Didampingi oleh Uskup Agung Katolik Khaldea, Najib Mikhael Moussa (kiri), Paus Fransiskus melihat ke alun-alun dekat reruntuhan Hosh al-Bieaa, Mosul, Irak. |
Setiap kunjungan
kepausan memiliki sebuah makna. Seorang Paus memilih untuk melakukan perjalanan
ke tujuan tertentu karena ia yakin tempat itu memiliki cerita yang perlu
didengar dunia. Melalui kunjungannya, ia mengarahkan media global supaya
dunia memperhatikan sebuah isu yang telah lama diabaikan. Itulah
diplomasi seorang gembala Gereja Katolik, tanpa senjata, tanpa koersi. Tawaran
terbesarnya adalah pengampunan dan persaudaraan.
Hal itu jualah yang
dilakukan Paus Fransiskus sangat mengunjungi Irak. Kisah Irak sungguh
mengerikan, diliputi pergolakan, kekerasan, serta penderitaan manusia yang tak
terbayangkan, dan semuanya diperparah oleh pengabaian global. Irak pun hanya
dikenal dunia sebagai ladang perang untuk memberantas terorisme. Dari kunjungan
itu, Paus dengan halus memperlihatkan bahwa minoritas kristen di sana sangat
menderita. Ditempat itu Bapa Suci dengan kencang menabuh genderang perdamaian
dari antara reruntuhan puing-puing tanda martabat manusia telah dicederai.
Bahkan, seorang mahasiswa muda psikologi Irak di Roma bernama Sana Rofo
mengatakan kepada TV Italia bahwa ia belum pernah melihat negaranya begitu
bersatu dengan antusias, “Paus telah melakukan mukjizat!,” serunya
melansir Cruxnow, 7/3.
Minoritas Kristen
Qaraqosh adalah desa
yang dihuni oleh populasi Kristen yang hancur di bawah pendudukan ISIS sejak
tahun 2014 hingga 2017. Qaraqosh, juga dikenal sebagai “Bakhdida” (Baghdeda)
dalam bahasa Aram, rumah bagi Gereja Dikandung Tanpa Noda. Ia adalah kota Asyur
yang terletak di dalam area Niniwe, dengan letak 32 kilometer tenggara Mosul
dan 60 kilometer barat Erbil.
Akibat pendudukan rezim
yang disebut negara Islam banyak orang tewas, perempuan diperkosa, gedung,
tempat ibadah, serta pemukiman hancur, dan dengan itu memaksa ribuan orang
melarikan diri untuk mempertahankan hidup. Salah satu yang dirusak adalah
Gereja Katolik Suriah yang dikenal sebagai Gereja “Al-Tahira”, dibangun antara
tahun 1932 dan 1948, adalah Gereja terbesar di Qaraqosh. Sayangnya, pada
Agustus 2014, gereja tersebut dirusak dan dibakar oleh milisi ISIS dan
bangunannya dijadikan lapangan tembak.
Berdasarkan survei Aid
to The Chruch in Need (ACN) tahun 2019 menunjukkan mayoritas orang Kristen di
Dataran Niniwe, seperti yang ada di seluruh Irak, terdiri dari orang Suriah
(54%), Kaldea (35%), atau kelompok etnis Asyur (2%). Kebanyakan umat Kristen
adalah keturunan suku asli Kekaisaran Asyur, sebuah peradaban yang
bertahan sejak abad 25 SM sampai abad ke-7 SM. Di masa itu, Niniwe menjadi
ibukota peradaban ini. Sebuah kota yang reruntuhannya terletak di tepi timur
yang sekarang disebut Mosul.
Tercatat saat di bawah
rezim Saddam Hussein, umat Kristen lebih memiliki kebebasan untuk bergerak
secara internal ke ke kota non-Kristen untuk bekerja atau belajar. Sebelum
2003, beberapa orang Kristen dari Dataran Niniwe bermigrasi ke Baghdad atau
Mosul, dalam keamanan relatif. Di kedua kota itu, ada banyak populasi Kristen
sebelum tahun 2003. Setelah serangkaian serangan terhadap umat Kristen di Mosul
dan Baghdad, banyak umat Kristen kembali ke rumah nenek moyang mereka di zaman
kuno. Serangan itu termasuk 36 pemboman gereja pada tahun 2006, pembunuhan
Uskup Agung Katolik Kaldea Mosul tahun 2008, dan pemboman gereja Katolik Suriah
tahun 2010 di Baghdad yang menewaskan 58 orang. Dari 102.000 umat Kristen
yang tinggal di bagian yang terkena dampak ISIS di Dataran Niniwe pada tahun
2014, sebanyak 13% di antaranya pernah mengungsi dari Baghdad, Mosul, Sinjar,
Basra, atau Baquba, karena ISIS.
Diketahui juga sekitar
lima persen umat Kristen yang mengungsi di Dataran Niniwe aslinya berasal dari
Mosul, yang memiliki 45 gereja dan biara. Dahulu Mosul menjadi pusat agama
Kristen di Irak, dibangun di sekitar situs Niniwe yang bersejarah, ibukota
peradaban Asyur. Di paruh kedua abad ke-20, populasi Kristen menurun sedikit,
dengan menurunnya populasi penduduk dan masuknya orang Arab Sunni yang
bermigrasi dari Irak Barat. Setelah 2003, kelompok militan mulai menguasai
bagian-bagian kota; sementara 15.000 umat Kristen yang pernah tinggal di Mosul
pada tahun 2003, mulai melarikan diri setelah kampanye intimidasi bersama.
Sebagian besar dari mereka, terutama umat Katolik Suriah, pindah ke Qaraqosh,
yang populasinya mencapai 55.000 pada tahun 2014. Ketika ISIS mengambil alih
Mosul pada tahun 2014, diperkirakan sekitar 3.000 orang Kristen yang berada di
kota itu melarikan diri.
Tetap Religius
Meskipun hidup di bawah
tekanan, praktik keagamaan di Dataran Niniwe luar biasa tinggi, relatif baik
dibandingkan dengan umat Kristen di negara lain di kawasan Eropa atau Timur
Tengah. Sekitar 70% umat Kristen hadir beribadah seminggu sekali atau lebih
banyak, sementara hanya 4% yang menggambarkan diri mereka tidak beragama. Di
sana kehidupan sosial dan budaya dibangun di sekitar Gereja, dengan organisasi
sipil dan kota berafiliasi dengan Gereja.
Dengan struktur negara
dan dukungan kesejahteraan rusak, Komunitas Kristen di sana justru membantu
mengisi kesenjangan, menawarkan bantuan sosial berupa pendidikan di semua
tingkatan, kegiatan budaya, dan layanan sosial. Misalnya, di Qaraqosh terdapat
pusat pendidikan St. Paulus untuk kegiatan sekolah formal, termasuk les,
teater, dan musik. Selain itu, Dewan Tertinggi Gereja mengarahkan upaya
rekonstruksi masuk kota. Semua organisasi ingin mendukung pekerjaan
rekonstruksi, termasuk LSM sekuler melalui pengawasan gereja. Kemudian,
hampir semua acara berskala besar diselenggarakan di gereja seperti St. Behnam
dan Sarah atau St.Ephrem. Tidak jarang, termasuk di kalangan anak muda di
Qaraqosh, banyak yang memasang potret Yesus, Maria, atau orang kudus populer,
seperti rahib dari Lebanon, St. Charbel di ponsel mereka. Banyak Toko, rumah,
dan mobil hampir menampilkan ikon religius ini sehingga secara nyata menunjukan
identitas mereka sebagai pengikut Kristus.
