini membawa hasil yang lebih daripada yang diharapkan.
Hasilnya mempunyai keuntungan berganda baik dalam bidang psikologis, militer,
maupun politik,” tulis tim sejarah itu.
KMB Zonder PBB
Beredarnya kabar Serangan Umum 1 Maret berdampak
kian terpojoknya Belanda di meja diplomasi. Pemerintah Belanda yang sejak
Agresi Militer II (19 Desember 1948) acap mengabaikan Resolusi Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB), mulai kepayahan mempertahankan
propagandanya di dunia internasional bahwa RI sudah musnah.
Padahal, pada 24 Desember 1948 DK-PBB mengeluarkan
Resolusi 63. DK-PBB memberi tekanan lagi lewat Resolusi 67 tertanggal 28
Januari 1949. Inti dua resolusi itu adalah Belanda mesti menarik pasukannya
dari Yogya, mengembalikan para pemimpin RI, dan menarik garis demarkasi
sebagaimana Perjanjian Renville (17 Januari 1948).
Saking kesalnya dengan kebebalan Belanda yang enggan
mematuhi resolusi DK-PBB, Parlemen Amerika Serikat sampai menggugat bantuan
“Marshall Plan” pemerintah Amerika kepada Belanda. Pada 7 Februari 1949,
Senator Negara Bagian Maine Ralph Owen Brewster bersama sembilan senator lain
mengajukan resolusi ke hadapan Senat Amerika, agar pemerintah Amerika menyetop
bantuan apapun kepada Belanda untuk sementara waktu.
“Aksi Belanda (Agresi II, red.) ibarat serangan
diam-diam sebagaimana Jepang membokong Pearl Harbor, seperti serangan Jerman
Nazi ke Belanda sendiri…apakah kita berniat mendukung imperialisme
Belanda-Inggris-Prancis di Asia yang justru akan menciptakan iklim sempurna
untuk komunisme? Atau kita berniat mendukung para nasionalis republik yang
moderat di seantero Asia?” kata Brewster dalam pidatonya di hadapan Senat
Amerika, dikutip Paul F. Gardner dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty
Years of US-Indonesian Relations.
Senator Ralph Owen Brewster dari Negara Bagian Maine. (Library of Congress). |
Tekanan juga datang dari negara-negara boneka bentukan Belanda (BFO/Bijeenkomst voor Federaal Overleg). Lewat sebuah komunike pada 15 Februari 1949, lima fraksi BFO menuntut Perdana Menteri (PM) Belanda Willem Drees agar pemerintah Belanda mau tunduk pada Resolusi 67 DK-PBB. Mereka juga menuntut pemindahan Presiden Sukarno dan para pimpinan republik lain dari Prapat ke Pulau Bangka dan tak lagi distatuskan sebagai tawanan. Tekanan itu membat PM Drees memanggil Wakil Tinggi Mahkota Louis Beel pada pertengahan Februari.
“Di Belanda, Dr. Beel mengadakan sejumlah pertemuan,
tidak hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan Parlemen Belanda. Beel
dikritik atas sikapnya terhadap seorang petinggi UNCI yang menyalahi etika
diplomasi,” ungkap Batara R. Hutagalung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Namun, PM Drees dibantu Beel masih memutar otak
mencari cara agar Indonesia tak lepas begitu saja namun di sisi lain Belanda
terlihat tetap mematuhi resolusi DK-PBB. Drees lantas mengeluarkan beleid (kebijakan)
dalam empat poin: Pertama, Sukarno dkk. akan diberi kebebasan sesuai yang
diperlukan untuk bisa berunding. Kedua, Belanda tetap takkan mengembalikan
wilayah RI sesuai Perjanjian Renville. Ketiga, Beel diperintahkan
membentuk sebuah pemerintahan interim tanpa keterlibatan para pemimpin
RI. Keempat, kedaulatan akan diserahkan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya kepada Negara Indonesia Serikat (NIS).
Pada 23 Februari, skenario Belanda untuk menggelar
Konferensi Meja Bundar (KMB) pun disusun Beel. KMB “versi Belanda” itu
rencananya akan dihelat pada 12 Maret 1949 dengan mengundang Sukarno
namun zonder campur tangan Komisi PBB. Pemerintah Belanda sekadar
memberi notifikasi terkait KMB itu. Setibanya kembali Beel ke Jakarta pada 26
Februari, datang komunike dari Den Haag.
“Keputusan penting mengenai sikap mengenai masalah
Indonesia. Pemerintah yakin penyelesaian memuaskan semua masalah bergantung
pada jalan yang setepat-tepatnya, yaitu mempercepat penyerahan kedaulatan
Belanda atas Indonesia kepada suatu pemerintahan federal yang representatif.
Agar penyerahan kedaulatan tersebut, yang menurut resolusi dewan keamanan (PBB)
tertanggal 28 Januari, harus terlaksana selambat-lambatnya 1 Juni 1950, akan
dilakukan jauh lebih cepat dari tanggal ini,” demikian komunike itu, dikutip
A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 3: Diplomasi Sambil
Bertempur.
PM Belanda Willem Drees (kiri) & Wakil Tinggi Mahkota Louis Joseph Maria Beel. (nationaalarchief.nl). |
Maksud dari penyerahan kedaulatan lebih cepat dari
tuntutan DK-PBB dalam Resolusi 67 adalah Belanda hendak mengoper kedaulatan
kepada NIS yang direncanakan pada 15 Juni 1949. Namun, KMB versi Belanda itu
kuncinya terletak pada kesediaan Sukarno.
