Hal ini pertama kali
diketahui, setelah sebuah video beredar luas di internet, di mana korban
bernama Nabil Habashy Salama (62) dihujam oleh tembakan dengan berlutut pada 18
April lalu. Video tindakan keji itu baru beredar pada 21 April 2021.
Sebelumnya, Nabil
Salama diculik oleh kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan ISIS di Mesir
pada bulan November 2020. Saat itu ia berada di depan rumahnya di Bir-al-Abd,
Sinai Utara.
Pembunuhan itu pun
membuat Uskup Agung Angaelos melalui portal twitternya, menyampaikan
dukacita mendalam. Ia juga mengajak untuk berdoa baginya, dan keluarga serta
seluruh masyarakat di wilayahnya.
Putra Habashy, Peter
Salama mengatakan eksekusi itu merupakan upaya yang dilakuan ISIS untuk
mempengaruhi ayahnya untuk meninggalkan iman Kristen.
“ Mereka mempermalukan
ayah saya, juga mematahkan semua giginya untuk menyiksanya. Namun ia tetap
berpegang pada imannya. Kami bersuka cita untuknya,” ungkap Peter pada National
Chatolic Register.
Peter Salama juga
mengaku bahwa para militan ISIS kerap menghubunginya sepanjang ayahnya diculik.
Pada momen itu, ayahnya memberitahunya kalau semua baik-baik saja, dan tak lupa
bersyukur kepada Tuhan.
Pasukan keamanan Mesir
telah menangkap tiga militan ISIS yang bertanggung jawab atas kematian Habashy.
Pihak keamanan mengatakan, ketiga militan itu telah terlibat dalam pembubuhan
Habashy. Oleh karena itu, mereka harus menerima hukumanya.
Aktif di Komunitas Kristen
Habashy adalah seorang
pengusaha yang memiliki toko perhiasan, ponsel, dan toko pakaian. Ia dikenal
aktif di komunitas Kristen. Kendati hanya memiliki toko, sebagian hasil
usahanya itu kerap ia persembahkan untuk membantu pembangunan Gereja
Santa Maria di kotanya.
Sarah Bassil, manajer
komunikasi untuk organisasi hak asasi manusia In Defense of Christian (IDC),
mengatakan bagaimana Habashy adalah umat paroki gereja yang sangat aktif. Nabil
Hashy berperan penting membantu membangun salah satu gereja di daerah itu.
Kepergiannya pun begitu
terasa oleh umat di sana. Masyarakat di sana merasakan kehilangan yang begitu
jelas.
Salama, putranya, menambahkan
bahwa ayahnya menuangkan hati dan jiwanya ke dalam gereja, dan selalu berkata
“jangan berpikir bahwa saya membangun gereja ini untuk di sini. Saya membangun
gereja untuk diri saya, di surga nanti.”
Chatolic News Register