Lihat Juga:
Kisah Haru Anak Broken Home Dari Keluarga Sederhana Yang Sukses Jadi Dokter
Ketua Perkumpulan STRADA: Sekolah Berbudaya, Sekolah Yang Menghargai Pribadi Manusia
Perlindungan Diri dari Virus Mutasi
Hidup setelah ISIS
Usai kepergian ISIS,
Dataran Niniwe memiliki lima tantangan mendalam, yakni: emigrasi, masalah
keamanan di sekitar milisi dan ISIS, ekonomi, diskriminasi agama, dan kebutuhan
rekonstruksi berkelanjutan. Dalam hal populasi, umat Kristen di Dataran Niniwe
telah menurun secara dramatis dari 102.000 orang pada tahu 2014 menjadi 36.000
per tahun 2019. Emigrasi ekstrem ini menjadi bentuk ketakutan akan
ketidakamanan. Hasil survei menunjukkan sekitar 57% umat Kristen ingin
melaksanakan emigrasi. Hanya sekitar 40% umat Kristen yang mengungsi, kembali.
Rumah mereka kebanyakan diperbaiki dengan dana bantuan asing dengan syarat
mereka berkomitmen untuk tinggal di rumah setidaknya dua tahun. Sayangnya, saat
perjanjian ini berakhir, beberapa keluarga pergi.
Sedihnya, di musim
panas 2019, populasi umat Kristen di wilayah ini mencapai titik terendah,
dengan lebih banyak keluarga meninggalkan kampung halaman mereka daripada
kembali. Di Qaraqosh
saja, 3.000 orang Umat Katolik Suriah pergi hanya dalam waktu tiga bulan pada
2019 menyebabkan penurunan sebanyak 12% dalam jumlah umat Katolik Suriah
di kota.Meskipun banyak umat Kristen dimukimkan kembali di daerah yang diduduki
ISIS, tidak ada bukti bahwa emigrasi melambat. Di Qaraqosh sendiri, selama tiga
bulan sepanjang musim panas, populasi kota menurun dari 24.000 orang menjadi
21.000 orang. Kebanyakan mereka melarikan diri ke Australia. Alasannya,
mereka masih merasa belum aman dan takut akan terjadi serangan lanjutan
sementara pendidikan dan kestabilan ekonomi menjadi prioritas utama mereka.
Harapan
Dengan kehadiran Paus
Fransiskus di Irak, diharapkan dapat meredam ketakutan umat dan menggantikannya
dengan harapan. Di Qaraqosh, Paus memberikan pujian khusus kepada kaum
perempuan yang menanggung begitu banyak penderitaan dengan keberanian dan tekad
yang teguh. “Saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua
ibu dan perempuan di negara ini, wanita pemberani yang terus memberikan
kehidupan, terlepas dari kesalahan dan rasa sakit,” ungkapnya. “Semoga
perempuan dihormati dan dilindungi! Semoga mereka dihormati dan diberi
kesempatan!,” serunya lagi.
Bapa Suci juga
menekankan teladan heroik yang mereka miliki dalam diri ayah dan ibu mereka
dalam iman. Memuji ketekunan yang tak tergoyahkan dalam harapan dan iman pada
janji Tuhan. “Warisan spiritual besar yang mereka tinggalkan teruslah hidup di
dalam kamu! Rangkullah warisan ini! Itu adalah kekuatanmu!,” ungkapnya.
Memungkasi pesannya ia berseru, “Sekarang adalah waktu untuk membangun kembali
dan memulai kembali. Bersandar pada kasih karunia Tuhan yang membimbing
hidup semua individu dan bangsa.” Di akhir kunjungannya, Paus
Fransiskus menandatangani Buku Kehormatan yang bertuliskan: “Dari gereja yang
hancur dan dibangun kembali ini, simbol harapan bagi Qaraqosh dan seluruh Irak,
saya memohon kepada Tuhan, melalui perantaraan Perawan Maria, anugerah
perdamaian.”
Felicia Permata Hanggu
(Majalah HIDUP, Edisi 12, Tahun ke-75, 21 Maret
2021)