Nyong Franco (kanan) pencipta lagu Gemu Fa Mi Re/Dok. Pribadi |
“PUTAR ke kiri e… Nona manis putarlah ke
kiri… Ke kiri, ke kiri, ke kiri dan ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri manis e..”
Siapa yang tidak kenal
dengan penggalan syair lagu di atas? Hampir pasti semua masyarakat Indonesia,
mulai dari pelosok desa hingga ke pusat kota pernah mendengar lagu “Gemu Fa Mi
Re”. Para pendengar seakan diajak bergoyang bersama dengan iringan musik lagu
ini. Tak hanya di Nusantara, berkat musiknya yang enak didengar, lagu ini juga
populer hingga ke mancanegara. Banyak orang yang menyanyikan ulang ke berbagai
versi dan mengunggahnya di media sosial.
Nyong Franco/Dok. Pribadi |
Adalah Frans Cornelis
Dian Bunda yang menciptakan lagu dengan syair, serta irama musik yang riang
ini. Pria yang lebih dikenal dengan nama Nyong Franco ini mengatakan, ia
menciptakan “Gemu Fa Mi Re” pada tahun 2011. Baru setahun kemudian, lagu ini
mulai meluas dan menjadi fenomena tersendiri. Tahun 2018, “Gemu Fa Mi Re”
bahkan memecahkan rekor dunia Museum Rekor Indonesia, lagu ini dibawakan
serentak oleh TNI di 15 Kodam dan melibatkan 346.829 prajurit dari seluruh
Indonesia. Momen ini dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun TNI yang ke-73.
Oleh-oleh
Nyong mengatakan, ide
lagu “Gemu Fa Mi Re” muncul saat ia, bersama teman-temannya, tengah
menyutradarai pembuatan sebuah album yang berisi lagu-lagu yang dikemas ke
dalam VCD. Kebetulan, saat itu Nyong bertanggung jawab atas pembuatan syair,
aransemen, pemilihan musik, hingga masuk ke dapur rekaman. Di tengah kesibukan
itu, terbersit di benaknya ide membuat lagu dengan mengangkat bahasa daerah,
dan bisa menjadi oleh-oleh dari tanah kelahirannya. “Saya ingin membuat lagu
yang membuat orang datang, mereka merasa senang, dan saat pulang, mereka ingat
lagu itu. Orang-orang boleh dengar lagu ini dan mereka boleh menjadikannya
sebagai oleh-oleh dari Maumere,” ujarnya saat dihubungi awal bulan ini.
Nyong mengungkapkan, ia
lebih suka menyebut “Gemu Fa Mi Re” ini “lahir” daripada “diciptakan”. Sebab,
hampir semua kandungan musik, telah ada dalam dirinya sejak kecil. Dalam lagu
ini pun, ada sepenggal syair yang merupakan nyanyian turun-temurun dalam
keluarganya. Tak lupa, Nyong memasukkan unsur-unsur musik tradisional Maumere,
Nusa Tenggara Timur, yaitu alat musik gong waning dan memberi
sentuhan usil.
Dalam musik, Nyong
menjelaskan, ada keselarasan bunyi atau disebut harmoni. Namun, yang muncul
dalam musik “Gemu Fa Mi Re” adalah nada nonharmonik. “Pola atau pattern gong
di Kabupaten Sikka itu paten bukan seperti akor, tetapi pola melodi yang
diulang-ulang,” tutur Nyong yang juga mengajar seni musik di SMK Yohanes XXIII
Maumere ini. Dia menambahkan, secara tidak sadar orang mendengar “konflik”.
Namun di situlah keunikan lagunya.
Musik dan seni budaya
daerah bukan hal baru bagi Nyong. Dia mewariskan darah seni dari ayahnya, Alm.
Herman Yosef, yang menghidupkan berbagai kesenian daerah dengan mendirikan
Sanggar Seni Bentara Zaman (Benza) bahkan sebelum Nyong lahir. Meski demikian,
Nyong mengaku lagu, “Gemu Fa Mi Re” bukan genre yang sepenuhnya
sesuai dengan minatnya. Ia justru lebih menggemari musik rock yang
dikenalkan oleh seorang sepupu saat masih remaja. Karenanya, ia ingin membuat
karya yang bisa mengawinkan genre musik etnik dengan genre lain,
agar dia pun bisa menunjukkan sisi lain yang tersembunyi dalam dirinya.
Soal perbedaan genre ini
bukan menjadi hal besar bagi Nyong. Ia tetap berupaya memajukan musik lokal.
Bahkan sebelum “Gemu Fa Mi Re”, sudah ada beberapa lagu yang ia ciptakan. Dalam
karya-karya musiknya, ia menampilkan irama, syair, tarian, dan busana yang kuat
akan identitas lokal. Ia juga menyampaikan, sangat menikmati berkarya dalam
dunia seni ini. “Tidak ada dukanya. Bisa menghibur orang itu ada kebahagiaan
tersendiri, dengan musik banyak relasi yang terbangun, dan saya bisa
mengumpulkan pundi-pundi rezeki untuk menghidupi keluarga,” ungkap Nyong.
Namun, Nyong juga tak
menampik sempat dicurangi oleh label rekaman atau produser. Hak cipta “Gemu Fa
Mi Re” pun pernah diklaim oleh beberapa pihak, berikut soal royalti, ketika
syair dan lagu ciptaannya digunakan untuk kepentingan komersial. Yang disebutkan
terakhir adalah ihwal yang kerap dialami para musisi daerah.
Kini, Nyong
membocorkan, dirinya sedang mengerjakan proyek terkait musik gong waning.
Ia menjelaskan dalam musik dikenal birama atau nilai ketukan. Pada gong
waning, ada gong yang memiliki nada satu birama. Ini berbeda dari yang lain.
Nyong terpacu membuat karya musik menggunakan birama itu, dan mengenalkannya
kepada dunia. Harapannya, keunikan budaya ini tidak didiamkan begitu saja,
apalagi sampai menunggu dikenalkan oleh orang luar.
Lihat Juga:
Yang Mahal Sesungguhnya Bukan Biaya Hidup Tetapi Gaya Hidup
Sajak Akar Rumput, Filosofi Rumput
Perhatian Nyong yang
besar pada seni budaya daerah membuatnya dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian
Daerah Kabupaten Sikka. Tanggung jawab ini tentu tidak ringan. Wadah yang
mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di kabupaten ini baru
hidup kembali akhir tahun lalu, setelah vakum sekitar 14 tahun.
Kepada para seniman dan
budayawan, Nyong berharap, mereka tidak membiarkan dirinya berjalan sendirian.
Ia juga berharap, pemerintah daerah lebih memberi perhatian pada karya seniman
lokal. Bukan hanya soal pendampingan agar kualitas karya semakin baik, tetapi
juga agar nilai-nilai dalam karya seni yang dihasilkan para seniman, agar tidak
melenceng dari ajaran sosial budaya tentang sopan santun, terutama penggunaan
kata-kata dalam syair lagu berbahasa daerah. “Saya berharap, pemerintah bisa
menggunakan kuasanya untuk lebih memperhatikan giat seni masyarakat, dan lebih
lanjut memanfaatkan seni budaya untuk pengajaran budi pekerti, terutama
anak-anak usia emas,” kata umat Paroki Katedral St. Yosef, Maumere ini.
Budi pekerti
Nyong rupanya menaruh
perhatian besar pada pembangunan karakter generasi muda. Ia mengungkapkan,
dalam mengelola Sanggar Benza, panggilannya justru lebih besar tertuju kepada
pendidikan karakter, karena melihat pola perilaku dan tata tutur anak-anak muda
saat ini. Berbagai kegiatan seni di sanggar, antara lain tari, musik, teater,
Nyong pakai sebagai pintu untuk mengajarkan budi pekerti.
Nyong Franco menerima rekor yang diberikan Ketua Museum Rekor MURI Jaya Suprana/Dok. Pribadi |
“Sebelum dan sesudah berkegiatan kami berdoa
bersama, kami juga memakai cerita rakyat dan mitologi yang mengandung ajaran
budi pekerti yang luar biasa, seperti menghormati orang tua, juga bagaimana
hidup berdampingan dengan sesama manuisa dan alam,” ujarnya lagi.
Bagi Nyong, ilmu dan
keterampilan anak zaman sekarang boleh setinggi langit, tetapi bila tidak
dibekali budi pekerti, akan menjurus pada penyimpangan. Inilah alasan, mengapa
Nyong ingin mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai kearifan budaya ini dalam
setiap karyanya.
Hermina Wulohering