“Beel mengisyaratkan mengalah dan akan melaksanakan
resolusi DK PBB tanggal 28 Januari 1949, namun dengan cara Belanda dan tanpa
melibatkan UNCI. Upaya mengulur waktu terus dilakukan, yakni menunda
pengembalian presiden, wakil presiden, dan pembesar Indonesia lainnya ke
Yogyakarta,” sambung Batara.
Untuk membujuk Sukarno, Beel melakukannya lewat suratnya
kepada Sukarno. Di surat itu alamat penerimanya dituliskan: “Presiden Republik
Indonesia”. Surat itu lantas ia titipkan pada Dr. Peter John Koets untuk
disampaikan langsung pada Sukarno. “Niat baik” Beel itu diharapkannya akan
disambut hangat Sukarno.
Lihat Juga:
Melihat Jenjang Gendang Kulit Manusia di rumah adat Todo Manggarai, Nusa Tenggara Timur
Perang dunia kepada puisi dan Indonesia
Dr. Koets tiba di Bangka pada 28 Februari dan
menyerahkan surat dari Beel sekaligus undangan KMB di Den Haag. Surat Beel
untuk Sukarno itu membicarakan soal penyerahan kedaulatan kepada NIS pada 15
Juni 1949, rencana penarikan pasukan Belanda, dan sisanya akan distatuskan
sebagai pasukan asing yang hanya akan bergerak sesuai permintaan pemerintahan
NIS. Juga dibicarakan rencana pembentukan Uni Belanda-Indonesia sebagai badan
kerjasama terkait kepentingan NIS dan Belanda.
Presiden Sukarno saat hendak dibuang ke Prapat, lalu ke Bangka sejak 19 Desember 1948. (nationaalarchief.nl). |
Rencana licik Beel itu kandas. Sukarno menolak. Pasalnya, tuntutan agar ibukota RI di Yogyakarta dan pemulangan dirinya dan para pembesar RI kembali ke Yogyakarta enggan dituruti Beel. Sukarno lalu memberikan alasannya lewat surat balasan kepada Beel.
“Mengingat kedudukan saya dan anggota-anggota
pemerintah Indonesia di Bangka sekarang, yaitu terputus dari negara dan
rakyatnya dan terpisah dari dasar kekuasaannya selaku pemerintah, saya secara
resmi tidak dapat memutuskan untuk menghadiri konferensi itu atau untuk
mengirim delegasi atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia. Andaikata kami
menerima, kami hanya akan dapat menghadiri konferensi itu selaku orang-orang
partikulir. Tanggung jawab seperti itu hanya dapat dipikul oleh pemerintah RI
yang dapat menjalankan kekuasaan sepenuhnya di daerahnya dan berkedudukan di
Yogyakarta,” kata Sukarno, dikutip Batara.
Dengan berlangsungnya Serangan Umum 1 Maret 1949,
para delegasi BFO mulai insyaf bahwa perlawanan RI masih terus bergulir dan
fakta itu kontradiktif dengan propaganda Belanda selama ini. Sebelum tersiarnya
Serangan Umum, para anggota BFO di luar Jawa minim informasi tentang situasi
dan perkembangan perjuangan yang terjadi di Jawa. Mereka baru mendengar
penguasaan Yogya selama enam jam dari siaran-siaran luar negeri pada 1 Maret
1949.
BFO menggelar sidang pada 3 Maret 1949 dan
mengasilkan resolusi yang mendesak Beel memulangkan para pimpinan RI ke
Yogyakarta. Mereka juga menentang Beel yang bersikeras akan menghelat KMB pada
12 Maret 1949 tanpa keikutsertaan delegasi RI.
Sejumlah delegasi BFO yang menjenguk Presiden Sukarno di Pulau Bangka pada 15 Maret 1949. |
“Ini tidak berarti bahwa wakil-wakil negara federal
tersebut tidak lagi mengharapkan dibentuknya negara federasi yang dengan
dukungan Belanda mereka akan menjadi dominan. Tetapi mereka merasa bahwa hal
ini tidak akan tercapai kecuali jika pihak (republik) Indonesia diikutsertakan
sebagai peserta minoritas (KMB),” ungkap George McTurnan Kahin dalam Nationalism
and Revolution in Indonesia.
Rencana KMB skenario Beel itu kian runyam setelah
dia tahu BFO kembali bersidang pada 10 Maret 1949. Otomatis, KMB pada 12 Maret
batal digelar. Selain BFO menolak turut serta karena tuntutan mereka untuk
memulangkan Sukarno dkk. ke Yogya masih ditolak, Belanda mustahil membawa
seluruh delegasi BFO dari Jakarta ke Den Haag dalam waktu semepet itu.
“Dengan jawaban Presiden Sukarno kepada Beel, sirna
sudah harapan Beel mengajak Sukarno-Hatta menghadiri KMB tersebut. Rencana
Belanda untuk tetap menggelar KMB ‘versi Belanda’ (12 Maret) juga gagal total
setelah Suriname dan Curaçao, salah satu bagian dari Kerajaan Belanda, menolak
mengirim delegasi. Ini adalah pukulan terbesar bagi Belanda,” tandas Batara.
***
Referensi Catatan Histori:
https://historia.id/politik/articles/setelah-serangan-umum-1-maret-6mJlr/page/1