Sunan Drajat (Foto : Istimewa) |
Raden Qasim berlayar
dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya
terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat
Gresik. Ia selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.
Kemudian, ia ditolong
ikan cucut dan ikan talang, ada juga yang menyebut ikan cakalang. Dengan
menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh,
peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut
baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Sunan Drajat kemudian
menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di
Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren
tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma
dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang
ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar.
Sunan Drajat juga
terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga (lubang sembilan) di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan Dradjat ketika ia merasa kelelahan dalam
suatu perjalanan.
Lihat Juga:
Demam Kebal Peluru di Front Bandung
Ketika itu, Sunan
meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan,
ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening, yang
kemudian menjadi sumur abadi.
Sunan Drajat diketahui
sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan
pada malam hari.
Penduduk merasa aman
dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan
setelah pembukaan hutan.
Usai Sholat Ashar,
Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk
melaksanakan salat magrib.
"Berhentilah
bekerja, jangan lupa sholat," katanya.
Ia mengobati warga yang
sakit mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. *** nasional.okezone.com