Bagaimana kelompok-kelompok laskar unjuk taji dengan melakukan pungutan liar. Celakanya aksi lancung itu dilakukan terhadap sesama anak bangsa sediri.
Barisan laskar Sumatra Timur yang beroperasi di front Medan Area . Sumber : Repro buku "Medan Area Mengisi Proklmasi". |
Pada 14 Juni 1947, rombongan berangkat dari
Yogyakarta. Mereka tiba di Medan pada 20 Juni. Beberapa kota di Sumatra Timur
langsung disinggahi, diantaranya Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Brastagi.
Di kota-kota itu perjalanan lancar-lancar saja, tiada halangan yang
berarti. Hingga pada 28 Juni, rombongan melanjutkan perjalanan dari Brastagi
menuju kota minyak Pangkalan Brandan.
Pukul 09.00, rombongan bertolak menuruni
lereng-lereng bukit di Tanah Karo. Petaka bermula di Pancur Batu. Di tengah
jalan, mobil rombongan melewati gardu pengawalan. Beberapa orang laskar
menghampiri mobil. Mereka meminta untuk diizinkan menumpang di mobil rombongan.
“Caranya bukan meminta, tetapi mendesak dan bagaikan mengancam,” kenang Radjab
dalam catatan perjalanannya Tjatatan di Sumatra.
Lihat Juga:
7 Pahlawan di balik Kemerdekaan Negara Indonesia yang Sering Dilupakan
Potret Kejayaan Becak Tahun 1953, Kini Tinggal Kenangan
Pendidikan Guru di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya
Beruntung sang sopir masih bisa berkilah dengan
alasan, ban mobil sudah tipis dan perjalanan masih jauh lagi. Orang-orang
laskar itupun mengurungkan niatnya. “Tetapi kami yakin bahwa sampai ke
Pangkalan Brandan kami akan diganggu terus oleh penumpang-penumpang yang tidak
kami ingini itu,” ujar Radjab.
Benar saja, dari Pancur Batu ke Pangkalan Brandan,
Radjab mencatat sebanyak 14 kali rombongannya harus menepi ke pinggir jalan
karena ulah kelompok laskar. Setiap menepi, laskar akan memeriksa,
menahan, dan menyalin surat jalan. Di tiap gardu, rombongan mesti meninggalkan
dua bungkus rokok sebagai cukai. Dengan begitu, rombongan boleh diizinkan
melanjutkan perjalanan. Kalau tidak demikian, rupa-rupa ancaman dilontarkan.
Mereka akan bertindak sewenang-wenang seperti membuka koper di bagasi dan
membongkar isinya.
Menurut Radjab, yang menahan dan memeriksa
rombongannya ialah berbagai kelompok laskar yang berbasis di sekeliling kota
Medan. Mereka antara lain berasal dari Laskar Napindo, Barisan Harimau Liar
(BHL), Pesindo, Mujahidin, dan Banteng Merah. Biarpun mobil rombongan sudah
diperiksa oleh tentara maupun polisi militer, laskar-laskar rakyat ini
memandang dirinya wajib pula memeriksa. Ternyata pemeriksaan hanya kedok
semata. Para laskar itu bertindak bukan untuk memeriksa keamanan melainkan
untuk menagih uang dan rokok dari kantong orang-orang yang lewat di
sana.
Mendekati Binjai, mobil rombongan kembali distop
sekelompok laskar. Mereka meminta agar pemimpin mereka boleh menumpang.
Mereka mendesak dengan nada mengancam bahwa perjalanan pemimpin mereka sangat
penting ke Binjai. Karena tidak dibiarkan melaju, akhirnya rombongan terpaksa
mengizinkan penumpang liar itu masuk.
Radjab memendam jengkel terhadap kelakuan para
petualang revolusi itu yang menurutnya setengah edan, tidak tahu
malu, dan kasar, tetapi berani maju ke garis depan. “Biarpun pedangnya
panjang, ia bukanlah seorang pahlawan, melainkan seorang pencatut, yang mencari
kekayaan dalam suasana keruh pada waktu ini,” catat Radjab begitu melihat
tampang dan gelagat pemimpin laskar yang menumpang dimobilnya.
Meskipun demikian, Radjab menangkap kesan pemerintah
yang tidak berdaya menertibkan aksi sesuka hati laskar di Sumatra Timur.
“Itulah akibatnya bila orang-orang yang berjuang itu kebutuhannya tidak
dicukupkan oleh pemerintah, hingga badan-badan perjuangan disamping berkelahi,
mencari pula apa-apa yang akan memenuhi kebutuhannya,” kata Radjab dalam
reportasenya.
Dengan bersusah payah akhirnya rombongan tiba
di Pangkalan Brandan pada 29 Juni pas petang hari. Setelah meliput tentang
kilang minyak yang rusak, rombongan melanjutkan perjalanan ke Aceh kemudian
Tapanuli. Nanti, di Tapanuli, Radjab bersua dengan pentolan laskar mantan
bandit cum copet kota Medan bernama Timur Pane.
Referensi Catatan Sejarah: